Hari demi hari terlewati. Alfa juga sudah kembali ke rumah dan meminta maaf kepada orang tuanya. Alfa masih menuruti kemauan Papanya untuk menambah waktu belajarnya.
Alfa jarang bertemu ke rumah Embun lagi, yang ia fokuskan adalah mempertahankan nilainya untuk Papanya. Walaupun ia tahu, Embun bukan orang biasa yang bisa dikalahkan.
Embun pintar dan melihat dari latar belakangnya, Embun selalu menjuarai olimpiade tingkat nasional maupun Asia.
Embun juga sama, setelah bertemu dengan Alfa malam itu, Alfa jadi jarang main ke rumahnya. Ia hanya bertemu di sekolah, itupun juga terhalang karena Embun selalu di tarik paksa Elina untuk makan bersama dengan anak-anak lainnya. Embun kehilangan Alfa seketika.
Karena itu, Embun hanya menyalurkan rasa sedihnya dengan belajar ataupun berlatih di tempat renang bersama pelatih barunya yang Viona carikan bersama dengan Dokter Ani.
Hari ini, seluruh orang tua murid mengambil rapot semesteran.
Kepala sekolah pun mengumumkan jika Embun Aluna adalah pemegang nilai tertinggi terbaru setelalh Alfa Bagaskara.
Rudi dan Sri terdiam melihat Alfa, sementara Alfa hanya tersenyum dan menyadari jika kemampuannya memang sudah cukup sampai di sini.
“Papa lihat kemampuan Alfa cuma bisa sampai di sini,” kata Alfa lirih.
“Yang mana gadis bernama Embun Aluna itu, Alfa.”
Alfa mengedarkan pandangannya, kemudian menunjuk Embun yang duduk di kursi roda sambil mengambil bunga dari kepala sekolah.
Rudi mengikuti pandangan Alfa. Ia melihat Embun kemudian mengerutkan keningnya.
“Dia orangnya?” tanya Sri tidak percaya.
“Iya. Dia gadis pintar yang mempunyai jiwa pemberani.” Alfa melambaikan tangannya ke arah Embun, dan tersenyum. Ia menyapa Embun dengan ramah.
Embun pun meminta Viona mendorongnya ke arah Alfa.
“Hai,” sapa Embun riang.
“Hai juga, Embun.” Alfa menjawab sapaan Embun. “Kenalin, ini Mama dan Papa gue,” katanya memperkenalkan Sri dan Rudi.
Embun tersenyum, dan mengulurkan tangannya menyalimi keduanya.
“Selamat ya Alfa, selisih nilaimu tidak jauh beda dari Embun,” kata Viona tersenyum.
“Halah, kalian senang kan melihat anak kami kalah,” sambung Rudi yang membuat Viona terdiam. Alfa dan Sri melihat suaminya itu, sementara Embun hanya tersenyum kecil. “Mungkin saja sekarang kamu lagi beruntung.”
“Papa,” panggil Alfa.
“Papa bicara fakta, Alfa. Selama ini tidak ada yang bisa mengalahkan kamu dan sekarang ada cewek yang mengalahkan kamu. Apalagi, kalau bukan keberuntungan.”
Alfa terdiam. Sri mencoba untuk menenangkan suaminya agar tidak membuat keributan. Beberapa wali murid melihat ke arah mereka saja.
“Maaf ya, mungkin selama ini memang tidak ada yang mengalahkan Alfa di sekolah ini, tapi—“
“Tante sudah ya,” kata Embun menjeda.
Viona ingin memberontak, namun Embun terus mencegah keributan.
“Om, jika Om merasa puas jika Alfa mendapatkan peringkat pertama, silahkan ambil ditahun berikutnya. Aku tidak akan menghalanginya,” kata Embun yang membuat Rudi tersenyum sinis.
“Memangnya anak saya pengemis,” balas Rudi lagi.
“Siapa yang bilang pengemis. Mungkin Om sendiri yang beranggapan seperti itu,” kata Embun lagi.
“Kamu sudah cacat, berani berbicara seperti itu kepada saya! Kamu itu masih kecil, harus nurut sama orang tua,” kata Rudi berapi-api.
Viona ingin melawan perkataan Rudi, namun lagi, Embun menahan.
“Papa enggak seharusnya bicara seperti itu. Menghina Embun dan berkata kasar. Papa mau dihormati, dan harusnya Papa juga harus menghormati,” kata Alfa yang terlihat marah.
“Kamu diam saja, Alfa. Semua juga karena kamu. Dasar ceroboh. Anak tidak tahu diuntung. Kamu buat kami malu kembali.”
“Om,” panggil Embun lagi. “Saya bukan ingin menggurui, tapi saya hanya ingin berpendapat dari apa yang saya lihat. Seharusnya Om tidak pantas berbicara itu kepada anak Om sendiri.”
“Suka-suka saya mau bicara apa. Alfa anak saya, kenapa kamu mengatur saya?”
“Karena saya tahu Alfa anaknya Om dan karena itu juga saya ingin Om mengoreksi diri.” Embun menjeda ucapannya, “Harusnya Om sadar kesalahan Om. Kenapa Alfa bisa seperti ini? Om hargai semua yang sudah ia capai, bukan justru memojokan.”
Semua kembali diam mendengar Embun berbicara. Bahkan, guru juga melihat ke arah Embun.
“Maaf jika saya lancang, tapi inilah yang saya tahu dari Alfa. Dia tertekan selama ini karena mendapat perlakuan buruk dari kalian. Jujur, selama ini saya selalu menyalahkan Alfa karena Alfa sudah berbicara jelek tentang kalian, tapi melihat kalian seperti ini, justru saya merasa Alfa tidak salah.”
Rudi diam. Ia melirik Alfa sinis.
“Om, saya juga pernah merasakan apa yang Alfa rasakan. Tapi perlakuan orang tua saya berbeda. Almarhumah Mama akan mengelus kepala saya dengan sayang jika saya terjatuh, bukan menjelekkan. Almarhum Papa juga, ia akan menyupport saya hingga saya bangkit kembali dan bisa meraih mimpi saya,” kata Embun lagi. Ia tersenyum menahan rasa sesak di dalam hatinya. Entah kenapa, Embun merindukan Mamanya kembali.
“Jika Om ingin Alfa meraih mimpinya, biarkan dia menjalani hidupnya dengan bebas. Jangan halangi setiap langkahnya, jangan batasi ruang lingkupnya. Saya yakin, Alfa akan berhasil mendapatkan nilai sempurna seperti yang Om dan Tante inginkan.”