"Gue pikir, Laud itu cowok ternyinyir yang gue kenal." Aku meletakan gelas berisi ocha hangat yang baru kuminum seteguk ke atas meja.
Laud terlihat ingin protes, tapi kutahan dengan mengangkat sebelah telapak tangan. Ceritaku belum selesai.
"Ternyata ada yang lebih parah. Dan ngeselinnya ke ubun-ubun." Lanjutku berapi-api, menutup kekesalan yang kutumpahkan sejak masuk ke Cafe dan duduk di depan Laud dan Ncu. Kurang lebih 15 menit lalu.
"Gimana ceritanya lo kenal itu orang?" tanya Ncu semangat. Dia penasaran. Raut kekesalan yang awalnya terlihat di wajah itu sudah lenyap tak berbekas.
"Ingat grup chat yang gue ceritain beberapa minggu lalu?" tanyaku membuka chapter baru cerita tentang Widya.
Ncu mengangguk. "Yang grup tentang Jepang itu, 'kan?"
Aku balas mengangguk. "Widya salah satu member-nya."
Cerita berlanjut pada kesan pertama chatting dengan Widya. Lalu, tentang tingkat PD lelaki itu yang kelewat batas. Kemudian, sampai pada kopi darat berujung akting dadakan.
Ncu manggut-manggut sambil sesekali meminum minumannya. Laud sendiri menyuap ramennya yang masih terisi setengah. Mendengarkan ceritaku dalam diam.
"Dia naksir lo kali, Di." Ncu membuat kesimpulan.
"Ihh! Mana ada orang naksir kaya gitu," bantahku. Sulit membayangkan hal seperti itu menjadi alasan dibalik tingkah laku Widya.
"Ya ... mungkin caranya pengen beda." Ncu berusaha memperkuat kesimpulannya.
"Nggak mungkin lah, Ncu." Aku tetap membantah.
"Laud, menurut lo gimana?" Laud hanya mengangkat bahu malas, mulutnya sibuk mengunyah mie.
"Laud kalau lagi makan ditanya tuh, nggak asik banget sih," Ncu menggerutu. "Malesin banget."
Ncu beralih menatapku lagi. "Lagian tampangnya kaya apa sih? Sampe lo keliatan bete dan kesal gitu?"
"Bukan tampang, Ncu. Attitude-nya tuh yang minus," ucapku kesal.
"Oh, berarti lo ngakuin dong kalau dia tampangnya oke." Ncu senyum-senyum jail sambil memainkan alisnya naik turun.
Sumpah, ini kok cerita sama temen sendiri malah tambah bikin kesal ya!
"Permisi," percakapan kami di jeda dengan pelayan wanita muda yang mengantarkan ramen pesananku. "Masih ada yang kurang pesanannya?" Tanyanya memastikan.
"Oh, nggak ada. Makasih, Mba." Pelayan itu tersenyum sebelum pamit pergi.
Berhubung aku lapar. Aku langsung menyambar mangkuk ramen, dan menggesernya di depanku.
Sumpit sudah di tangan, bersiap untuk makan dan menjepitkan mie di antara sela sumpit kalau saja tangan Ncu yang tiba-tiba menutup permukaan mangkuk dengan tangannya.
"Ck, apalagi sih, Ncu."
"Lo belum kelar ceritanya, lanjut ceritanya dulu baru makan."
"Keburu pingsan kali gue, Ncu."
"Jangan lebay, lo dari dulu kaga pernah pingsan, apalagi kalau cuma telat makan." Fakta yang menyebalkan memang, kalau aku sudah berteman sejak SMA dengan dua sejoli ini. Jadi riwayat kehidupanku hampir mereka ketahui.
"Laud, bini lo nih ngeselin." Ketimbang merespon ucapanku, Laud malah fokus melihat layar handphone-nya sambil menikmati sisa ramennya.
"Heh, kapan gue nikah sama dia?" Ucap Ncu tak terima.
"Ya nanti, makanya minta si Laud lamar lo lah."
"Eh, kok jadi bahas gue sama cecungguk ini sih." Malah Ncu yang sekarang sewot. "Lo tuh kebiasaan, gaya lama lo buat ngalihin pembicaraan, kalau kaya gini gue makin penasaran sama cerita lo."
"Hei Nyisanak, cecunguk ini yang selalu lo repotin, nggak ingat." Laud tiba-tiba protes. Kulihat isi mangkuk ramennya telah habis, pantas sekarang dia ikut bicara. Laud itu memang agak sensi kalau diberi sebutan aneh-aneh atau yang parah namanya diganti-ganti. Pasti langsung protes.