"Ref, aku minta maaf karna enggak bawa apa apa kesini. Sebetulnya aku malu buat dateng, tapi ya mau gimana lagi? Aku cemas mikirin keadaan kamu. Pas aku tahu kamu sakit, aku langsung pergi buat jenguk kamu." Melihatnya bertingkah, malah membuatku ingin muntah.
"Ya ampun, Kak, ngapain minta maaf segala? Dengan adanya Kak Rama sama Sifa disini, itu udah cukup buat bikin aku seneng. Makasih ya udah pada dateng." Aku membalas kata dengan senyuman saja. Rama yang berada di samping, kemudian menyikut tanganku. Aku memberanikan diri untuk melihat ke arahnya dan memelototi.
"Hp." Aku mengambil ponsel yang sedari tadi sengaja di kurung. Saat dinyalakan, ada satu pesan masuk dari Rama.
"Keluar dulu. Aku mau ngobrol sama Refa."
Menyebalkan.
"Refa, aku keluar dulu, ya. Tadi, kakakku nitip bakso yang di depan. Aku mau beli dulu. Nanti kalau udah beres, aku ke sini lagi." Aku pergi tanpa mendengarkan mereka berucap lagi. Semua barang milikku ada bersamaku, tapi rasanya ada yang tertinggal.
Aku di temani motor yang di tinggal pemiliknya. Kakiku terasa pegal karna terus menunggu kehadiran Rama. Aku pun berjongkok di depan gerbang dekat motornya sambil membaca artikel terkini di suatu website berita. Berita utamanya mengenai rumor tentang penculikan dan mutilasi. Lokasi kejadian yang tertera disana sangat dekat dengan rumahnya Refa. Suasana sekitar mendadak sepi dan terasa sunyi. Itu membuatku bergidik ngeri.
Kepalaku menengok ke kanan kiri jalan sembari memastikan keadaanya harus aman. Tubuhku semakin mundur dan menabrak seseorang. Aku membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan jika seseorang mulai menyerang. Tanganku memeluk erat tas sebentar dan bersiap menghajar orang yang akan mencelakaiku lebih dulu. Aku berdiri lalu berbalik.
"Hei. Ini aku, Fa." Aku kembali ke mode sadar. Tubuhku lemas. Nyaris saja tasku mengenai wajahnya.
"Kamu kenapa?"
"Aku enggak kenapa napa. Kita pergi, yuk."
Aku menaiki motornya dan memperhatikan jalanan sekitar. Pepohonan dan rumah yang di lewati terasa asing untukku.
"Kita mau kemana? Ini kan bukan jalan pulang."
"Kita ke... kita beli seblak dekat SMK 9, yuk. Kata anak - anak, seblaknya enak."
"Kenapa enggak antar aku pulang?"
"Tadi kan kamu enggak bilang mau pulang. Tadi kamu malah ngajak aku buat pergi. Enggak bilang pergi kemana, jadi ya udah. Sekarang, aku bawa kamu kesana."
Aku tidak membalas ucapannya lagi.
Kami berhenti di depan bangunan kecil. Ada sejenis gerobak yang terlihat berasap terparkir disana. Aku mengikuti Rama menaiki tangga pendek agar bisa sampai ke tempat makan.
"Bi, pesan dua seblak. Punya saya pedasnya satu sendok." Rama menatapku sembari bertanya. "Kamu mau berapa sendok, Fa?"
"Samain." Rama memesankan makanan untukku. Dia lalu mengajakku untuk duduk di meja panjang yang di atasnya terdapat beberapa botol bumbu. Dinding bangunan ini di cat berwarna kuning samar. Di pojokan ruangannya ada tv kecil yang menyala. Berdekatan dengan barang itu, ada jam dinding yang menunjukkan pukul setengah dua belas.
"Ngeliatin apa, Fa?" Mataku langsung beralih melihat Rama.
"Aku liat liat tempat ini. SMK ini dekat banget sama SMA ku dulu. Banyak anak anak yang cerita tentang tempat ini, tapi aku belum pernah kesini. Seringnya cuman numpang lewat doang."
"Dulu kamu sekolah di SMA mana?"
"Di SMA 1 disini."
"Oh, berarti satu SMA sama Refa. Kata Refa kamu bukan asli orang sini. Jadi kamu tinggal disini sama siapa?"