"Kamu dengarkan ucapan saya, Embun?” tanya dokter Ani.
Embun mengangguk. “Tapi memang jika saya rutin melakukan terapi, kaki saya bisa berjalan lagi?” tanya Embun.
“Kemungkinan besar iya. Karena kelumpuhan kamu bersifat sementara.”
“Tapi saya enggak yakin, Dokter.”
“Apa yang bikin kamu enggak yakin?” tanya dokter Ani lagi.
“Entahlah,” jawab Embun. “Saya hanya mengikuti perasaan saya. Lagian, saya sudah bahagia dengan kondisi saya sekarang. Saya sudah mencoba menerima kekurangan saya.”
Dokter Ani melihat ke arah Viona.
“Tuhan sudah memiliki rencana lain untuk saya. Jika nanti saya sembuh, mungkin karena Tuhan mengerti kesabaran saya selama ini, jikapun tidak sembuh saya bisa apa? Saya ikhlas.”
“Saya tidak bisa berkomentar apapun lagi, Embun. Semakin hari, semakin dewasa saja bicaramu. Saya merasa termotivasi untuk menyembuhkan kamu, Embun.”
“Terima kasih, Dokter. Saya merasa senang jika Dokter membantu saya.”
“Melihatmu seperti ini, saya merasa harus sanggup menyembuhkan kamu. Pertahankan terus keteguhan kamu ini ya, Embun.”
Embun mengangguk.
Viona tersenyum saja. Setelah itu, Embun meminta suster membantunya kembali ke kursi rodanya. Ia rasa hari ini selesai, besok ia akan memeriksa kondisi kakinya lagi.
“Semoga Tuhan memberikan jalan untukmu, Embun.”
Embun mengangguk saja.
Setelah itu, Viona berpamitan dan berterima kasih kepada Dokter Ani.
“Sekali lagi terima kasih, Dokter.”
“Sama-sama, Embun.”
-O-
Tepat satu minggu Embun bersekolah, Embun sudah memiliki banyak pujian dari guru-guru. Dari mulai guru Fisika yang mengumumkan nilainya tertinggi, Bahasa Indonesia, Matematika, dan lainnya. Embun hanya bisa tersenyum senang.
Banyak juga temannya yang mau bergaul dengannya. Tak heran, mereka tidak menganggap Embun itu sampah seperti teman lamanya.
“Embun, tahu enggak sih kalau Alfa di keluarin dari tim basket sekolahan. Dia enggak boleh ikut O2SN karena kakinya yang patah. Sekarang, semuanya nyalahin Alfa. Karena mungkin pertahanan mereka hancur,” cerita Elina yang membuat Embun terdiam cukup lama. “Dan kamu tahu yang lebih parah, Anggi bilang ke semua teman-temannya kalau Alfa tuh udah jadi cowok enggak berguna. Dia nyebarin info tentang orang tua Alfa yang enggak suka Alfa. Sekarang banyak temannya yang ngebenci Alfa. Kasihan deh si Alfa.”
Embun melihat Elina dengan tatapan sedih. Embun tahu rasanya dikucilkan, dan Embun pernah merasakannya.
“Tapi masih banyak sih yang suka sama dia, ya walaupun enggak sebanyak dulu lagi. Gila ya, Anggi bisa memutar balik fakta gitu,” kata Elina lagi.
“Emang Alfa udah keluar rumah sakit?” tanya Embun.
“Udah. Hari ini dia masuk. Tadi aku lihat dia ke taman sekolah,” jawab Elina.
Embun mengangguk. Dengan cepat, ia izin kepada Elina untuk ke toilet.
Elina berniat mengantar, namun Embun tak memberi izin. Embun tidak benar-benar ke toilet, ia ingin menemui Alfa.
Selama di jalan, pikiran Embun masih teringat perkataan orang tua Alfa yang kecewa kepada Alfa. Embun tahu, disalahkan itu tidak enak.
Sampainya di taman, Alfa melihat Eki memarahi Alfa dan mengatakan jika Alfa tidak berguna sebagai ketua tim.
Eki terus memaki Alfa, sementara Alfa hanya bisa diam tak berani bicara.
“Kalau lo enggak beneran serius sama basket, kenapa lo masuk tim inti? Lo tahu, lo ngebuat pertahanan tim kita goyang!” bentak Eki.
“Sori.”
“Apa dengan maaf lo bisa bikin tim kita baik?” tanya Eki. “Enggak!” Eki mengacak rambutnya frustasi. “Gue enggak tahu masalah lo apa, tapi gue bener-bener nyesel udah pernah taruh kepercayaan gue sama lo. Gue kecewa sama lo. Lo enggak jauh dari pecundang.”
Alfa melihat Eki, nanar.
“Dengerin gue, Ki. Gue ... Gue enggak tahu bisa seperti ini. Kejadian itu enggak pernah gue duga. Gue emang kabur dan berantam sama Mama gue tentang lelahnya gue yang selalu dipaksa untuk menang terus, gue cape.”
“Apa salahnya lo ikutin aja kemauan Mama lo? Lagian lo kaya cewek, pakai berontak.”
Alfa diam.
“Udah. Mulai sekarang lo dikeluarin dari tim. Jangan pernah main lagi, karena gue enggak terima pecundang seperti lo,” kata Eki yang meninggalkan Alfa seorang diri.
Eki berpapasan dengan Embun yang mendengarkan semuanya.
Eki bersikap biasa saja, sementara Embun tersenyum miris.
Embun berjalan ke arah Alfa yang terduduk melihat kakinya yang terbalut perban.
Ia menggerang frustasi. “Arggghh! Kenapa harus gue? Kenapa kecelakaan ini bikin hidup gue makin hancur?! Kenapa Tuhan!” teriak Alfa.
Embun terdiam di belakang Alfa.
“Gue enggak kuat. Gue capek! Kenapa semua orang hanya bisa melihat sebelah sisi gue aja! Mereka enggak mikirin gue?! Kenapa. Kenapa gue.”
Embun menelan ludahnya susah payah. Air matanya terjatuh. Ternyata bukan hanya ia yang pernah mengalami kegagalan dalam hidup, Alfa juga.
Alfa memukul kakinya. “Gue capek. Mending gue mati aja, gue bakalan tenang.”
“Arrgggh!”
Embun menahan lengan Alfa saat dirinya ingin memukul kakinya dengan batu besar yang ada di samping Alfa. Sementara Alfa yang melihat Embun langsung menepisnya.
“Siapa lo! Kenapa lo di sini. Pergi lo, gue enggak mau di ganggu!”
Embun menghapus air matanya. Ia membuang batu yang Alfa pegang.
“Kenapa lo buang batu gue? Gue mau bunuh diri. Gue capek hidup!”
“Kenapa kamu mau mati? Apa dengan mati kamu bisa menyelesaikan masalah?” tanya Embun. “Enggak, Alfa. Mati itu sama saja kamu lari dari permasalahan. Kamu enggak akan tenang juga.” Embun memegang lengan Alfa. “Kamu bunuh diri, itu yang ada ngerugiin diri kamu sendiri. Kamu di benci Tuhan, dan semua orang.”
Alfa terdiam.
“Aku tahu perasaan kamu, jadi jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup kamu, ya.”
Alfa menoleh ke arah Embun. “Lo enggak tahu apa-apa tentang gue. Gue hancur dan semuanya benci gue. Gue udah enggak berguna,” ucapnya lirih.
Embun tersenyum kecil. “Siapa bilang aku tidak tahu? Aku pernah merasakan apa yang kamu rasakan. Dikucilkan, diabaikan, dan dibuang. Aku pernah terpuruk seperti kamu, tapi Tante dan Mbok Suci bilang semua itu enggak perlu di sesali. Tuhan punya rencana lain untuk hidup kita. Dia menyimpan masa depan kita yang lebih bahagia dari apa yang kita bayangkan,” kata Embun.
Alfa diam.