“Embun!” panggil Alfa yang tersenyum menyambut kedatangan Embun. “Selamat pagi.”
Embun terkekeh, setelah itu menjawab sapaan Alfa. “Selamat pagi juga, Alfa.”
Alfa yang sudah mengetahui gossip jika Embun mendapat nilai tertinggi saat ulangan Fisika, Matematika, dan Bahasa Indonesia beberapa hari yang lalu pun tidak mempermasalahkan semuanya.
“Tadi gue baru baca gossip murahan sekolah, katanya lo pintar, ya?” tanya Alfa yang sudah menarik kursi sebelah Embun. “Lo bisa capai nilai gue. Jangan-jangan lo mau lengserin kedudukan gue, ya?”
Embun terkekeh lagi. “Gosip di dengerin. Lagian, itu kebetulan aja, Alfa.”
“Masa?” tanya Alfa.
“Seriusan. Aku kan belajar selama ini, ya mungkin karena itu aku bisa jawab pertanyaan soal-soal itu.”
Alfa tak percaya. Ia mencubit pipi Embun. “Bohong lo kelihatan banget sih, Mbun. Gue tahu kok lo pintar. Kenapa lo gak ngaku aja sih?” tanya Alfa lagi.
“Kata siapa sih? Kamu cenayang?” tanya balik Embun.
“Embun Aluna, gue kan cari tahu tentang l—“ Alfa menghentikan ucapannya. Embun tertawa. “Hayo ketahuan yang stalk tentangku.”
Alfa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Lagian susah banget tinggal bilang iya. Jadian ketahuan kan kalau gue ngestalk.”
“Iya dulu sih pinter, tapi kan aku enggak sekolah beberapa bulan dan aku bego lagi deh.”
“Mana bisa bego? Buktinya nilai lo sempurna.”
“Kebetulan aja, Alfa.”
“Padahal gue senang loh punya saingan baru untuk belajar,” kata Alfa.
Embun mengernyit bingung. “Maksud kamu?”
“Lo pintar, lo pernah ikut O2SN juga. Dan gue merasa senang punya saingan di sekolah. Lo jadi pacuan gue untuk ngalahin lo,” balas Alfa.
“Jadi ceritanya kamu mau ngalahin aku nih?” tanya Embun.
“Bisa dibilang gitu. Gue tetap akan bertahan sama nilai-nilai gue.”
“Kalau nilaiku lebih tinggi bagaimana?” tanya Embun lagi.
“Enggak akan gue biarin,” balas Alfa. “Gue akan buktiin kalau gue bisa menang dari lo.”
“Sombong deh,” kata Embun, terkekeh. “Kita buktiin aja. Tapi kalau kalah, kamu harus teraktir aku makan gimana?” tanya Embun lagi.
“Deal!”
“Okey. Ditunggu semester ini ya, kalau aku bisa dapat peringkat satu di kelas ini, aku tagih janji kamu buat traktir makan aku.”
“Gue enggak takut. Karena gue bakalan menang, Embun.”
“Aku juga, karena aku akan menang, Alfa.”
Tanpa mereka ketahui, anak-anak yang melihat merasa iri karena Alfa mau berbicara kepada Embun yang biasa saja.
Mereka merasakan iri.
-O-
“Embun, aku mau tanya, sebenarnya kamu sama Alfa ada hubungan apa?” tanya Elina yang sedang mencatat beberapa materi yang dicatat guru di papan tulis.
Embun menoleh, kemudian tersenyum. “Hanya teman.”
“Bagaimana bisa?” tanya Elina lagi. “Pertemuan pertama kalian enggak mengenakkan, terus kenapa Alfa jadi ramah gitu?”
“Dia tobat kali.”
“Aneh tahu.”
“Ya sudah sih, El.”
“Jangan bilang Alfa suka sama kamu?” tanya Elina yang membuat Embun menghentikan aktifitas menulisnya. “Kalau itu terjadi, bakalan ada hari patah hati nasional.”
Embun menghela nafasnya. “Apasih, El. Enggak. Alfa teman saja. Dia enggak suka aku yang cacat. Kebetulan aja mungkin.”
Elina mengerucutkan bibirnya. “Alfa enggak pernah dekat sama cewek lain selain si Anggi. Dia aja sombong, kenapa sekarang dia ramah sama kamu? Itu aneh, Embun.”
Embun hanya tertawa kecil. Ia melanjutkan menulis.
Mendengar Elina, membuatnya kembali berharap pada kenyataan yang akan menamparnya sangat keras.
Embun tidak akan pernah mencintai Alfa, karena ia tahu kondisinya yang mungkin akan mempermalukan Alfa seperti Elvan dulu. Embun tidak mau merasa sakit lagi.
“Mbun, kalau Alfa suka sama kamu, jangan diterima ya,” kata Elina yang membuat Embun mau tak mau mengangguk.
“Makasih Embun.”
“Ya sudah nulis lagi,” kata Embun mengakhiri percakapan singkatnya.
-O-
“Embun, kantin bareng yuk,” ajak Alfa.
Embun menggeleng. “Hari ini bawa bekal, Al.”
Alfa diam, kemudian melirik Elina yang ingin keluar dari bangkunya.
“Yaudah gue temenin lo ya, Mbun.”