"Di, kayaknya lo sering banget deh, pake gamis yang ini. Tiap minggu pasti lo pake."
Aku dan Dina sedang berdiri, di depan lift, menunggu pintu besi itu terbuka. Melirik sekilas pada jam tangan analog yang kupakai, sudah menunjukan jam delapan malam. Tadinya aku berniat untuk pulang setelah sholat maghrib, tapi karena Dina meminta ditemeni sampai suaminya menjemput, aku tidak bisa menolak. "Ya, nggak apa-apa, masih pantas dipakai kan buat ke kantor."
"Ya, iya sih, cuma lo nggak malu keliatan pakai baju itu-itu aja."
Aku jadi tertawa mendengar ucapan Dina. "Lah, kenapa malu?"
Pintu lift terbuka. Aku dan Dina segera masuk. Bersyukur lift ini kosong, jadi hanya berisi kami berdua. "Malu itu kalau pake bajunya bolong, atau ukurannya ketat, atau nggak bajunya nggak di cuci-cuci tuh." Aku menunduk melihat gamis yang kupakai. "Lagian gamis ini masih layak dipakai menurut gue."
"Iya sih, tapi kan ...."
"Asal lo tahu di lemari gue cuma ada sepuluh gamis kayaknya." Dina menatapku heran. "Itu juga menurut gue udah kebanyakan. Jadi kalau gue mau beli yang baru, gue harus pilih salah satunya untuk dihibahin ke orang lain."
"Di, serius?"
Aku mengangguk. "Kalau ngikutin gengsi, ngikutin pengin mah nggak ada habisnya, Din. Lagipula gue mau hisab baju ini ringan."
"Kok nyambung ke hisab?"
"Ya iyalah, semua yang kita miliki dan yang kita pakai kan, nanti akan dipertanggungjawabkan." Pintu lift terbuka, kami segera keluar dan menuju pintu akses.
"Gue tuh kalau mau beli baju baru. Mulai mikir, kalau ini tuh butuh atau nggak ya? atau jangan-jangan cuma untuk gengsi aja bukan karena kebutuhan. Terus jadi mikir nanti hisabnya gimana ya ... Bayangin satu baju aja nanti bakal ditanya dipakai kemana aja, untuk apa aja, terus ...," aku menggeleng. "Ngeri dan pasti lama, apalagi kalau bajunya sampai berlemari-lemari."
"Ngomong sama lo kadang-kadang bikin ngeri, ih."
"Lah, kan kita lagi bahas gamis." Kami berhenti sebentar menunggu pintu kaca lobby yang otomatis terbuka.
"Iya, tapi lo sangkut-pautin sama hal-hal begitu."
"Ya, biar lo sadar."
"Lah, emang gue kenapa?" Tiba-tiba Dina merogoh sakunya. "Eh, bentar. Suami gue udah telepon nih, gue duluan ya."
"Hmm, hati-hati ya."
Melihat Dina sebentar yang berjalan ke arah jalan. Aku memutuskan untuk berjalan ke arah sebaliknya menuju halte bus.
"Mba." Baru jalan dua langkah tba-tiba ada yang menyentuh pundak, membuatku langsung menoleh. Ada tiga gadis yang usianya mungkin lebih muda dariku berdiri berjejeran di depanku.
Mereka siapa?
"Mba, pacar Mas Widi kan?" Salah satu dari mereka bertanya padaku.
Aku tidak menjawab, malah menatap ketiganya secara bergantian. Sebentar-sebentar, mereka ini siapa? Ayolah Di, coba ingat-ingat, rasanya salah satu dari mereka tidak asing.
"Ah, maaf kalau Mba bingung. Kita teman kantornya Mas Widi. Aku pernah lihat Mba di rumah makan padang belakang." Akhirnya salah satu dari mereka menjawab kebingunganku. Aku mengangguk pelan menanggapi ucapannya.
"Oh, iya. Mas Widi kondisinya sekarang gimana, Mba?" Gadis lain berambut pirang di sebelah gadis tadi ikut bertanya.
Kok nanya si songong itu ke aku. Setelah malam saat dia memintaku untuk bertemu dengan ibunya, aku tidak pernah ketemu laginya dengannya, mungkin dua minggu lebih.
"Widya?" Aku bertanya bingung.
"Iya, Mas Widi kan sakit."
"Hah? sakit?" Bisa sakit juga cowok songong itu?
"Iya, sakit. Loh, Mba malah nggak tahu kalau mas Widi sakit?" Gadis yang pertama menyapa tadi bertanya heran.
"Ah, eum. " Aku mencoba tersenyum ramah pada mereka. "Iya, Widya, sakit. Alhamdulillah, keadaannya mungkin udah baikan," ucapku diselingi dengan senyum. Tahu keadaannya saya tidak.
"Oh, syukur deh. Soalnya kemarin ada orang kantor yang datang jenguk bilang masih lemas, pucat gitu."