Pov Castie
“Apa yang ingin paman tunjukkan pada kami?” tanyaku, “duduklah dengan tenang dan lihat ke dinding yang ada di hadapan kalian” ujar Paman Arey. Dinding itu memunculkan hitungan mundur, lalu mucul gambar beberapa orang.
“Apa yang kalian maksud?! Kalian tidak bisa menemukannya, kalian tidak pantas menjadi polisi! Kalian tidak bisa diandalkan! Putriku tidak mungkin hilang begitu saja, kalian pikir ini dunia apa hah!” ujar suara yang sangat aku kenali. “Pa, papa tenang Cas pasti ketemu” ujar Kak Re. Air mataku jatuh begitu saja, “papa, kakak” wajahku sudah basah dengan air mata.
“Anakku!” aku kembali menatap dinding yang ada disana, terdapat gambaran Ibunya Corry disana. “Putrimu itu memang pembawa sial!” ujar Ayah Corry, aku membulatkan mataku. Aku tidak ingin percaya ini, “Castie, jangan dengarkan dia” ujar Corry memelukku. “A-aku bukan pembawa sial” ujarku sambil terisak, “iya kamu bukan pembawa sial” ujar Corry lagi. “Putriku bukan pembawa sial! Kamu kira hanya kamu yang kehilangan putramu?!” ujar papa dengan emosi, tidak lama papa ambruk di pelukan Kak Re.
“PAPA!”
Aku meraung keras ketika melihat hal itu, air mataku tidak lagi terbendung. Tubuhku bergerak liar tak menentu tubuhku lepas dari pelukan Corry. “Papa!” teriakanku semakin kencang. “Castie, tenang kamu harus tenang” ujar Corry, aku merasakan tangannya memegang bahuku. “Aku-aku” nafasku sesak, kepalaku terasa pening. Corry memelukku dengan erat, aku merasakan ada tenaga baru yang mengalir dalam tubuhku. “Castie, sudah-sudah ya” ujarnya sambil membelai rambut belakangku. “Karena aku, benar yang ayahmu katakan semua karena aku. Aku yang membawa kalian kesini, aku yang memaksa kalian ikut” tekanku padanya dengan sisa tenaga yang aku punya.
“Aku kesini karena aku mau, dan aku punya tanggung jawab padamu Cas” aku terdiam. Corry masih setia mengelus rambutku, “tidak apa-apa, aku bantu kamu. Kita saling bantu ya” suaranya yang lembut selalu bisa membuatku lebih tenang. Aku kembali duduk dan melihat gambar yang ada disana sudah berubah lagi.
“Luki, kami yakin kamu masih hidup dan akan pulang lalu berkumpul bersama kami lagi” ujar seorang perempuan dengan nada teduh. Di dalam nada itu terpancar kekhawatiran, ketakutan, marah. Tapi semua itu tertutupi oleh senyum teduh yang dimiliki olehnya.
Tak lama gambar kembali berganti, “Angella maafkan kami nak, kami selalu memaksamu untuk melakukan apa yang kami mau. Kami tidak pernah memikirkan perasaanmu terlebih dahulu. Pulanglah nak” ujar seorang perempuan yang umurnya tidak jauh beda dengan papa. Aku melihat ke arah Mirai yang sudah membekap mulutnya sendiri, Luki yang ada di sampingnya merangkul Mirai tanpa di tolak.
“Mirai, maafkan kami nak kami baru sadar saat kami tidak ada di rumah kami sama sekali tidak ada artinya” ujar seorang laki-laki.