Keesokan harinya, Ayla kembali memasuki gerbang SMA Pelita Bangsa dengan langkah yang lebih percaya diri. Meski masih baru, pengalaman hari pertama membuatnya merasa sedikit lebih nyaman. Hari ini, ia berniat mengenal lebih banyak teman dan berusaha menyesuaikan diri dengan suasana sekolah yang dinamis.
Di kelas, Gia sudah duduk di tempatnya sambil membaca buku. Ayla menyapa temannya itu, lalu duduk di kursinya.
“Pagi, Ayla! Siap menghadapi Darren lagi hari ini?” tanya Gia dengan nada bercanda.
Ayla tertawa kecil. “Sepertinya aku harus belajar strategi khusus untuk menghadapi dia.”
Tak lama, Darren muncul di kelas dengan langkah santai, rambutnya tetap acak-acakan seperti kemarin. Ia membawa bola basket kecil di tangannya, melemparkannya ke atas sambil berjalan menuju tempat duduknya. Sesekali ia melemparkan senyum nakalnya ke arah beberapa teman, termasuk ke Ayla.
“Pagi, anak Jakarta!” seru Darren sambil menjentikkan bola basketnya ke meja Ayla.
Ayla mendongak, mencoba menahan tawa. “Pagi, Darren. Hari ini mau usil apalagi?”
Darren mengangkat bahu sambil menyeringai. “Lihat nanti aja. Hidup itu harus penuh kejutan, kan?”
Gia hanya menggeleng sambil tersenyum. “Kejutan versi kamu kadang bikin orang pengen pindah sekolah, tau.”
Di jam istirahat, Gia mengajak Ayla ke lapangan untuk menonton anak-anak yang sedang bermain basket. Beberapa siswa terlihat bersemangat, termasuk Darren yang tampaknya ikut bermain. Gerakannya cekatan, dan Ayla harus mengakui bahwa di balik sikap jailnya, Darren cukup berbakat.
Namun, perhatian Ayla teralihkan ketika seorang gadis dengan rambut panjang yang diikat tinggi tiba-tiba mendekati mereka. Gadis itu tampak anggun dan percaya diri, mengenakan kacamata berbingkai tipis yang membuatnya terlihat cerdas.
“Hai, kamu Ayla, kan?” tanyanya dengan nada ramah.
Ayla mengangguk. “Iya. Kamu siapa?”
“Aku Vanessa, ketua OSIS di sini. Aku dengar kamu murid baru. Kalau butuh apa-apa, jangan ragu tanya aku, ya,” katanya sambil tersenyum manis.
Gia menyikut Ayla pelan. “Dia ketua OSIS paling populer, lho. Pintar, cantik, dan selalu siap membantu.”
Ayla tersenyum canggung. “Makasih, Vanessa. Aku pasti ingat itu.”
“Ngomong-ngomong,” Vanessa menambahkan sambil melirik ke arah Darren, “kalau dia terlalu mengganggu, kasih tahu aku aja. Dia anak baik, tapi suka lupa batas.”
Ayla menahan tawa, mengingat tingkah Darren yang memang sulit ditebak.
Bel istirahat berdering, menandakan waktu belajar dimulai kembali. Ayla dan Gia bergegas kembali ke kelas. Ketika mereka masuk, Bu Citra, guru Bahasa Indonesia, sudah berdiri di depan kelas dengan senyum ramahnya.
“Selamat siang, anak-anak,” sapanya lembut. “Hari ini, kita akan belajar tentang cerita narasi. Untuk itu, saya akan membentuk kelompok. Kalian akan bekerja sama membuat kerangka cerita.”
Kelas menjadi riuh sejenak. Ayla yang masih baru berharap mendapat kelompok yang nyaman. Namun, hatinya berdebar saat nama-nama kelompok diumumkan.
“Kelompok 3: Darren, Ayla, Rafi, dan Nadya,” ujar Bu Citra.
Ayla menoleh ke Gia dengan wajah setengah panik. Gia hanya tersenyum simpul, seolah berkata semangat!.
Kelompok mulai duduk bersama. Darren, tentu saja, mengambil kursi di samping Ayla dengan senyum jahil yang khas.
“Wah, kita satu kelompok lagi. Takdir, ya?” katanya dengan nada menggoda.
Ayla menghela napas, mencoba tidak terpancing. “Kalau itu takdir, semoga takdirnya nggak bikin aku pusing.”