Hari-hari Ayla dan Darren sebagai pasangan terus berlalu dengan penuh warna. Tawa, canda, dan pertengkaran kecil menjadi bagian dari hubungan mereka. Namun, kedekatan itu mulai diuji ketika semester akhir membawa tekanan yang lebih besar—persiapan ujian nasional, penerimaan perguruan tinggi, dan impian masing-masing yang mulai membentangkan jalan berbeda di depan mereka.
---Pertemuan Tak Terduga
Suatu pagi di perpustakaan sekolah, Ayla sedang membaca materi untuk persiapan ujian ketika Gia tiba-tiba muncul dengan wajah ceria.
“Kamu nggak bakal percaya apa yang aku dengar!” ujar Gia dengan nada antusias.
Ayla meliriknya sambil memiringkan kepala. “Apa lagi, nih?”
“Darren diincar tim basket universitas! Katanya mereka tertarik ngajak dia jadi atlet mahasiswa.”
Mata Ayla melebar. “Serius? Universitas mana?”
“Belum jelas, tapi katanya universitas di Jakarta,” jawab Gia sambil tersenyum lebar.
Ayla terdiam. Ia merasa senang mendengar kabar baik itu, tetapi sekaligus ada rasa khawatir yang muncul. Darren tidak pernah membahas ini padanya.
Sore harinya, Ayla menemui Darren di lapangan basket, tempat yang sudah seperti rumah kedua bagi cowok itu. Darren sedang bermain satu lawan satu dengan Rafi, dan begitu melihat Ayla, ia langsung berhenti bermain.
“Eh, Ayla! Ada apa ke sini?” tanyanya dengan napas sedikit tersengal.
“Kamu nggak cerita soal tim universitas,” ujar Ayla tanpa basa-basi.
Darren tampak terkejut. Ia mengusap tengkuknya, lalu tersenyum tipis. “Aku nggak tahu gimana ngomongnya ke kamu.”
“Kenapa? Bukannya ini kabar baik?” Ayla menatapnya lekat-lekat.
Darren menghela napas panjang. “Iya, tapi aku takut kamu nggak suka. Kalau aku diterima, berarti aku bakal fokus ke basket dan kuliah. Waktu kita buat ketemu mungkin jadi lebih sedikit.”
Ayla terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kalau itu impian kamu, aku nggak akan ngelarang. Tapi aku cuma mau kamu jujur sama aku, Darren. Kita bisa cari cara untuk tetap saling dukung, kan?”
Darren menatap Ayla, rasa syukur terpancar di matanya. “Makasih, Ayla. Kamu selalu bikin aku merasa lebih yakin sama diri sendiri.”
---Jalan Berbeda
Namun, perbedaan mulai terasa ketika Darren semakin sibuk dengan latihan dan persiapannya untuk seleksi tim universitas. Ayla, di sisi lain, harus fokus pada studinya untuk masuk jurusan kedokteran di universitas lain.
Suatu malam, Ayla dan Darren duduk di bangku taman dekat rumah Ayla. Suasana malam itu tenang, tetapi ada ketegangan yang terasa di antara mereka.
“Kamu kelihatan capek,” ujar Darren, memecah keheningan.
Ayla mengangguk pelan. “Aku cuma mikirin banyak hal. Ujian, aplikasi kuliah, dan... kita.”
Darren menghela napas. “Aku juga mikirin itu. Ayla, aku tahu mungkin kita bakal sibuk dengan hidup masing-masing, tapi aku nggak mau kita berakhir cuma karena itu.”
Ayla menatap Darren, matanya penuh keraguan. “Darren, kita harus realistis. Kalau nanti kita jarang ketemu, apakah hubungan ini masih bisa berjalan?”
Darren terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak tahu, Ayla. Tapi aku percaya kalau kita sama-sama berusaha, kita bisa. Kamu penting buat aku.”
Mendengar itu, Ayla merasa lega sekaligus cemas. Mereka memutuskan untuk mencoba bertahan, meski tahu tantangan yang akan mereka hadapi tidak akan mudah.
---Pertengkaran yang Membuka Mata
Seminggu sebelum ujian nasional, Ayla dan Darren terlibat dalam pertengkaran besar. Darren membatalkan janji untuk belajar bersama karena ia harus mengikuti latihan tambahan.
“Kamu selalu pilih basket daripada aku!” Ayla meledak di telepon.
“Ayla, ini penting buat masa depanku! Aku nggak sengaja lupa,” balas Darren dengan nada frustrasi.