“Jika nanti lo terjatuh, bangkit lagi. Jangan dengarkan orang lain, karena gue akan selalu mendukung lo hingga akhir pertandingan.” -Alfa
-O-
Pergantian tahun sudah lewat beberapa hari. Embun terus berlatih, bahkan ia sempat opname di rumah sakit beberapa hari karena demam. Alfa juga selalu datang melihat Embun berlatih, bahkan ia yang selalu membantu Embun di saat terjatuh.
Alfa mengantar Embun terapi berjalan di saat Viona sedang sibuk, bahkan Alfa juga selalu menemaninya di saat Embun merasa bersedih.
“Besok aku lomba,” kata Embun yang melihat bintang-bintang dari taman belakang rumahnya. “Tapi aku masih belum sanggup untuk berjalan lancar. Kakiku benar-benar tidak bisa di gerakkan, Alfa.”
Alfa pun membawa Embun ke dalam pelukannya. Ia mengecup dahi Embun lembut dan mengusap rambutnya dengan sayang.
“Aku takut, Alfa. Aku takut gagal dan mengecewakan banyak orang. Aku takut setelah ini orang-orang kembali mencemooh diriku lagi,” kata Embun gemetar.
“Sstt … Jangan pikirin hal-hal jelek dulu, Mbun. Gue yakin lo pasti bisa.”
“Enggak, Fa. Aku tahu bagaimana lawanku. Aku takut kalah. Aku takut jika kekalahanku membuat orang lain meninggalkan aku lagi.”
“Jangan takut untuk semua itu, Embun. Ada gue yang bakalan jagain lo. Gue janji gue akan selalu ada untuk lo,” kata Alfa sambil menghapus air mata Embun. “Jika nanti lo terjatuh, bangkit lagi. Jangan dengarkan orang lain, karena gue akan selalu mendukung lo hingga akhir pertandingan.”
Embun kembali mengeratkan pelukannya ke tubuh Alfa. Ia bahkan terisak.
Lagi, Alfa mengecup kening Embun.
“Mungkin dulu lo ditinggalkan orang-orang yang sayang sama lo, tapi sekarang enggak lagi, Embun. Tuhan udah menghadirkan gue untuk lo. Jadi, gue akan terus ada di samping lo.”
Embun tak mengucap apapun selain menangis dan terisak.
“Jangan takut ya, gue akan support lo bagaimanapun keadaan lo. Gue akan selalu tersenyum dan bangga sama hasil yang lo dapatkan nanti.”
“Alfa,” lirih Embun.
“Jangan peduliin sekitar lo, Mbun. Fokus saja sama mimpi lo. Anggap saja semua rintangan lo akan di mulai. Walaupun kaki lo masih belum bisa di gerakkan, tapi gue yakin lo pasti bisa dan mampu.”
“Alfa, hiks.”
“Pesan gue cuma satu. Lo harus tetap bangkit di saat lo jatuh nanti.”
Embun mengangguk. “Makasih ya Alfa. Kamu udah mau semangatin aku di saat aku terpuruk.”
“Udah seharusnya gue begini ‘kan?” tanya Alfa dengan senyumannya. “Dulu di saat gue sedih dan terpuruk, lo juga ngelakuin hal yang sama dengan apa yang gue lakuin. Gue hanya mengikutinya saja.”
Embun tersenyum dalam sedihnya. Ia bangga memiliki Alfa, dan ia bahagia karena setelah kejadian itu, ia menemukan orang yang benar-benar peduli dengannya.
“Gue udah anggap lo orang spesial di dalam hidup gue, Mbun. Di saat orang-orang pergi meninggalkan gue karena satu kesalahan gue, lo yang enggak gue kenal datang untuk menghibur gue, dan gue merasa gue punya hutang sama lo.”
“Aku tidak meminta balasan atas itu, Alfa. Aku lakuin karena aku juga pernah merasakan apa yang kamu rasakan.”
“Gue tahu,” kata Alfa menjeda, “hanya saja lo berbeda. Lo bisa menyakinkan orang tua gue dan ngebela gue dihadapannya. Lo yang bikin mereka sadar atas perbuatan yang sudah dibuatnya.”
Embun hanya bisa tersenyum.
“Gue sayang sama lo, Embun. Dan gue berjanji akan melakukan hal seperti yang lo lakuin dulu buat gue.”
“Alfa,” lirih Embun.