Keesokan harinya, Ayla bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi yang menerobos tirai kamarnya memberi semangat baru. Hari ini, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih terbuka terhadap pengalaman baru di sekolah.
Setelah sarapan bersama keluarga, Ayla berangkat ke sekolah dengan ayahnya. Di gerbang, suasana sudah ramai. Ia melihat Gia melambaikan tangan dari kejauhan. Dengan langkah cepat, Ayla menghampiri sahabat barunya itu.
“Pagi, Ayla!” sapa Gia dengan senyum ceria.
“Pagi, Gia! Siap menjalani hari ketiga?” jawab Ayla, mencoba menyesuaikan energi Gia.
“Selalu! Tapi jangan lupa, hari ini kita ada evaluasi tugas kelompok Bahasa Indonesia. Siap-siap aja kalau Darren bikin drama lagi.”
Ayla tertawa kecil, mengingat tingkah Darren selama kerja kelompok. “Semoga dia nggak terlalu usil hari ini.”
Saat mereka memasuki kelas, Darren sudah berada di tempatnya, kali ini tanpa bola basket. Ia melihat kedatangan Ayla dan Gia, lalu melambaikan tangan sambil menyeringai.
“Pagi, anak Jakarta! Udah siap denger ide-ide brilian dari aku lagi?” tanyanya dengan nada menggoda.
Ayla hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. “Aku lebih siap kalau kamu serius kali ini.”
“Tenang aja,” balas Darren santai. “Aku selalu serius... kalau tidur.”
Tawa kecil terdengar dari beberapa teman sekelas. Ayla menghela napas, berusaha menahan senyum. Meski menyebalkan, Darren memang punya daya tarik yang sulit diabaikan.
-Jam Pelajaran Bahasa Indonesia
Ketika Bu Citra memasuki kelas, suasana langsung berubah menjadi lebih tenang. Guru Bahasa Indonesia yang lembut namun tegas itu meminta setiap kelompok mempresentasikan kerangka cerita mereka. Kelompok Darren mendapat giliran kedua.
“Kelompok 3, silakan maju,” ujar Bu Citra.
Ayla, Darren, Rafi, dan Nadya berdiri dan berjalan ke depan kelas. Ayla memegang kertas kerangka cerita mereka, sementara Darren dengan santai memasukkan tangan ke saku celananya.
“Silakan, siapa yang akan mempresentasikan?” tanya Bu Citra.
Ayla melirik Darren yang langsung menunjuk dirinya sendiri. “Ayla aja, Bu. Dia yang paling pintar ngomong.”
Ayla melotot kecil, sementara Darren hanya menyeringai. Dengan terpaksa, Ayla maju selangkah dan mulai menjelaskan kerangka cerita mereka tentang seorang remaja yang harus menghadapi tantangan besar untuk membuktikan dirinya.
Selama presentasi, Darren sesekali menyela dengan komentar kecil yang sebenarnya tidak diperlukan, seperti, “Itu ide aku, lho,” atau, “Tulisannya bagus karena aku yang nulis.” Meski demikian, Ayla berhasil menyelesaikan presentasinya dengan baik.