“Alfa!” panggil Rudi saat Alfa memasuki rumahnya. “Papa mau bicara. Kamu cepat ganti baju, dan datang ke ruang kerja Papa.”
Alfa mengangguk. Setelah itu ia kembali masuk ke dalam kamarnya.
Ia tahu apa yang akan orang tuanya bicarakan. Yang pasti tentang nilai-nilainya yang terkalahkan oleh Embun, dan pengeluarannya dari tim inti basket.
Alfa tersenyum miris. Lagi, Alfa memaki takdir hidupnya.
“Kenapa juga gue harus dilahirkan dikeluarga ini?” tanya Alfa pada dirinya sendiri. “Gue enggak bisa kaya anak lain. Bebas untuk bermain, berpendapat, dan bersenang-senang di usia muda.”
Alfa melempar tasnya ke kasur, kemudian ia menjatuhkan dirinya di sofa.
Sesekali ia memejamkan matanya. “Apa yang harus gue lakuin lagi?” tanya Alfa pada dirinya sendiri.
Alfa menghembuskan nafasnya, kemudian bergegas mengganti pakaian dan turun menemui Papanya. Atau jika tidak, Alfa akan mendapatkan hukuman dari Papanya itu.
Setelah itu, Alfa turun ke lantai bawah dan melihat Mamanya sedang membuat minuman di dapur. Alfa berlalu tanpa menegur sang Mama, begitupun Mamanya.
Alfa mengetuk pintu ruang kerja Papanya, seteah mendapat izin untuk masuk, Alfa masuk.
Alfa duduk di meja depan Papanya yang sedang membaca map yang Alfa ketahui adalah nilai-nilainya beberapa minggu yang lalu.
“Gimana kabar sekolahmu?” tanya Rudi.
“Gitu sih.”
Rudi melihat Alfa, kemudian meletakkan map di atas meja. “Apa benar ada anak baru yang bisa menyaingi nilai kamu?” tanya Rudi lagi.
Alfa mengangguk saja.
“Dari sekolah mana dia? Kenapa dia pindah ke sekolahmu?”
“SMA Garuda, dan alasan pindah enggak tahu.”
Rudi manggut-manggut saja. “Wali kelasmu bilang jika nilaimu dikalahkan olehnya. Apa dia seorang cewek?” tanya Rudi.
Alfa mengangguk.
“Kenapa kamu bisa kalah dari cewek, Alfa. Harusnya kamu bisa mengalahkan dia!”
“Embun itu pintar, Pa. Lagian kenapa sih kalau Alfa kalah dari dia, mungkin aja emang kemampuan Alfa hanya sampai sini.”
“Papa enggak mau tahu, kamu harus mengalahkan dia bagaimanapun caranya.”
“Kalau Alfa mampu.”
“Harus mampu, Alfa!” tegas Rudi. “Papa enggak mau mendapat laporan seperti ini lagi. Kalau perlu, kamu harus bisa bikin dia tahu kalau kamu itu satu-satunya murid berprestasi di sana.”
Alfa kembali diam.
“Dan urusan basket kamu, Papa masih memberikan kamu kesempatan untuk bisa ikut kompetisi selanjutnya. Walaupun Papa tahu kamu itu anak ceroboh.”
Alfa masih diam.
“Kamu dengar, Alfa!”
Alfa mengangguk. “Dengar, Pa.”
“Kalau begitu, untuk ke depannya, kamu harus menambah waktu belajarmu. Kontrol kesehatan kakimu agar bisa sembuh cepat.”
“Pa, jangan tambah waktu belajar Alfa lagi. Alfa udah capek,” katanya membela diri.
“Jangan melawan kamu, Alfa. Dengar apa yang orang tua kamu mau. Harusnya kamu bersyukur, karena Papa dan Mama memaafkan kamu karena sifat cerobohmu itu. Papa hanya memberikan hukuman tambahan waktu belajar kepadamu.”
“Pa,” renggek Alfa.
“Tidak ada pembantahan.”
Alfa kembali diam. Jika sudah A, maka tidak ada pengubahan ke B. Itulah sikap Papanya.
“Masuk kamar, terus istirahat. Sore, Papa antar kamu ke tempat bimbel.”
“Pa, Alfa enggak butuh bimbel lagi.”
“Kamu butuh, Alfa.”
“Enggak. Alfa ini cowok. Alfa bukan cewek yang bisa diatur seenaknya, Pa.” Alfa bangkit dari tempat duduknya. “Alfa capek, Pa. Selalu menuruti kemauan Papa sejak dulu hingga sekarang. Alfa ini punya kesibukan juga, Alfa bisa berontak suatu hari nanti.”
Rudi melihat Alfa. “Duduk kamu! Enggak sopan.”
“Sekali aja Pa kasih Alfa kebebasan. Jika Papa dan Mama menganggap Alfa ini cewek, Papa salah besar. Alfa cowok. Alfa tahu mana yang benar dan juga salah. Alfa mengerti masa depan Alfa. Mengerti bagaimana caranya Alfa bergaul, tanpa perlu dilarang-larang.”
Rudi diam, namun sorot matanya masih tajam.
“Papa enggak pernah ngerti perasaan Alfa. Di saat teman-teman Alfa bebas untuk main, Alfa malah belajar. Alfa pakai waktu main untuk belajar. Semuanya untuk belajar. Alfa lelah dikekang seperti burung.”
Rudi membenarkan kacamatanya.
“Tolong Pa, jangan bikin Alfa jadi anak durhaka sudah membangkang kalian,” lirih Alfa. “Tapi tolong juga kasih kesempatann Alfa untuk bermain seperti anak lainnya.”
Rudi menghela nafasnya. “Sudah bicaramu?” tanya Rudi. “Sekarang masuk kamar! Jangan harap dengan perkataan tidak sopanmu itu membuat Papa luluh. Papa hanya ingin melihat kamu dan prestasimu, jangan memalukan Papa!”
Alfa yang ingin berkomentar lagi, dihalang oleh Rudi.
“Masuk kamar Alfa Bagaskara!”
Alfa keluar ruangan Papanya, dan memutuskan untuk pergi.
Ia tidak peduli akan hukuman dan amukan Papanya, yang sekarang ia pikirkan adalah pikirannya yang kacau.
“Alfa, mau ke mana kamu?” tanya Sri.
Alfa mengacuhkan pertanyaan Mamanya, bahkan teriakan Mamanya.
Ia pergi dengan motornya. Mengendarai dengan cepat, agar tidak lagi mendapat kekangan dari orang tuanya. Walaupun kakinya masih sakit, Alfa tidak memperdulikannya.
“Mas,” panggil Sri lirih.
“Biarkan saja anak itu pergi,” ucap Rudi. “Kalaupun nanti dia sudah berubah pikiran, ia akan kembali. Lagian, mau ke mana dia?”
Sri diam mendengar perkataan suaminya.
-O-
Setelah pulang sekolah, Embun memutuskan untuk mendatangi tempat latihannya dulu di kawasan Jakarta. Embun merindukan lokasi renang di mana ia sering tertawa bersama dengan orang tua dan juga pelatihnya.
Sampainya di sana, Embun terdiam melihat beberapa temannya berlatih.
Bahkan di sana ada Sesa, teman satu sekolah Embun dulu yang selalu menjadi perwakilan O2SN di sekolah bersamanya. Embun juga melihat Elvan yang berada di barisan penonton.
“Loh, Luna?” panggil Richard yang baru menyadari kehadiran Embun. “Sudah lama enggak ke sini, apa kabar?” tanya Richard.
Embun tersenyum, kemudian mengangguk tanda ia baik-baik saja.
“Sama siapa ke sini?” tanya Richard.