Sampainya di rumah, Viona menyuruh Alfa untuk mandi dan mengganti pakaiannya.
Viona juga membuatkan dua cangkir teh hangat untuk Alfa dan Embun mengobrol. Alfa sudah menceritakan tentang keluarganya yang selalu mengekangnya kepada Viona. Ia juga menceritakan aksi kaburnya dari rumah kepada Viona.
Namun, tetap saja pesan Viona untuk Alfa sama seperti yang Embun pernah katakan.
Sekarang, Embun terdiam di depan rumah sambil melihat hujan yang mengguyur deras komplek perumahaannya.
Embun merasa tenang, dan menikmati suasana hujan.
“Kenapa lo enggak tidur?” tanya Alfa yang entah kapan datangnya. “Lo enggak kedinginan di luar seperti ini?”
Embun menggelengkan kepalanya saja.
“Lo suka hujan?” tanya Alfa lagi.
Embun mengangguk. “Iya aku suka hujan.”
“Gue enggak.”
Embun menoleh ke arah Alfa. “Kenapa?”
“Karena hujan itu menyakitkan. Setelah ia datang kepermukaan, ia akan membawa penyakit untuk orang-orang banyak. Karena itu, gue enggak suka hujan.”
“Hujan itu anugrah, Alfa. Dia datang membasahi semua hingga bunga-bunga yang kering kembali bermekaran. Dia memberi kehidupan kepada yang sudah mati. Dia juga menyapu bersih setiap kenangan yang pernah tertinggal.”
“Tapi setelah hujan selesai, ia meninggalkan bekas.”
“Dan bekas itu bisa dibersihkan. Setelah hujan selesai, pelangi akan datang.”
“Enggak setiap hujan akan mendatangi pelangi, Embun.”
“Iya, aku tahu. Hanya hujan panas yang bisa mendatangkan pelangi.” Embun tersenyum, “Hujan itu ibarat masalah. Ia akan datang terus-menerus, dan akan meninggalkan banyak bekas luka. Dan Pelangi itu ibarat kebahagiaan. Jika kita bisa menyelesaikan masalah itu dengan baik dan benar, kebahagiaan akan menghampiri kita.”
Alfa terdiam lagi.
“Seperti kamu, yang kabur dari rumah karena orang tua kamu,” kata Embun yang membuat Alfa melihat ke arahnya sedikit terkejut. Ia belum menceritakan, tapi Embun sudah tahu. “Jangan bingung, Tante Viona yang menceritakan semua kepadaku.”
Alfa mengganti posisi duduknya. “Gue emang kabur dari rumah, tapi semua itu demi kebebasan gue. Gue capek diperlakukan seperti burung, Mbun.”
“Kabur itu bukan penyelesaian masalah. Justru dengan kamu kabur, masalah semakin panjang. Kalau kamu enggak bilang sama orang tua kamu, semua enggak akan berjalan baik. Masalah enggak akan selesai, yang ada malah bertambah.”
“Gue udah bilang sama Papa tentang isi hati gue, tapi dia tetap aja sama pendiriannya. Dia suruh gue untuk terus mempertahankan posisi gue. Les tambahan, dan menyita barang-barang gue lainnya. Dia enggak mikir, berapa frustasinya gue ngehadapin pelajaran-pelajaran yang bikin gue pengen muntah,” balas Alfa. “Yang dia mau hanya nilai sempurna. Toh, percuma gue dapat nilai sempurna, kalau gue kurang pergaulan juga sama orang-orang.”
Embun melihat Alfa, kemudian tersenyum. “Kamu tahu, Fa. Banyak banget orang yang berharap ada di posisi kamu. Diperhatikan dalam sekolahnya.” Embun memegang lengan Alfa. “Orang tua memang selalu menuntut hak atas anaknya, karena dia sudah menjalankan kewajibannya. Mereka bekerja keras untuk anaknya, agar kelak mereka bisa bahagia melihat anaknya sukses.”
Alfa terdiam lagi.
“Orang tua enggak pernah meminta apa pun, Alfa. Dia hanya ingin yang terbaik untuk anaknya dikemudian hari. Hanya itu, mereka akan bahagia.”
Alfa menunduk. Ia merenungkan ucapan Embun yang membuat hati kecilnya terketuk.
“Aku bicara seperti ini karena aku juga pernah mengalami sepertimu. Papa dulu selalu memaksaku berlatih renang, agar kelak aku bisa membahagiakannya. Mama menututku untuk terus berprestasi. Pada awalnya aku jengah dan berpikir sama dengan kamu, tapi semua yang mereka lakukan berguna untukku sekarang.” Embun meneteskan air matanya. “Setelah mereka meninggal, aku merasa tekanan orang tua enggak ada lagi. Aku udah bebas, tapi aku merasa terpenjara. Aku linglung ke mana lagi aku harus melangkah. Aku enggak ngerti tujuanku sekarang itu apa. Tapi aku beruntung, karena aku pernah mengikuti apa yang mereka inginkan.”