.
.
.
.
.
Saat aku memasuki wilayah cafe, aku menengok ke kanan dan kiri mencari sosok Sania. Tak lama ada panggilan telfon via Line.
Sania.
"Halo, assalamualaikum," jawabku langsung.
"Wa'alaikumsalam, udah di mana Di?"
"Udah nyampe nih, kamu duduk di mana?" Aku berhenti, dan berdiri di dekat meja yang menghadap kasir.
"Kamu pake baju apa?" Sania malah bertanya balik.
"Ah, bentar," ada jeda sebentar sebelum Sania berbicara lagi padaku. "Kamu yang pakai jilbab abu-abu ya?"
"Iya, pake kerudung abu-abu," koreksiku.
Menurutku khimar atau kerudung lebih tepat dibanding jilbab, karena keduanya berbeda arti.
Tunggu ... Kok Sania tahu?
Apa dia sudah melihat keberadaanku?
Aku menengok ke kanan dan ke kiri lagi, mencari sosok Sania tapi belum juga kutemukan.
"Iya, kamu di mana?" Dari jauh pandanganku menangkap cewek berambut pendek sebahu yang sedang berdiri dan melambai tangan ke arahku, aku langsung memutuskan sambungan telpon dan berjalan ke arahnya.
"Sorry ya, lama."
Sania langsung menyambutku dengan senyum dan memeluk sekilas.
"Belum lama kok, kita. Mas Widi juga baru datang."
Aku tersenyum, senang kalau ternyata Sania orang yang ramah sesuai perkiraanku.
"Oh, iya, Di. Ini Ega sama mas Widi." Pandanganku bergeser ke samping Sania, ada dua cowok yang duduk bersebelahan sedang menatapku.
"Ini, Ega yang ganteng, Di." Ada cowok berambut ikal yang sedang tersenyum ke arahku. Aku tidak bisa menahan senyum melihat tingkah Ega yang tak berubah seperti di grup, ramah.
"Hai, Ga." Aku memilih melambaikan tangan padanya sebelum Ega berinisiatif untuk mengajak bersalaman.
Pandanganku beralih ke sebelahnya. Ada cowok berkacamata dengan raut wajah datar sedang menatapku.
Tidak, bukan datar tapi angkuh menurutku. "Widya," ucapnya singkat dengan nada malas, setelah itu ia sibuk dengan smartphone-nya.
Apa aku pernah bertemu? Rasanya wajahnya tak asing bagiku. Entahlah.
Tidak ada pilihan tempat selain aku duduk di seberang Widya dan Sania yang duduk di sebelahku. "Yang lain nggak pada bisa datang?"
"Iya, Di. Yang jadi datang kita doang akhirnya."
"Hoo," aku mengangguk pelan.
"Kamu mau pesan apa, Di? Mumpung aku sekalian mau pesan juga."
"Caramel machiato kalau ada." Aku sempat melirik menu yang tertera di belakang dinding kasir tadi, kalau ada varian kopi dan teh.
"Ada kok."
Satu jam kami bersama dihabiskan dengan membahas film, drama dan artis idola kami. Sesekali Ega akan menimpali dengan candaan.
"Aku mau ke toilet," Sania yang tiba-tiba pamit untuk pergi.
"Gue juga." disusul Ega yang ikut berpamitan juga, menyisakan aku dan Widya berdua. Aku menghela nafas pelan, kenapa kami di tinggal berdua.
Aku menengok ke arah kanan, kebetulan posisi meja kami yang berada dekat dinding kaca yang membuatku dengan mudah melihat cuaca mendung sore ini. Sepertinya akan turun hujan.
Pandanganku beralih pada makanan yang berada di atas meja, hanya ada kentang goreng, matcha ice blend yang Sania pesan, cappucino
milik Ega dan Caramel machiato pesananku, berarti hanya Widya yang tidak memesan apapun.
Aku berdeham memulai pembicaraan. "Nggak pesan sesuatu?" aku memulai pertanyaan untuk Widya.
Sebenarnya tak nyaman ditinggal berdua dengan Widya, apalagi kami tidak begitu dekat. Tapi lima menit di habiskan dalam diam juga terasa aneh tanpa ada pembicaraan apapun.
"No, thanks," ucapnya singkat, masih sibuk memainkan smartphone-nya.
Inisiatif tanya balik kenapa sih? Biar ga awkward gini?
Aku mulai gemas sendiri dengan situasi seperti ini. Lagipula kenapa Sania dan Ega lama sekali perginya.
"Berapa lama di Indo?"
"Seminggu." Yang kudenger dari Sania, Widya memang sudah bekerja di Ausie selama beberapa bulan.
"Hooo," aku mengangguk sambil berpikir pertanyaan apa yang akan aku ajukan dengan tangan yang menyomot kentang goreng di meja.