Pagi itu, Ayla terbangun dengan suara burung yang berkicau di luar jendela kamarnya. Udara Yogyakarta yang sejuk menyambutnya, memberikan rasa segar yang berbeda dari hiruk pikuk Jakarta. Ia melirik jam dinding, jarum menunjukkan pukul 05.30. Ini adalah hari pertama Ayla masuk sekolah di SMA Pelita Bangsa, dan ia tidak ingin terlambat.
Perlahan, Ayla bangkit dari tempat tidur. Ia melipat selimut dengan rapi, sebuah kebiasaan yang selalu ia jaga sejak kecil. Di meja belajar, seragam sekolah putih abu-abunya sudah tergantung rapi, habis disetrika semalam. Ayla sendiri yang menyiapkannya, memastikan tidak ada satu pun lipatan yang mengganggu. Aromanya masih wangi dari pelembut pakaian yang digunakan ibunya.
Setelah menggeliat sebentar, Ayla mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi untuk mandi. Ia membersihkan diri dengan air hangat, membangunkan seluruh indranya untuk menghadapi hari yang baru. Selesai mandi, ia kembali ke kamar dengan rambut kering yang ia ikat sementara menggunakan handuk kecil.
Di depan cermin, Ayla mulai bersiap. Ia mengenakan seragam putih abu-abu dengan hati-hati, memastikan kemeja dimasukkan ke dalam rok abu-abu panjangnya dengan sempurna. Kerah kemeja ia rapikan, sementara dasi abu-abu dengan logo SMA PELITA BANGSA ia pasang dengan cermat di bawah kerah. Seragam itu melekat pas di tubuhnya, menonjolkan penampilannya yang rapi dan bersih.
Setelah memastikan semua tampak sempurna, Ayla duduk di depan cermin untuk menata rambutnya. Rambut hitam panjangnya yang lurus ia sisir hingga halus, lalu ia membaginya menjadi dua bagian dan memberinya sedikit poni. Dengan luwes, Ayla mengepang kedua sisi rambutnya, membentuk dua kepangan yang rapi. Ia mengikat ujungnya dengan karet rambut hitam, lalu memeriksa penampilannya sekali lagi di cermin.
“Rapi dan siap,” gumam Ayla sambil tersenyum kecil pada bayangannya sendiri.
Sebelum keluar kamar, Ayla mengambil tas sekolahnya yang berwana pink pastel yang berisi, buku-buku, alat tulis, dan beberapa benda lain yang ia perlukan sudah tersusun rapi di dalamnya. Ia tidak mau ada yang tertinggal. Setelah memastikan semuanya siap, Ayla keluar dari kamar dan menuju ruang makan.
Di meja makan, Bu Ratna sudah menyiapkan nasi goreng dengan telur mata sapi. Zara dan Zian duduk di kursi mereka, masing-masing sibuk dengan roti cokelat dan botol susu. Aroma nasi goreng memenuhi ruangan, membuat perut Ayla keroncongan.
“Pagi, Kak Ayla. Sudah siap ya?” sapa Bu Ratna sambil menyendokkan nasi goreng ke piring Ayla.
“Pagi, Bu. Udah, seragamnya juga wangi banget, aku suka,” jawab Ayla sambil duduk dan mulai makan.
Pak Dimas muncul dari ruang tamu dengan kunci mobil di tangan. “Ayo, Kak. Jangan terlalu lama, Ayah ada rapat pagi di kantor.”
“Iya, Yah. Sebentar lagi,” kata Ayla sambil mempercepat makannya.
Zara memandang kakaknya dengan takjub. “Kak Ayla cantik banget hari ini!” seru Zara polos sambil menggoyang-goyangkan bonekanya.
Ayla tertawa kecil. “Makasih, Zara.”
Setelah menghabiskan sarapannya, Ayla berpamitan kepada Bu Ratna, Zara, dan Zian. Ia mengenakan sepatu hitamnya, memastikan kaus kaki putihnya juga tertarik sempurna hingga menutupi pergelangan kakinya.
“Kamu rapi sekali, Kak. Ayah yakin kamu akan membuat kesan pertama yang bagus,” puji Pak Dimas sambil tersenyum.
“Semoga aja, Yah,” jawab Ayla sambil menghela napas panjang.
Di perjalanan menuju SMA Pelita Bangsa, Ayla duduk diam sambil memandang keluar jendela. Jalanan Yogyakarta yang tenang dengan deretan toko-toko kecil dan pepohonan di sisi jalan memberikan suasana yang berbeda. Ia memikirkan apa yang akan ia hadapi di sekolah barunya.
“Kamu pasti bisa, Kak,” ujar Pak Dimas tiba-tiba, memecah keheningan. “Ayah tahu ini nggak mudah, tapi kamu anak yang kuat.”
Ayla mengangguk pelan. “Iya, Yah. Aku akan coba.”
Ketika mobil memasuki halaman SMA Pelita Bangsa, Ayla melihat banyak siswa yang sudah berkumpul. Beberapa dari mereka tampak bercanda dengan teman-temannya, sementara yang lain sibuk dengan ponsel masing-masing. Ayla menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.
“Semangat ya, Kak. Ayah jemput sore nanti. Kalau ada apa-apa, kabari Ayah,” kata Pak Dimas sebelum Ayla turun dari mobil.
“Iya, Yah. Makasih,” jawab Ayla sambil membuka pintu.
Dengan tas di pundak dan langkah mantap, Ayla melangkah menuju gerbang sekolah. Rambutnya yang dikepang dua bergoyang lembut mengikuti irama langkahnya. Meskipun hatinya masih berdebar-debar, ia tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan barunya.
Setelah melewati gerbang sekolah, Ayla berhenti sejenak untuk membaca denah sekolah yang terpasang di dekat pos satpam. Dengan cermat, ia memperhatikan lokasi ruang kelas X-1 MIPA yang ditandai dengan huruf kecil di bagian gedung sebelah barat. Ayla menarik napas panjang, lalu melangkah perlahan mengikuti petunjuk arah.