It's Me, April

Siti Nur Laela K
Chapter #6

#6. Theater

"Aku enggak mau. Aku enggak mau merepotkanmu seperti hari kemarin." Aku melihat ke arah kaca spion. Wajahku nampak disana. Aku mengalihkan kepala ke arah lain.

"Lah, kok malah bilang kayak gitu? Emangnya kamu bakalan ngulangin lagi?"

Aku menarik nafas lalu berkata, "Aku harap hal itu enggak terjadi lagi, Ram, tapi aku enggak yakin kalau aku akan bisa ngelewatinnya kali ini." Tangan kananku di tarik ke depan. Hal itu membuat badanku maju dan kepalaku tertaruh di dekat pundaknya.

"Positif thinking aja, Fa. Jangan mikirin hal kayak gitu." Tanganku di genggam dan di letakkan di perutnya. Aku bingung untuk berlaku. Aku tidak tahu harus mengatakan hal apalagi padanya.

Aku menarik tangan dari genggamannya dan menempatkannya di atas paha. Seperti biasa.

"Pegangan, Fa. Biar enggak jatuh." Aku menekan pundaknya pelan. Mataku berjalan ke jalanan sekitar yang terlihat agak sepi.

"Aku bukan tukang ojek loh." Rama mengalihkan tanganku. Jariku ditaruh di perutnya lagi.

Saat dia kembali memegang stang, aku pun mencubit sedikit bagian dari jaketnya. Aku malas jika harus menyentuhnya, walaupun itu secara tidak langsung.

Jalanan yang dilewati memang terasa halus. Tidak ada bebatuan ataupun bagian yang berlubang. Aku memejamkan mata perlahan sembari menikmati udara yang dingin dan menenangkan. Semilir angin terus meniup wajah dan tubuh. Rasanya enggan jika kenikmatan ini harus berakhir dengan singkat.

Tidak lama kemudian, aku tak sengaja memeluk Rama dari belakang. Polisi tidur membuatku sedikit terkejut dan langsung meraih apa saja di dekatku. Ya, aku malah meraih tubuh yang sedari tadi tidak ingin kusentuh.

"Udah kubilang. Kamu harus pegangan, Fa. Untung aja enggak jatuh." Aku tidak bisa menerka bentuk ucapannya. Wajahnya tidak terlihat, tapi dia mengatakannya dengan nada yang cukup menghentak.

Aku tetap merangkulnya. Kepalaku disimpan di punggung. Mataku yang bandel malah membuat Rama meracau, tapi aku tidak peduli.

***

"Kita udah sampai."

"Kita... kita sampai?" Aku mengucek mataku. Tempat yang kemarin di singgahi menjadi penuh udara. Sangat dingin dan terasa sunyi.

Aku berdiri sambil memperhatikan daerah sekitar. Seperti tidak ada kehidupan tapi terpelihara. Tidak ada daun kering atau pun jaring laba - laba yang bersarang di luar. Payung dan perkakas yang kemarin kulihat sudah tidak ada sehingga bagian luarnya terkesan menjadi semakin luas.

"Ayo masuk." Rama berjalan melewatiku. Aku pun mengikutinya dengan keringat dingin. Pijakanku terasa kaku dan sulit digerakkan. Kejadian kemarin membuatku benar - benar enggan kembali kesana.

"Fa..." Suara pelan Rama bahkan terdengar dari jarak yang cukup jauh. Dia melambaikan tangan ke tempatku berdiri.

"Jalannya kok kayak siput." Dengan perlahan aku menghampirinya. Dari jauh aku melihat kumpulan orang yang terpana pada seseorang yang berteriak marah. Suara bantingan kertas serta ucapan lantang disana terasa tak asing di telingaku. Sepertinya aku mengingat masa lalu, lagi.

"Fa... Kita nunggu di atas, yuk." Pandanganku teralihkan ke tangga. Karna tertinggal cukup jauh, aku pun langsung berusaha mengimbangi cara jalan Rama.

Tasku di simpan setelah tikar berhasil di gelar. Kakiku langsung di selonjorkan dan tubuhku di sandarkan ke tembok. Mataku ditutup sebentar. Aku masih dapat mendengar suara bapak - bapak tadi walaupun sudah berpindah tempat. Ponselku di keuarkan dan kumainkan.

Lihat selengkapnya