“Yang memulai itu diri kita, bukan orang lain. Jadi kenapa harus mendengarkan apa kata orang?” –Alfa
-O-
Anggi naik pitam saat tahu Papa Alfa membatalkan perjodohannya. Apalagi saat tahu Alfa semakin dekat dengan Embun, si cacat.
Anggi langsung melabrak Embun di kantin saat Embun dan Alfa sedang makan bersama.
Anggi mengguyur Embun dengan es yang sudah ia pesan.
“Dasar pelakor!” teriak Anggi. “Lo udah cacat enggak tahu diri. Lo kira lo siapa bisa deketin Alfa? Lo hanya gadis cacat yang numpang tenar sama tunangan gue!”
Embun terdiam melihat bajunya yang terkena noda. Rambunya juga terasa lengket karena ulah Anggi. Beberapa anak-anak melihat, sementara Alfa menatap sinis Anggi.
“Apaan sih, Lo.” Bentakan Alfa membuat Anggi mencebik kesal. “Lo enggak bisa ngelakuin ini sama Embun. Dia teman gue.”
“Kamu yang apa-apaan. Kenapa kamu dekat sama si cacat ini? Kamu mau hidup kamu hancur lagi di sekolah ini?”
Alfa terdiam saat Embun memegang lengannya.
“Maaf ya, aku memang cacat. Tapi aku punya harga diri. Kamu harus lebih sopan sedikit bicara sama aku,” kata Embun yang membuat tawa Anggi meledak.
“Harga diri? Berapa sih harga diri lo yang cacat ini?” tanya Anggi. “Lo itu enggak ada harganya. Manusia cacat yang berharap menang lomba renang. Lo pikir lo atlet renang macam atlet lainnya? Bukan. Lo ngaca, lo hanya siswi belagu yang mau menang dan mendapatkan pujian.”
Embun terdiam.
“Cukup Nggi!” bentak Alfa. “Gue udah terlalu sabar ngehadapin sikap lo. Sekarang lo harus tahu, gue bukan lagi tunangan lo, dan gue enggak pernah cinta ataupun sayang sama lo!”
“Alfa!” jerit Anggi.
“Sekarang gue peringatin, jangan pernah ganggu Embun. Karena dia orang yang gue sayangin saat ini,” kata Alfa sinis.
Anggi menunduk malu. Air matanya hampir terjatuh, sementara Embun terdiam saja.
Alfa menghapus air mata Embun, dan tersenyum. “Hei,” katanya. “Jangan nangis. Jangan pikirin ucapan orang-orang.”
Embun hanya mengangguk.
Anggi masih diam di tempat melihat pelakuan manis Alfa kepada Embun.
“Aku emang salah, Fa. Semua ini salah. Harusnya aku enggak memulai untuk berteman sama kamu. Aku merusak semuanya,” kata Embun.
“Mbun,” panggil Alfa. “Yang memulai itu diri kita, bukan orang lain. Jadi kenapa harus mendengarkan apa kata orang?” Alfa mengenggam jemari Embun. “Sekarang intinya lo fokus aja sama jalannya kita. Jangan pikirin orang. Anggap aja mereka angin berlalu.”
Embun mengangguk dan tersenyum kecil.
“Senyum ya, jangan ditahan. Cantiknya hilang deh.”