Setelah hari di mana Embun dipermalukan di sekolah, ia memutuskan untuk tidak kembali datang ke sekolah. Ia bahkan mengunci dirinya di kamar dan menangis.
Embun tidak melakukan pengobatan lagi. Ia akan keluar kamar jika ia sudah lapar, dan sisanya ia akan terus berada di dalam kamar dengan kehampaannya.
Mbok Suci sudah berusaha menasehati majikannya itu, namun sia-sia.
Embun tetap pada pendiriannya. Ia akan terdiam dan menangis jika orang bertanya tentang kehidupannya.
Di dalam kamar, ia selalu menghabiskan waktu dengan menulis kata-kata di laptopnya. Semua isi hatinya tercurah di sana, dan Embun menganggap laptop adalah teman barunya.
Embun menghapus air matanya lagi. Obat depresi yang diberikan dokter pun ia minum beberapa kapsul untuk menghilangkan rasa takut dan sedihnya. Embun tidak memperdulikan keadaan, yang ia pikirkan sekarang adalah ketenangan.
Viona yang mencoba menghubungi Embun untuk bertanya kabar pun tak ada respon. Embun hanya diam tanpa banyak komentar.
“Non Luna,” panggil Mbok Suci yang membawa semangkuk bubur dan obat-obatan di atas nampan.
Embun menoleh, kemudian tersenyum kecil. “Jangan panggil nama itu, Mbok.” Embun meneteskan air matanya lagi. “Nama itu, nama itu yang membuat aku harus merasakan sakit seperti ini. Aku membenci nama Luna. Aku benci nama itu!” jeritnya.
Mbok Suci yang sudah terbiasa mendapatkan bentakan Embun tahu apa yang harus ia lakukan. Mbok Suci mengangguk, dan mendekati dirinya, kemudian mengelus rambut Embun untuk bisa tenang dalam pengaruh emosinya.
“Baiklah. Sekarang Mbok akan manggil Non dengan panggilan Embun,” balas Mbok Suci.
Embun terdiam. Ia melihat Mbok Suci yang tersenyum sambil mengelus rambutnya dengan sayang. “Embun itu suci sama seperti nama kamu. Orang tua kamu memberi nama itu agar kelak kamu bisa menjadi wanita yang bisa menyucikan semua orang.”
Embun menghapus air matanya. “Embun?” tanyanya ulang.
“Iya. Setiap hari di kampung, anak Mbok suka sekali menunggu pagi untuk melihat embun di daun-daun depan rumah. Ia bilang ke Mbok kalau Embun itu menyejukkan. Dia ingin sekali menjadi embun, tapi Mbok bilang kalau embun hanya datang sejenak dan kedatangannya juga tidak pernah menganggu orang. Anak Mbok bilang lagi kalau suatu hari nanti dia akan bertemu dengan embunnya.”
“Apa aku bisa menjadi Embun, Mbok?” tanya Embun.
“Bisa, Nak. Perilakumu suci seperti namamu. Dan kamu pantas menjadi Embun semua orang,” jawab Mbok Suci.
“Tapi semua orang membenciku, Mbok. Mereka meninggalkanku.”
“Tapi enggak dengan kami, Non. Nyonya Viona sangat menyayangimu, dia justru menangis melihat kondisimu yang semakin hari semakin memburuk seperti ini.”
“Mbok bohong. Tante Viona enggak sayang aku, dia justru ninggalin aku di saat aku terpuruk. Dia ninggalin aku demi karirnya,” kata Embun lagi.
“Non,” panggil Mbok Suci. “Setiap malam Nyonya Viona bilang ia sangat menyesal meninggalkanmu, tapi dia tidak bisa mengatakannya. Nyonya Viona tidak bisa meninggalkan karirnya sebenarnya, tapi karena semua itu adalah cita-citanya, ia harus mengejarnya.”
Embun terdiam.
“Nyonya Viona menyayangimu, Non.”
Embun terisak.