Hujan deras mengguyur ibu kota Jakarta malam ini. Namun, semua tak menjadi penghalang gadis cantik bernama Embun Aluna untuk berangkat ke Palembang. Ia ditemani Papa, Mama dan Adiknya berangkat ke Bandara Soekarno Hatta diantar oleh supir.
Setelah mempersiapkan segala keperluan untuk di Palembang, Embun pun memasukan semuanya ke dalam mobil. Selama di perjalanan, Embun memilih untuk berbalas pesan kepada Elvan, pacarnya yang tidak bisa datang menemaninya, karena ada kesibukan di sekolah. Embun tidak mempersalahkan hal itu, sebab; mendapat doa dan semangat dari Elvan saja ia sudah bahagia, walau hanya perantara ponsel. Embun juga melihat Nevara; adiknya yang terus bersenandung kecil bersama sang Mama. Papanya juga asik bercerita dengan Pak Elman, supir pribadinya.
“Jadi nanti kalau Non Luna menang, Non Luna bakalan ikut lomba antar Asia lagi dong?” tanya Pak Elman di sela-sela ceritanya.
Embun yang ditanya seperti itu hanya mengangguk. Ya, keluarga dan teman-teman dekatnya selalu memanggilnya Aluna si cantik. Wajah dan kepintarannya menjadi incaran gadis manapun untuk mendapatkan kepopuleran di sekolah maupun luar sekolah. Selain itu, Embun juga memiliki pacar tampan. Mereka terlihat serasi, walaupun banyak orang yang iri dengannya.
“Tetap rendah hati jika nanti kamu menang ya, Luna. Mama dan Papa akan selalu bahagia jika melihat kamu rendah hati kepada semua orang,” kata Mama; Elisa.
Embun mengangguk lagi sebagai jawabannya.
“Jika nanti kamu kalah, kamu juga harus berusaha lebih giat lagi. Jangan pernah putus asa untuk mengapai mimpi kamu. Kami juga akan terus menyupport kamu,” sambung Papa; Sentosa.
“Iya Papa, Mama.” Embun tersenyum. “Menang ataupun kalah aku akan tetap tersenyum.”
“Menang ataupun kalah nanti, kamu tetap anak Papa dan Mama.”
Embun mengangguk lagi.
Nevara memeluk Embun. “Kak, apapun keputusannya nanti ingat saja, kami akan tetap selalu menjadikan Kakak nomor satu.”
Embun membalas pelukan Nevara. “Makasih ya, Dik. Kamu emang adik terbaik Kakak.”
“Kalian anak kebanggaan Mama dan Papa,” ucap Elisa sembari memeluk kedua anaknya.
Namun, beberapa menit kemudian, klason truk di depan mobilnya berbunyi. Lampu depan mobil itu menyorot keluarga Embun yang juga berteriak kencang. Pak Elman membanting stir ke arah kanan dan menabrak mobil sedan yang juga melaju dengan kecepatan tinggi dari arah berlwanan. Sementara truk yang hampir menabraknya sudah menabrak tiang listrik dan rumah makan.
Brakk!
Mobilnya rusak parah, dan asap keluar dari depan mobil. Pak Elman pingsan karena benturan keras di dada dan kepalanya, Papanya juga sudah tergeletak tak berdaya dengan darah di kepala karena benturan hebat dan pecahan kaca. Nevara terbentur ke depan mobil, dan Mamanya mengalami pendaraan di kepala dan badannya.
Sementara Embun, kakinya terjepit, kepalanya terasa sakit karena tersungkur, dan luka-luka karena serpihan kaca mobil yang rusak parah.
Embun memanggil keluarganya satu persatu dengan nafas tercekal dan air mata. Ia juga berteriak meminta tolong agar ada yang membantunya untuk keluar dan menyelamatkan keluarganya. Orang-orang di sekitar yang melihat pun membantu mengeluarkan keluarganya satu persatu. Dan, saat Embun berhasil diselamatkan, ia pingsan di perjalanan menuju rumah sakit.
Kelurga mereka terpisah-pisah. Dan, Embun tidak tahu bagaimana nasib keluarganya saat itu.
-O-
Satu minggu setelah kejadian kecelakaan itu, Embun dinyatakan lumpuh. Syarat dan otot-otot kakinya ada kerusakan, dan itu membuatnya lumpuh. Walau hanya sementara, namun ia menggunakan kursi roda sebagai bantuannya beraktifitas.
Kehilangan satu persatu keluarga dekatnya, membuat Embun merasa dirinya merasa tak berarti lagi di dunia ini. Semua karena dirinya. Andai ia tidak memaksa keluarganya ikut dalam perjalannya itu, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Embun selalu menyalahkan dirinya.
Embun menangis di depan makam keluarganya setelah mendapat izin pergi dari Dokter dengan taksi online. Embun juga menatap satu persatu batu nisan yang bertulis nama Papa, Mama, dan Adiknya itu. Lagi, air matanya terjatuh.
“Ma, Pa, Dik, kalian kenapa tinggalin Luna sendirian dengan kondisi seperti ini? Kenapa kalian tidak mengajak Luna ikut bersama kalian?”
Embun terisak.
Ia juga memukul kakinya yang tak berdaya. “Kaki Luna enggak bisa digerakkin lagi. Luna cacat sekarang,” jeritnya lagi. Ia menunduk, bahkan ia tak mampu untuk melihat batu nisan keluarganya. “Ma, siapa yang akan buatkan susu cokelat untuk Luna di malam hari? Siapa yang akan mengantar Luna berpergian lagi, Pa? Siapa yang akan Luna ajak cerita lagi, Dik?”