Kubuka tutup tudung saji di atas meja makan sembari terus meremas perutku yang berteriak meminta untuk diisi. Jam yang tergantung sudah menunjukkan pukul delapan kurang. Menurutku, ini sudah saatnya untuk memakan nasi.
Aku membuka pesan yang ditinggalkan kakakku di pintu lemari es dengan secarik kertas mininya lalu membaca pelan. Dia ternyata pergi ke rumah mertuanya bersama anak dan juga suaminya. Aku membuang nafas dan langsung pergi ke rumah makan Mak Eha.
Disana aku langsung memesan makanan dan menyuruh sang penjual untuk membungkusnya. Saat membuka ponsel, aku mendapat notifikasi pesan masuk. Kak Rafa?
“Hai Sifa… Kamu lagi ngapain?”
“Aku lagi beli makanan di warungnya Mak Eha. Kakak sendiri?”
“Aku lagi makan di warungnya Mak Eha.”
“Warung Mak Eha yang deket rumahku?”
“Iya. Kok bisa sama, ya?” Aku tersenyum membaca pesan darinya.
“Kebetulan banget tuh, kak.”
“Coba liat ke belakang.” Aku mengedarkan mata ke sekeliling tempat. Mataku langsung terhenti saat menemukan Kak Rafa dan Rama tengah berada di gumpalan asap rokok. Karna terlalu banyak asap yang keluar, aku pun tidak mengetahui apakah mereka semua merokok atau tidak.
“Kakak kayaknya bukan lagi makan, tapi lagi ngerokok.” Aku memasang emoticon mendengus kesal di akhir pesannya.
“Tadi pas aku bales wa kamu emang aku lagi makan. Tapi pas udah makan, Si Rama ngajak aku buat ngerokok.”
“Terus kakak ikut ngerokok juga?”
“Aku ya enggak ikut lah. Aku bukan perokok. Aku cuman nemenin Rama aja.”
“Neng, ini pesanannya.” Aku mengambil sekantung kresek makanan tersebut lalu memberi sang penjual uang dengan nominal yang pas dengan harga yang di sebutkan.
Pandanganku terhalang saat seseorang menyemburkan asap rokok tepat ke wajahku. Aku terbatuk saat asap itu menerobos masuk melewati hidungku. Saat pandanganku semakin jelas, aku menemukan Rama tengah berdiri menghadangku.
“Apa apaan sih, Ram? Mau kamu apa?”
“Aku mau antar kamu pulang.” Aku menatapnya dengan sangat kesal dan langsung menatap tajam matanya.
“Aku enggak mau pulang sama cowok kayak kamu.” Rama menjatuhkan rokoknya dan menginjak rokok yang menyala dengan sepatunya.
“Emang aku cowok kayak gimana?” Aku mengabaikan pertanyaannya lalu berjalan keluar. Saat aku melewati tubuhnya, tanganku langsung di tarik begitu saja. Aku melihat Kak Rafa tengah menatap kami dari kejauhan. Aku tidak habis fikir, ada apa dengan Rama? Saat siang dia terlihat baik baik saja.
“Ram, aku udah bilang. Aku enggak mau pulang sama cowok kayak kamu,” Ucapku sambil setengah berteriak. Dia memegang tanganku dengan sedikit lebih keras lagi. Itu cukup keras dan membuatku merasakan nyeri di bagian pergelangan tangan.
“Ram, lepas. Sakit, Ram.” Dia melepaskan tanganku lalu menghidupkan motor. Aku yang merasa telah di bebaskan, terus melingkari pergelangan tanganku pelan dengan tangan sebelahnya lagi.
“Naik sekarang.” Aku memperhatikan wajah yang menatapku dengan tajam dan sangat menakutkan. Dia terlihat berbeda dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Rambutnya agak berantakan dan matanya merah seperti orang yang kehilangan setengah kesadarannya. Akupun menaikinya dan dia mengantarku tepat di depan rumah.