Pov Castie
Setelah kami mengunjungi rakyat ibukota dan mengajak mereka untuk bersatu. Kami membuat jadwal untuk berlatih, seperti hari ini yang berlatih adalah pemuda-pemuda dan orang-orang yang kemampuannya adalah bertarung dengan senjata. Selain jadwal untuk kemampuan, beberapa orang tua yang sudah tidak sanggup dalam mengangkat senjata ikut membantu untuk menyiapkan makananan untuk yang sedang berlatih.
Suara dentingan pedang yang saling beradu juga suara anak panah yang menancap menjadi santapan untuk hari ini. Aku ikut dalam pelatihan, sedangkan yang lain menjadi pelatih. “Lepaskan semua keraguanmu Castie!” ujar Mirai yang ada di depanku. Aku mengangguk dan kembali menarik napas, aku menajamkan penglihatanku dan mengayunkan pedang milikku ke arahnya.
“ya, terus serang!” ujar Mirai yang juga terus menangkis seluruh gerakanku. Aku terus mengayunkan pedangku sampai akhirnya gerakanku bisa lebih halus dan aku bisa memojokkan Mirai. “Ya! Bagus Cas” ujar Mirai sambil tersenyum kepadaku. “Ayo duduk dulu atau mau kebelakang melihat latihan yang lain?” tanya Mirai. “Ke belakang saja” ujarku memilih.
Kami berdua pergi ke belakang, disana Corry, Vialin, Luki dan Paman Ve berada di tengah-tengah lautan manusia. “Jangan sampai lengah! Musuh tidak menunggu kalian siap!” teriak Paman Ve dari tengah-tengah. “Baik!” ujar mereka serempak. Dentingan pedang kembali terdengar.
“Akh!” aku menoleh ke arah timur, disana pemuda yang memegang lengannya. Aku menarik Mirai menuju pemuda itu, “hei, kau terluka. Jangan menahannya” ujar Mirai ketika kami sudah dekat. “Em, aku tidak apa shh” ujar pemuda itu sedikit meringis. Aku melihat Corry yang datang menuju ke arah kami.
“Jika kau terluka dan tidak diobati sekarang, kamu tidak akan bisa ikut dalam pertempuran ini. Juga kamu tidak akan pernah bertemu dengan ayahmu” ujar Corry. “ba-baiklah” ujar pemuda itu yang kini menurut saat di bawa ke ruang kesehatan oleh Mirai.
“Tahu apa kamu tentang dia?” ujarku, “memang kamu tidak lihat foto yang ada di mejanya saat kita ke rumahnya kemarin?” tanya Corry yang ku jawab dengan gelengan. “Di foto itu ada dua orang laki-laki dari generasi yang berbeda jadi aku simpulkan kalau mereka adalah ayah dan anak” ujar Corry. “Aku tidak begitu memperhatikan rumah yang kita datangi kemarin, tapi memang dari diri dia sendiri aku melihat sesuatu yang amat ia rindukan” ujarku.
Tanpa aku duga Corry mengarahkan pedangnya dengan sigap aku menahannya. “Apa maksudmu! Kenapa kamu tiba-tiba menyerangku?!” kesalku, “paman sudah bilang, musuh tidak menunggu kita siap” ujar Corry dengan pedang yang masih ada di depan wajahku. Aku memberikan senyuman terbaikku dan mengembalikan pedangnya.
“Baik, kalau begitu kita tanding” ujarku, kami berjalan sedikit menjauh dan kembali saling serang dan tangkis. “Kamu semakin percaya diri Cas” ujar Corry, “tentu, karena kalian juga terus membantuku” balasku di sela-sela permainan kami.
Tak lama, “sudah cukup huft” ujarku dengan napas tersegal, yang sudah tidak bisa lagi mengimbangi kecepatan Corry. Dia menghentikan ayunan pedangnya, lalu menepuk kepalaku pelan, “aku senang kamu sudah lebih baik” ujarnya. “Aku juga” balasku.
“Baiklah, latihan hari ini cukup sampai disini, kalian bisa istirahat sebentar lalu makan” ujar Paman Ve. Ketika mereka hendak mengembalikan pedang dari tangan mereka, “tidak perlu, pedang itu adalah milik kalian sekarang” ujar Paman Ve. “Terima kasih paman!” ujar mereka sambil membungkukkan badan dengan serempak. Paman Ve mengangguk singkat lalu keluar dari sana.
Aku langsung pergi ke dapur dan melihat Mirai dan Vialin yang sudah mulai memasukkan makanan yang baru saja matang ke tempat-tempat yang lebih kecil. “Biar aku yang membagikannya pada mereka” ujarku sambil membawa tempat-tempat itu. “Terima kasih bantuannya” ujar Mirai, aku mengangguk tersenyum.
Aku membagikan makanan itu kepada mereka satu persatu, “terima kasih kak!” ujar pemuda manis yang menjadi orang terakhir yang aku berikan makanan. “Ya, boleh aku duduk disini?” tanyaku, dia mengangguk.