.
.
.
"Ini nggak fair deh?" Dengan kesal Ncu mengaduk-aduk mie goreng yang baru saja dimakan sesuap.
"Kenapa lo?" Aku jadi tertarik bertanya kemudian menyeruput kopi mocca kemasan yang baru saja aku seduh.
Pagi sekali aku datang ke kostannya Ncu, yang katanya ingin curhat. Kebetulan aku juga sedang bosan di rumah, dan tidak ada jadwal acara di weekend ini, jadi kuputuskan untuk datang ke sini.
"Kerjaan gue itu makin banyak tapi masa naiknya segitu-gitu aja coba." Ncu masih menggerutu sambil mengganti saluran televisi.
"Ncu, nggak semua kantor itu naikin gaji karyawannya tiap tahun kali. Jadi ya disyukurin aja." Aku meminum sedikit demi sedikit karena airnya masih terlalu panas.
"Di, gue nggak akan uring-uringan kalau si Bos tuh adil. Tapi ini?" tanyanya masih kesal.
"Nggak adil gimana maksudnya?"
"Jadi tuh, di kantor lagi heboh, atasan-atasan kita setaraf manager gitu pada naik 30%, nah kalau kacung kaya kita gitu cuma 10% aja."
"Oh." Aku mengangguk pelan, mencoba memahami.
"Oh? Oh doang lagi tanggapan lo?"
"Lah, terus mau apa? Emangnya gue bisa bantu apa? Kalau gue ikut protes emang gaji lo bakal dinaikin?"
"Ck, Ih." Ncu menghela nafas. "Andai aja gue punya rejeki banyak, banyak uang, bisa beli apa-apa, ya kan?" Ncu berbicara dengan pandangan ke arah jendela, seolah membayangkan sesuatu.
"Memang kalau rejeki banyak itu, banyak uangnya ya, Ncu?"
"Iyalah,"serunya yakin. "Apalagi?"
"Sejak kapan tarakaran rejeki itu jadi uang?"
"Eum ... ya bukannya dari dulu." Meski bingung, Ncu tetap menjawab.
"Ncu, gue jadi teman lo itu termasuk rejeki loh, gue kan orang baik." Ucapanku berbuah lemparan tissue bekas, yang baru saja digunakan untuk mengelap mulutnya. Memang jorok perawan satu ini.
"Jorok, ih." Aku melempar balik tissue bekas ke arahnya.
"Lagian lo pede banget. Bangga gitu lo jadi temen gue."
"Nah, hal sepele ini yang kadang nggak kita pikirin untuk disyukuri. Di abai aja." Ncu diam, memilih untuk meneguk air putih dari tumbler yang diletakan di sebelah mangkuk mienya.
"Yang gue pahami ya Ncu, dari beberapa ulama yang gue pernah dengar ya ... definisi rejeki itu ya, dari sesuatu yang sudah kita nikmatin."
"Maksudnya?" tanyanya bingung tapi seolah menuntut jawaban karena Ncu langsung menengok ke arahku.
"Begini, kalau misalnya uang. Uang itu baru bisa dibilang itu rejeki ya kalau kita sudah menukarkannya dengan sesuatu, lalu sesuatu itu sudah kita nikmatin."
Aku berhenti sebentar, menunduk melihat isi cangkir yang kopi yang sudah berisi setengah. "Misalnya, makanan, baju, atau benda-benda yang kita pakai." Ncu mengangguk pelan seperti berpikir sesuatu.
"Sedangkan banyak di luar sana yang uangnya banyak tapi nggak bisa nikmati. Karena sakit contohnya, atau nggak punya waktu karena sibuk."