Langit sore di Yogyakarta menyambut kedatangan keluarga kecil Ayla Anastasia Putri. Setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta, mereka akhirnya tiba di rumah baru yang berada di sebuah kompleks perumahan di pinggiran kota. Rumah itu sederhana, dengan dinding bercat putih dan halaman kecil di depan, namun terasa nyaman. Ayah Ayla, Pak Dimas, seorang pria tinggi dengan kulit sawo matang, hidung mancung, dan rahang kokoh, tampak membantu sopir menurunkan barang-barang.
Ayla turun dari mobil sambil memegangi tangan adik bungsunya, Zian, yang baru dua tahun. Tubuh mungil Zian tampak sibuk menggenggam botol susu, sementara Zara, adiknya yang berusia tiga tahun dengan rambut hitam lurus, berlari kecil menuju teras rumah sambil memeluk boneka kesayangannya.
Bu Ratna, ibunya, adalah wanita anggun dengan kulit kuning langsat seperti Ayla. Rambut hitamnya diikat rapi, dan hidungnya yang mancung menambah kelembutan wajahnya. Ia sibuk mengawasi anak-anak sembari memastikan barang-barang dari truk pindahan diturunkan dengan baik.
“Capek ya, kak?” tanya Bu Ratna saat Ayla membantu menurunkan kotak berisi buku-bukunya dari mobil.
“Lumayan, bu,” jawab Ayla sambil tersenyum tipis. “Tapi rumahnya lumayan bagus juga, ya.”
Bu Ratna mengangguk. “Iya, semoga kita cepat betah di sini.”
Zara dan Zian, meski terlihat lelah, tetap bersemangat berlarian di sekitar ruang tamu. Ayla memegang pundak Zara, mencoba mengarahkan adiknya untuk duduk. “Zara, jangan lari-lari terus, nanti jatuh.”
“Enggak, Kak! Zara mau lihat taman di belakang,” jawabnya sambil tersenyum polos.
Ayla hanya menghela napas sambil tersenyum kecil. Ia tahu, sebagai anak sulung, tanggung jawab menjaga adik-adiknya adalah hal yang selalu melekat padanya, terutama sejak kepindahan ini.
Malam pertama di rumah baru dihabiskan dengan menata barang-barang. Ayla dan ibunya bekerja sama mengatur kamar tidur, dapur, dan ruang tamu. Ayla memilih kamar yang menghadap taman kecil di belakang rumah. Kamar itu sederhana, hanya berisi sebuah ranjang, lemari, dan meja belajar. Ayla meletakkan beberapa foto kenangan bersama teman-temannya di Jakarta di meja belajarnya, sebagai pengingat akan kehidupan lamanya.
Sementara itu, Pak Dimas sibuk membantu memasang rak di dapur. Tangannya yang kokoh tampak cekatan memegang obeng, sementara Bu Ratna mengarahkan tempat-tempat yang harus dibereskan.
Zara dan Zian sering rewel di tengah-tengah proses penataan. Mereka tampak kebingungan dengan lingkungan baru yang masih terasa asing. Ayla, dengan sabar, membantu ibunya menenangkan mereka.
“Kamu hebat, kak,” ujar Pak Dimas saat melihat Ayla menghibur Zian yang menangis karena kehilangan botol susu yang terjatuh di antara kardus-kardus. “Ayah bangga punya anak sulung seperti kamu.”
Ayla hanya tersenyum kecil. Meski rindu dengan kehidupan lamanya di Jakarta, ia tahu bahwa sebagai anak pertama, ia harus menjadi contoh yang baik untuk adik-adiknya.
Setelah semuanya beres, keluarga itu menikmati makan malam sederhana di meja makan baru mereka. Bu Ratna memasak nasi goreng yang sederhana namun lezat, sementara Zara dan Zian makan sambil sesekali tertawa kecil. Meskipun lelah, suasana malam itu terasa hangat, seperti awal dari sebuah babak baru dalam hidup mereka.
Keesokan harinya, Ayla bersiap untuk mendaftar di sekolah barunya, SMA Pelita Bangsa. Setelah sarapan pagi bersama, Ayla mengenakan pakaian kasual sederhana dan siap pergi ke sekolah bersama ayahnya setelah sarapan.