Selepas kepergian Rahma dan Tirta, gadis itu benar-benar sendirian. Kursi paling pojok adalah tempat ternyaman baginya, apalagi duduk sendiri dengan tangan memangku dagu. Jarum jam sudah menunjuk angka dua, pertanda acara akan usai segera. Namun, sampai detik ini, baik Kafi maupun Misha entah ke mana perginya. Koridor memang mulai lengang, tetapi tidak seharusnya mereka menghilang.
Sepasang netranya menyapu sekeliling, lalu menahan arah pandang pada stan yang terletak di seberang. Cukup lama dia memindai, lantas mengalihkan pandangan kepada segelintir orang yang masih melihat-lihat stan lainnya.
Kepiawaiannya dalam memindah dan menyusun kembali beberapa stoples di meja, perlu diacungi jempol. Dalam sekejap, meja dan stan terlihat bersih dan rapi, meski tidak tampak orang yang akan bertandang lagi. Namun, gerakannya mendadak berhenti, lalu mengawasi gerak-gerik seseorang di seberang sana.
Dari kejauhan tampak seseorang memeriksa perapian yang sedari tadi sepertinya telah padam. Pantas saja aroma dimsum tidak menguar seperti tadi pagi, rupanya api benar-benar tidak menyala lagi.
Sekujur tubuh gadis itu bergetar hebat. Ketakutan seolah-olah telah melumat habis mentalnya dengan rakus. Meski kakinya mundur hingga tumit terantuk meja, selayang pandang masa lalu justru kian membayang.
Danin memejam, lantas menggumam berulang kali. Dia pikir, gumamannya mampu meredam bunyi dari pemantik gas. Namun, bunyi itu makin terdengar dengan jelas, saling bersahutan dan mencipta dengungan.
Stoples biskuit terlepas dari tangannya kemudian mengundang atensi semua orang dalam stan. Kepanikan tergambar jelas di raut wajahnya. Masih menggumam, tatapannya kosong ke arah orang-orang yang mulai mengerumuninya.
"Diam kalian!" sentak Danin dengan lantang. Sepasang matanya melotot, lantas melirik ke kanan dan kiri penuh ketakutan. "Tolong hentikan bunyi itu! Aku takut banget," lirihnya berulang-ulang.
Tubuhnya meluruh di pojokan. Dalam keadaan gemetar, kedua tangannya terus menutupi telinga.
Kafi menyibak kerumunan sesampainya di depan stan. Sesal tiba-tiba menghinggapinya, setelah tahu penyebab kerumunan. Seandainya dia menemani di sini, mungkin Danin tidak sekacau ini. Seandainya dia tahu takdir yang akan terjadi, mungkin hal mengerikan seperti sekarang bisa saja dihindari. Dengan hati-hati, langkahnya memelan dan mendekat ke arah Danin.
Lelaki itu melipat lutut, menyejajarkan posisi dengan gadis di hadapannya. "Saya Kafi, Nin," bisiknya lembut. Dia perlahan melepas, lalu menggenggam kedua tangan Danin dengan cemas. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Kaf, tolong ...," lirihnya panik. Air matanya jatuh berderai membasahi pipi. Kini dia menggigit bibir bawah, kentara sekali ketakutan yang sedang dirasakannya. "Aku takut banget."