PLAK
Tamparan keras tanpa aba-aba, mendarat kasar di permukaan wajah Aresha.
Pipi kiri Aresha memerah detik berikutnya, rasa nyeri bagai tersengat listrik menyerang sebagian wajahnya, sudut bibir kirinya robek seketika mengeluarkan darah segar.
"Memprovokasi, menembak, bahkan kamu merancang bom, tanpa sepengetahuan tim kamu? Sadarkah kamu akan 3 kesalahan besarmu itu?!" Pradana, sang ayah Aresha, ia menaikan suaranya hingga terlihat begitu menakutkan untuk di dengar.
Aresha tidak menjawab, ia mengarahkan pandangannya ke lantai, kedua tangannya melipat ke belakang, jari-jemarinya saling meremas menahan gejolak emosi yang naik turun.
"Aresha! Jawab Ayah!" bentak Pradana.
Aresha mengangkat pandangannya, menatap mata ayahnya dengan tajam.
"Apakah Ayah bisa bertanya dulu bagaimana keadaanku?! Apakah aku baik-baik saja? Apakah keselamatan putri keduamu lebih berharga daripada keperawanan anak pertamamu?!"
PLAK
Pradana kembali melayangkan lima jarinya di tempat yang sama, wajah Aresha berputar hingga 45° ke samping, warna pipinya semakin memerah.
"Kenapa kamu berkata demikian? Apa kamu meragukan rasa sayang ayahmu ini padamu? Ingat! Kamu anak tertua, sudah seharusnya kamu menjaga adikmu itu,"
"Dari tadi aku memandumu, untuk tetap sabar, tapi kamu tidak mendengar, malah menembak si penjahat, bagaimana jika kamu salah sasaran, dan dia mati? Keberadaan Joy tidak akan kita tahu,"
"Malah yang membuat ayah sangat marah, sejak kapan kamu memasang bom di tempat itu? Kamu tahu, karena kelakuan bodohmu itu, media sampai meliput kejadian tadi, untung ayah sudah menyuap beberapa wartawan untuk tutup mulut."
85 kata yang terucap oleh Pradana, hanya 6 kata yang dapat tersimpulkan jelas. Aresha selalu salah di mata ayahnya.
Aresha membisu diam di tempatnya, dia malas berkomentar jika hanya sebuah tamparan lagi yang dia dapat. Kali ini pandangannya terarah ke tembok tak ingin memandang wajah ayahnya lagi.
"Ayah!" Sebuah suara terdengar memenuhi ruangan, Joy masuk ke dalam ruangan itu, ia berlarian ke arah Pradana sambil merentangkan kedua tangannya.
"Anakku!" seru Pradana dengan gurat senyum lebar, ia juga langsung memeluk Joy dengan erat, lain ketika ia menyambut kedatangan Aresha.
"Ayah, tadi sangat menakutkan! Joy sangat takut! Ruangan yang aku tempati tadi begitu gelap, tanganku sampai sakit diikat begitu kuat," curhat Joy.
Pradana melepaskan pelukannya, kemudian menatap Joy penuh kasih sayang, tangan sang ayah langsung mengusap lembut rambut anak keduanya, dan beralih melihat pergelangan tangan Joy, Pradana langsung mencium tangan anaknya itu.
Aresha yang berada di samping, menyaksikan pemandangan penuh kasih sayang itu, darahnya langsung menggelegak, gerahamnya bergemelutuk, ia menekankan kuku tajamnya ke kulit tangannya untuk menahan emosi.
"It's okay sayang, semuanya sudah selesai, kamu sudah di rumah, jangan mengingat kejadian menyeramkan tadi lagi yah, ayah tidak akan membiarkan siapapun menyentuhmu lagi, kamu mengerti?" jelas Pradana dengan lembut, Joy pun mengiyakan.
"Apa mama sudah tahu tentang kejadian ini?" tanya Joy khawatir.
"Hmm...belum, sebaiknya jangan kita kasih tahu dulu, mamamu kan sedang berlibur di Thailand, jangan menganggu kesenangannya, bisa-bisa dia shock, haha."