It's okay, Sunny

Sunza
Chapter #4

Bab 3

Kedua kakiku kupaksa bekerja keras sejak sepuluh menit yang lalu. Jika tidak dalam keadaan darurat, aku tidak akan mau berlari sekencang ini. Hari masih terlalu pagi untuk dikejar polisi. Entah mengapa kedua polisi itu mengejarku. Saat sedang enaknya berjalan, salah satu dari mereka berkata, “Dia Sunny, cepat tangkap!” Aku langsung berlari mendengar hal itu.

Aku berlari sampai memasuki kawasan pasar. Keadaan pasar tengah ramai-ramainya. Banyak penjual dan pembeli berinteraksi demi memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Tentu saja mereka semua terganggu akan adanya diriku.

Banyak yang mengumpat dan meneriakiku. Aku tidak peduli, yang penting para polisi itu segera lelah dan menyerah. Aku mengambil terong sambil terus berlari.

“HEI!” teriak si pemilik terong.

Aku menghadap ke belakang sebentar, hanya untuk melempar terong ke arah polisi itu. Tawaku terdengar puas, setelah melihat kening polisi hamil itu berubah merah, polisi itu menggosok keningnya yang pasti terasa sakit.

“Jangan kabur kamu!”

Larangan adalah perintah di keadaan seperti ini. Aku semakin berlari kencang. Lagi-lagi, tanganku mengambil apa yang bukan hakku, sekantong plastik tomat. Tanpa basa-basi, aku melempar tomat ke arah polisi itu. Bidikanku tidak ada yang melesat, aku tersenyum lebar melihat mereka berhenti guna menghilangkan perih di mata mereka.

Sret! Bruk!

Pantatku mencium tanah berlumpur, hujan kemarin membuat tanah basah. Tepat di bawah pohon manga berukuran besar, di sana aku tergelincir.

“Butuh bantuan?” sebuah telapak tangan berada di depanku.

“Tidak, terima kasih.” Aku berdiri, menepuk baju bagian belakang, menghilangkan kotor.

Aku menatap laki-laki di depanku, laki-laki berparas tampan. Senyumnya tipis, namun manis. Aku menatapnya saat ia sedang menatap hampa tangannya yang tidak berubah posisi.

“Cantik.”

Kata itu samar-samar kudengar dari kejauhan. Aku pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Lagi pula kami sama sekali tidak saling mengenal.

Aku berhenti dan duduk di kursi pinggir jalan bersama remaja perempuan yang sedang membaca buku. Aku menghela napas berat.

“Kok kakak hela napasnya berat banget? Lagi capek ya?” Gadis itu menatapku sembari tersenyum. Aku menanggapinya dengan anggukan.

“Enggak papa kak kalau capek, istirahat. Jangan nyerah!”

Aku tersenyum tipis, “Lagi nyemangatin diri sendiri ya?” Gadis itu mengangguk.

“Kerja keras memang perlu, tapi menyayangi diri sendiri juga sangat penting. Istirahat dulu, lihat! Dunia luar sangat indah.”

“Tapi kalau aku nggak kerja keras tiap waktu orang-orang akan menertawakanku. Duniaku dan orang tuaku akan hancur.”

“Kata siapa kalau kamu gagal dunia akan hancur? Gagal itu tidak ada artinya jika kita tidak pernah menyerah. Gagal adalah proses.”

“Cita-citamu apa?” tanyaku padanya.

Lihat selengkapnya