It's Ok, I'm Good

rara
Chapter #4

(4) Tentang Pahitnya Hidup

Setelah sampai di Jakarta dan mengetahui kondisi Embun yang kembali masuk ke dalam rumah sakit, karena terlalu banyak mengkonsumsi obat anti depresi pun memutuskan untuk meninggalkan semua cita-citanya. 

Viona berlari ke rumah sakit dan melihat ponakannya yang tertidur dengan bantuan infus pun tersenyum pilu. Viona mendekati Embun, dan menggenggam jemari Embun erat. 

Air matanya pun terjatuh. Ia merasa bersalah dengan ponakan kecilnya itu.

“Luna, maafkan Tante yang meninggalkanmu sendiri. Tante emang egois, Maafkan Tante,” katanya terisak. “Tante janji akan terus berada di dekatmu. Tante akan menjadi orang tua kamu dan menyemangatimu. Tante janji, Luna.”

Viona seakan tak berdaya. 

“Mbok, gimana bisa Luna nekat meminum obat itu?” tanya Viona.

“Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak tahu jika Non Embun mengkonsumsi obat depresan itu. Dan kapan itu, saya tidak tahu,” jawab Mbok Suci.

“Non Embun?” tanya Viona heran.

“Iya. Non Embun tidak mau dipanggil Luna lagi. Ia membenci nama itu dan mengubah nama panggilannya menjadi Embun.”

Viona tak bersuara. 

“Malam itu setelah Pak Faisal menceritakan jika di sekolah Non Embun dihina teman-temannya, Non memilih untuk tidak sekolah, tidak berobat, dan putus asa. Saya sudah menasehatinya, tapi tetap saja dia keras kepala dengan pendiriannya,” cerita Mbok Suci. 

“Luna memang mengalami tekanan, Mbok. Dan saya gagal menjadi Tante yang baik untuk dia,” ujarnya lemah.

“Nyonya Viona tidak gagal. Sekarang Nyonya sedang berusaha untuk menjadi Tante yang baik untuk Non Embun.”

Viona mengangguk. “Saya janji Bi, saya akan menjaganya dan merawatnya. Saya akan terus mendorongnya untuk kembali seperti dulu lagi,” kata Viona.

Mbok Suci mengangguk saja. 

“Setelah ini, mungkin saya akan bawa Luna pindah rumah. Mungkin saya akan mengontrak rumah di daerah Tangerang untuk bisa membuat Luna tenang dan melupakan masalalunya, Mbok.”

“Jangan melupakan masalalu, karena itu semua tidak akan pernah bisa dilupakan,” kata Mbok Suci. “Nyonya harus bisa membuat Non Embun bisa menyimpan rapat-rapat masalalunya. Buat dia tenang dan yakinkan dia kalau semua yang terjadi itu adalah jalan hidup yang sudah Tuhan berikan.”

Viona terdiam sejenak, kemudian mengangguk. “Iya, Mbok. Saya akan mengingat apa yang Mbok bilang. Terima kasih banyak sudah menjaga keponakan saya selam saya pergi.”

“Sama-sama.”

Setelah itu, Viona memutuskan untuk menemui dokter Ani untuk menanyakan kondisi Embun. Viona butuh grafik perkembangan kesehatan Embun. 

-O-

Viona yang berada di dalam ruangan Embun sejak tadi hanya bisa diam melihat ponakannya itu terus saja melamun. Setelah dokter mengatakan jika Embun tidak bisa berjalan kembali hingga beberapa tahun ke depan, Embun hanya diam. 

Viona sudah mengajak bicara Embun, tapi tetap saja tak ada respon darinya. 

“Embun,” panggil Viona yang membuat Embun menoleh ke arahnya. “Tante punya usul, gimana kalau kita pindah ke Tangerang. Tante sudah mencari rumah dan sekolah baru untukmu,” kata Viona lagi. 

“Untuk apa Tante?” tanya Embun terdengar lirih. “Aku udah cacat dan aku pasti akan dihina kembali jika aku kembali ke sekolah.”

Viona menggelengkan kepalanya. “Enggak sayang. Tante janji akan menutut kepada sekolah itu jika ada yang menghinamu lagi.”

“Percuma Tante. Aku udah enggak punya masa depan.”

“Jangan bicara begitu, Embun. Kamu tahu, banyak orang diluaran sana yang nasibnya jauh lebih memilukan dibandingkan kamu. Mereka buta, mereka tidak mendengar, tidak berjalan, bahkan mereka tidak bisa berbicara. Tapi mereka tetap semangat menjalani hidupnya untuk meraih semua mimpinya.”

Lihat selengkapnya