It's Okay, I'm Thirty 30

Ndiejpank
Chapter #5

4~] Apa ini awal?

I hate monday.

Sepertinya aku harus setuju dengan pernyataan itu. Senin pagi di awal bulan bukan perpaduan yang bagus untuk pekerjaanku. Apalagi jika harus terjebak dalam meeting panjang bersama dengan divisiku.

Mba Mona mengadakan meeting dadakan dan meminta semua divisi ekspor untuk berkumpul. Beruntung jam setengah sembilan aku sudah sampai di kantor. Dan sekarang aku sedang menggeliat, berusaha mengurangi sedikit rasa pegal di punggung.

Sejak jam 09.00 tadi mendengar Mbak Mona cuap-cuap membahas hal yang sama----tentang komplain dari salah satu buyer yang melapor kalau produk yang di kirim tidak sesuai dengan dokumen yang ada---sangat melelahkan.

Iya, kami kecolongan! Kalau sudah begini tidak bisa menyalahkan kami, karena dokumen yang kami olah sesuai dengan apa yang di kirimkan dari factory.

Mungkin di factory sedang ramai membahas hal ini juga. Dan akan di adakan inspeksi, juga pemeriksaan pada beberapa bagian.

Beruntung rapat sudah selesai berjam-jam lalu. Mbak Mona pun sudah pulang 15 menit lalu. Jadi aku bisa sedikit bersantai duduk di meja kerjaku.

Sekarang sudah menunjukan pukul 20.00 Wib. Aku menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Pegal di punggung sudah berkurang.

Mataku melirik pada cangkir berisi kopi di depan meja. Isinya baru berkurang sedikit. Hampir saja terlupakan.

Kuraih cangkir itu. Perlahan kusesap kopi yang sudah tak lagi hangat.

Hufh! Kuhembuskan napas, berusaha membuang lelah. Kemudian kembali melirik jam di atas meja.

Aku bukan termasuk pegawai yang rajin dan doyan lembur. Pulang on time lebih baik jika memang pekerjaan bisa di kerjakan esok hari.

Tapi karena dokumen yang menumpuk di mejaku ini adalah shipment yang harus di submit ke forwader dengan deathline dua hari ke depan, aku harus menyelesaikannya segera.

Aku menengok ke arah kiri dan kanan. Kantor sudah sepi hanya menyisakan beberapa orang saja di sini, termasuk aku. Dina dan mas Irvan juga sudah pulang sejak pukul tujuh tadi. Lebih baik aku bergegas pulang sekarang.

Mungkin sekitar jam 20.15 wib saat aku menekan angka satu. Huruf K muncul dilayar kecil di atas tombol angka. Aku membungkukkan badan, letih. Menatap lantai keramik, menunggu pintu lift terbuka.

Tak lama terdengar pintu lift terbuka. Masih dengan posisi yang sama aku melirik ke depan. Berniat berdiri tegak setelah memastikan terlebih dahulu.

Namun, pandanganku langsung terpaku pada satu-satunya orang yang berdiri di dalam sana. Terutama pada tatapan menghina yang tampak di wajahnya.

Kedua mataku terbuka lebar sebelum mengerjap beberapa kali dan menyakinkan diri apa yang kulihat adalah nyata.

Lalu kepalaku reflek menunduk sedikit kemudian menggeleng pelan. Enggak. Aku pasti salah lihat. Hari ini sudah sangat buruk. Aku tidak butuh kesialan pelengkap.

Kepalaku kembali menegak, dan sosok orang itu masih berada di sana.

Ya Allah, apa Jakarta sesempit ini? Mengapa bisa bertemu di tempat seperti ini?

Dia tidak seharusnya berada di sini.

Dia ... si pria songong nan menyebalkan.

Siapa lagi? Cuma dia. Dia seorang sepertinya.

Aku jadi ingat kejadian dua minggu lalu, setelah kami bertemu di cafe itu. Aplikasi Line di handphone-ku langsung ku-delete karena terlalu kesal dengan orang ini.

Menghindar sementara lebih baik daripada nantinya malah mengeluarkan kata-kata yang menyakiti orang lain dan berujung dengan penyesalan diri. Aku tidak mau begitu.

Saat itu setelah Sania datang, tak lama Widya pamit, katanya ada janji dengan temannya di tempat lain. Entahlah, tapi kupikir itu hanya alasannya saja agar tak memperpanjang perdebatan kami.

Benar atau tidaknya aku tidak tahu. Karena pikiran negatif biasanya mulai meracuni pikiran jika sedang emosi.

"Ikut atau nggak?" Suara datarnya menyadarkanku.

Widya berdiri di dekat pintu dengan sebelah tangan yang menekan tombol agar pintu tetap terbuka.

Aku jadi ragu. Masuk tidak ya?

Tidak.

Masuk?

Tidak! Membayangkan satu lift sama dia sampai bawah membuatku semakin letih. Tapi kalau tidak masuk sekarang akan lama lagi menunggu lift.

Masuk?

Tidak. Tidak.

"Masuk?" Dia bertanya lagi.

Lihat selengkapnya