Iyrin: Di Balik Sayap Dan Bisikan

Elin H Marlene
Chapter #2

Bagian 1: Sepotong Janji

Jendela di kamar itu tidak pernah tertutup. Ketika malam, bintang-bintang akan selalu tampak dengan kilaunya yang berpendar. Ketika senja, binar kemerahan akan selalu menerobos dari balik bingkai memantul pada dinding ruangan. Ketika pagi, kilau kuning keemasan mentari menusuk kelopak mata, hingga seseorang terjaga dari tidurnya.


Gadis itu terbangun. Beberapa helaian rambut bewarna madu Akasia, berguguran di bantal miliknya. Kelopak matanya masih terpejam, namun kakinya sudah mengambil langkah duluan menuju kamar mandi. Tangan kanannya meraih keran air, dan tangan kirinya menampung air yang mengalir. Dalam waktu singkat, cipratan air keran itu membuka kelopak matanya yang mengatup, dan di cermin itulah sepasang mata coklat-kehijauan menatap balik. Tampak wajah meringis di cermin itu, dan rambut semegar singa jantan. 


"Selamat Pagi juga Aerlene!" Ucap gadis itu dengan sedikit menggumam.

Dia tidak menyangka akan merasa sebosan ini ketika tinggal di Apartemen kecilnya yang berada di tingkat sembilan. Selain rutinitas yang tidak banyak berubah setiap tahunnya, kota Severshire pun tak banyak berevolusi. Aerlene tidak menyangka kota yang dia lihat sepuluh tahun lalu ini, tidak berubah secara signifikan sampai pubertas menghampiri dirinya di usia enam belas tahun. Keinginannya di masa kecil untuk belajar seni di kota ini adalah satu-satunya sisa kemurnian dalam dirinya, yang menyelamatkannya dari nasib buruk selama tujuh tahun terakhir.


Setelah menggoreskan eyeliner hitam dan menyisir rambut pirang madu berombaknya, Aerlene buru-buru mengancing jaket merah parka dan membenarkan risleting celana jins hitamnya. Dia berlari dengan boot kulit abu-abunya menuju lift di ujung koridor. Dia tidak boleh telat dengan bus sekolahnya kali ini, karena uangnya akan berkurang banyak jika harus menggunakan taxi ke sekolahnya, padahal uang hasil kerja paruh waktunya, sangat diperlukan untuk kelangsungan pendidikannya di kota ini.


Tiga menit menanti, bus bewarna biru tua itu tiba, dengan gerombolan remaja dan hormon yang tinggi, heboh bersenda gurau di dalamnya. Aerlene memutuskan untuk menggunakan alat bantu dengarnya ketika ia tiba di sekolah saja, karena dia tidak ingin terjebak di antara kericuhan yang membuatnya merasa terintimidasi dan terasingkan.


Tidak mudah berdamai dengan kebenciannya terhadap keramaian, namun Aerlene tahu kalau dirinya tidak punya pilihan lain selain bertahan untuk sementara waktu. Sekarang ketika harus menuliskan satu baris singkat kalimat tentang dirinya, Aerlene tahu dia harus menulis: 


Aerlene Ray, 17 Tahun, Sedikit bermasalah dengan pendengaran, uang dan hubungan sosial.



Kelas sudah dimulai, Aerlene duduk di kursinya yang terletak di barisan terdepan. Hal ini memudahkan dirinya untuk menyerap pengetahuan yang diberikan selama pelajaran berlangsung, walaupun secara diam-diam dirinya benci berada di bawah lampu sorot, namun gangguan pendengaran yang dideritanya 7 tahun belakangan membuatnya terpaksa menerima kenyataan, bahwa dia akan selalu menjadi gadis baris depan selama bersekolah.

Teman sebangkunya tak kalah menarik. Namanya Shansa Frauw, gadis Albino paling tenar seantero sekolah. Kelainan genetik yang dideritanya justru membuatnya sebagai gadis yang paling menarik di satu penjuru sekolah.


Shansa aslinya keturunan campuran Nordik?Eropa Utara dan Asia Tenggara.

Tubuhnya hanya setinggi rata-rata gadis usia dua belas sampai tiga belas tahun di Eropa, namun kondisi genetik albino, membuatnya memiliki aset yang langka yang tidak dimiliki siswi manapun di sekolahnya.


Kulit seputih salju keperak-perakan. Mata berbentuk almond membingkai sempurna pupil matanya yang bewarna abu-abu terang kebiruan seperti kristal es. Raut wajahnya pun lembut seakan menyesuaikan dengan bentuk wajahnya yang kecil. Rambut lurus dan panjang sepinggang, diwarnainya sehitam laut malam. Kombinasi yang membuat Shansa Frauw mendapat julukan "Putri Salju" oleh murid-murid lain yang menyukainya dan "Penyihir" bagi sebagian lagi yang selalu punya segudang alasan untuk membencinya.


"Kau sudah mencoba Red Velvet di Toko Kue Nyonya Fauntine? Kalau belum kau harus coba, karena rasanya benar-benar lezat, dan kau akan benar-benar kecanduan dengannya," celoteh Shansa pada Aerlene.


"Tidak semua memiliki tubuh yang tidak bisa menggelembung seperti dirimu, aku lagi berdiet, dan tawaranmu membahayakan prosesnya." Aerlene menghela napas panjang. Tangannya harus berkonsentrasi menggambar detail bagian payudara mengantung dari seorang wanita paruh baya yang sejak satu jam lalu berbaring telanjang dan memasang ekspresi wajah datar yang aneh di depan kelas.


Lihat selengkapnya