“Gimana sekolahmu hari ini, Alfa? Terus perlombaanmu itu gimana?” tanya Mamanya; Sri.
Alfa yang baru pulang sekolah hanya terdiam saat Mamanya sudah menghadang jalannya dan bertanya tentang sekolahnya.
Alfa bosan setiap hari selalu dianggap anak kecil. Sejak dulu, ia dijadikan robot oleh kedua orang tuanya, dan Alfa lelah.
Alfa tidak bisa menolak, karena percuma. Mamanya akan menangis jika Alfa tidak menuruti kemauannya.
“Alfa!” bentak Sri. “Mama tanya sama kamu.”
“Baik Ma. Semuanya baik-baik saja. Perlombaannya juga enggak ada kendala.”
“Kamu jaga kondisi kamu terus, biar saat lomba kamu bisa menampilkan yang baik dan jangan lupa belajar ketertinggalan pelajaran kamu juga.”
Alfa mengangguk.
“Mama sudah meminta bahan pelajaran tambahan untuk kamu kepada Bu Mirna. Kamu tinggal pelajari dan isi jawabannya. Semua sudah Mama taroh di kamar kamu.”
Alfa mengangguk lagi.
Ya, Mamanya selalu meminta soal tambahan kepada wali kelasnya untuk menaiki nilai Alfa di sekolah. Orang tua Alfa sangat posesif tentang kehidupan masa depan Alfa.
Ia menginginkan anak yang pintar dan cerdas, agar suatu hari nanti anak-anaknya tidak terlantar.
Bagi orang tua Alfa, kepintaran anak nomor satu.
“Jangan main PS sampai larut malam lagi, Alfa.”
“Iya, Ma.”
Setelah itu, Alfa berjalan ke lantai atas kamarnya dan pergi untuk menenangkan pikirannya. Alfa ingin tidur, karena dengan tidur ia tidak mendengar ocehan Mamanya lagi.
“Malam ini Anggi mau makan malam bersama. Kamu jangan ke mana-mana,” teriak Mama lagi.
Alfa tak mengacuhkan. Mendengar nama Anggi, membuatnya kembali gila.
-O-
Embun yang baru membersihkan dirinya langsung bergegas ke ruang makan untuk makan bersama dengan Viona.
Embun sudah berjanji untuk menyicipi masakan Viona.
“Silahkan dinikmati, Sayang.”
Embun mengangguk. Ia mengambil udang saus tiram dan juga tempe orek dengan kacang.
Rasanya begitu enak, dan Embun ketagihan.
“Gimana?” tanya Viona.
“Enak banget, Tante.”
“Dihabiskan kalau enak, Sayang.”
Embun mengangguk lagi.
Viona senang melihat Embun seperti itu. “Oh iya, gimana sekolahmu?” tanya Viona.
“Baik semua, Tante. Guru-gurunya baik.”
“Terus gimana anak-anaknya? Kamu udah punya teman belum?”
“Baik juga. Aku punya teman, namanya Elina. Dia teman sebangku aku.”
“Oh iya? Wah, berarti mereka semua ramah-ramah ya?” tanya Viona lagi.
Embun mengangguk. “Iyasih, tapi ada satu cowok yang tadi marah-marah sama aku dan ngatain aku cacat,” jawab Embun.
“Terus?”
“Aku diamkan saja dan tersenyum. Sesuai perintah Tante. Orang itu diam dan pergi.”
Viona mengelus rambut Embun lagi. Sorot matanya berubah sendu saat Embun menceritakan tentang anak yang mengatainya cacat.
“Tapi Tante enggak usah khawatir, menurut gossip di sana, cowok itu emang jahat mulutnya tapi baik hatinya,” sambung Embun kembali.
“Kenapa bisa bicara begitu?” tanya Viona.
“Iya dia ngatain aku karena aku salah sudah nabrak dia. Untung baik dia enggak apa-apain aku. Dia aja enggak minta ganti rugi.”
Viona kembali diam mencerna ucapan Embun.
“Aku bisa jaga diri, Tante.”