It's Me, April

Siti Nur Laela K
Chapter #7

#7. Rafa

"Fa..." Aku mengusap sedikit air di ujung mataku.

"Iya, Ram."

"Kenapa kamu ngomong sama Rafa pakai 'saya'? Enggak 'aku'?" Bisiknya. Aku mengatur nafas dan mengisi energi dengan udara sekitar.

"Ram, aku kan enggak enak kalau harus bilang 'aku' ke orang yang lebih tua." Aku mengucapkan itu dengan suara yang kecil. Rama sempat terdiam dan malah tertawa dalam keadaan kepalanya tergantung di ujung sandaran kursi.

"Raf, aku sama kamu tuaan siapa?" Rafa mengalihkan pandangan ke arah kami. Dia terlihat melipat jemarinya beberapa kali. Dari kanan bergerak kekiri. Begitupun sebaliknya.

"Tuaan kamu lah. Aku kan masih nyusun." Mataku berpaling ke Rama. Ini memang sulit kupercaya.

"Kamu dengar sendiri kan, Fa." Wajah Rama membuatku semakin tidak percaya. Badannya apalagi.

"Sifa, dia ini harusnya udah lulus kuliah tahun kemarin," ucap Rafa sembari merapikan kertas di tangannya.

"Dia harusnya lulus? Tapi dia kan pernah satu matkul sama aku." Rama dan Rafa tertawa. Mereka bersamaan melihat ke arahku. Apa ada yang salah?

"Enggak usah difikirin. Otakmu enggak bakal nyampe." Aku pun melabuhkan satu kepalan tanganku ke tangan bagian atas Rama. Menyebalkan.

"Aku ada acara di SMA. Kamu disini aja ya, sama Rafa. Fa, tolong jagain Sifa, ya." Dia pergi setelah meremehkan kemampuan otakku. Aku yang ditinggalkannya pun langsung merapatkan kursi ke kursi yang di duduki Rafa.

***

"Anak anak latihannya cukup sampai disini. Besok kita latihan lagi jam empat sore, ya."

Para pemain drama pun meninggalkan tempat setelah mengemasi barang. Aku yang terduduk hanya memandangi mereka sembari kebingungan. Rasanya tubuhku menolak untuk bangkit karna tidak tahu harus bertingkah seperti apa.

"Hai. Sifa." Kepalaku menghadap ke sumber suara. Seorang lelaki yang seumuran denganku berdiri di depanku.

"Kamu lupa sama aku? Aku Alan. Teman SMA-mu dulu." Aku memperhatikan tubuhnya dari atas kepala hingga ke ujung kakinya. Seingatku, Alan teman sekelasku dulu adalah orang yang lebih banyak diam dan sangat jarang memulai interaksi dengan orang lain.

"Oh iya. Alan." Aku langsung menghampirinya. Dia menawariku untuk pulang. Aku menanyakan kabar hubungan temanku yang dulunya menjalani hubungan dengannya. Setiap aku menyinggungnya, dia terus mengalihkan pembicaraan.

Kami berjalan ke tempat mobilnya terparkir lalu Alan membukakan pintu untukku. Aku masuk dan memberinya senyum sebagai pengganti ungkapan terima kasih.

"Kamu disini ikut seni teater?" Dia menggelengkan kepala tanpa menghadapku. Aku memaklumi tindakannya karna dia tengah menyetir.

"Enggak. Aku disini cuman nunggu pacarku. Namanya Elsa."

"Elsa? Yang anak IPS itu?" Dia mengangguk. Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa mereka yang pernah satu angkatan di salah satu SMA malah menjalani kisah asmara saat kuliah. Kenapa tidak dari dulu saja?

"Terus Elsanya dimana?"

"Enggak tahu. Kayaknya dia udah pulang duluan." Aku enggan menanyakan tentang Elsa lebih dari ini. Wajahnya menampakkan raut tidak tertarik.

"Oh ya, Gimana kabarnya Vera?" Dia langsung memberhentikan mobilnya. Aku terkejut saat dia memaksakan berhenti lalu menjalankannya dengan perlahan.

"Kenapa kamu terus nanyain dia? Bukannya kalian enggak dekat?"

"Aku emang enggak deket, tapi aku cuman penasaran aja." Sebetulnya bukan karna penasaran, tapi lebih tepatnya karna aku tidak memiliki topik perbincangan khusus dengannya. Aku merasa canggung duduk berdekatan dengannya. Dulu, setelah kutolak berkali kali pernyataan cintanya, akhirnya dia memiliki kekasih. Namanya Vera.

"Oh." Aku menatapnya agar dapat memperoleh informasi lebih. "Aku enggak tahu kabarnya Vera sekarang."

Lihat selengkapnya