Kelabu mencemari putihnya awan penghias langit. Mendung menutupi cerahnya matahari siang ini. Suara rintikan hujan mampu menghilangkan debu, tapi tidak dengan menenangkan hati dan pikirku. Abu-abu mendung menutupi cerahnya senyum milikku. Setetes air mata mengalir di pipiku.
Kuangkat selembar kertas di genggamanku. Kertas bertuliskan nama-nama mata pelajaran dan nilainya yang sudah di jumlah. Nilai yang menunjukkan hasil jerih payahku, aku tersenyum kecil, jerih payah yang hanya di angan-angan.
Otakku menduga-duga, apa yang akan terjadi saat pintu di depanku ini terbuka. Ucapan setajam pedang akan menghunus relung hatiku, tatapan tajam seseorang akan membuat ketakutan bangkit, kekecewaan akan membuatku sakit, lagi.
Aku menghela napas, kudorong pintu yang sudah bercelah. Seorang pria berwajah mirip denganku sedang berdiri. Menampilkan ekspresi manis dan menunjukkan senyuman.
“Bagaimana? Pasti bagus.” Ayahku. Menaik turunkan alisnya, menggoda. Biasanya aku akan tertawa kecil melihat hal itu, namun kini tersenyum saja sangat berat.
“Sunny, berikan pada ayah kertas itu!” Ayah menodongkan tangan, mengisyaratkan bahwa aku harus memindahkan kertas ini di tangannya.
Dengan menunduk, aku berikan kertas itu. Tanganku yang bergetar terangkat. Aku mendongak, ekspresi ayah berubah. Senyuman itu lenyap, yang bersisa ialah tatapan tajam dan raut menahan amarah. Tangan kiri ayah mengepal di sisi tubuhnya.