Iyrin: Di Balik Sayap Dan Bisikan

Elin H Marlene
Chapter #3

Bagian 2: Sepotong Kepercayaan

"Ibu, bolehkah aku memiliki satu lagi buku itu?" Seorang bocah perempuan menunjuk-nunjuk rak buku di salah satu sudut Toko Buku Know-Well. Aerlene ingat deretan buku apa yang terpajang disana. Kebanyakan berisi buku-buku fiksi untuk anak-anak usia dari 3-10 tahunan. Dimana gambar ilustrasi masih mendominasi isi buku keseluruhan, dibandingkan teksnya.

Deretan buku yang dahulu menjadi bahan inspirasi Aerlene semasa kanak-kanak, untuk menggambarnya ulang dengan krayon di dinding kamarnya. Yang akan berakhir dengan teguran dari orang tuanya diiringi nasihat bahwa sebaiknya gambar-gambar itu dituangkan dalam secarik kertas bukan tembok sebuah kamar. Namun, Aerlene tak begitu peduli dengan teguran orang tuanya. Dia tahu dia tidak terlalu suka kertas, terlalu rapuh pikirnya. Tembok itu kuat, dia tidak akan melembek dan gampang dikoyak-koyak menjadi potongan-potongan kecil ketika disiram air, nalarnya saat itu.

"Permisi nona, aku ingin membeli semua ini." Bocah perempuan tadi, berdiri tepat didepan meja kasir. Menaruh setumpuk buku dengan susah payah dengan kedua tangan mungilnya yang gemuk. Aerlene kini bisa melihat dengan jelas wajah pelanggan kecilnya itu. Sebuah wajah bundar, dengan mata coklat bulat besar seperti rusa, hidungnya bulat kecil, terhimpit diantara pipi berbintik-bitik namun tembam dan seranum apel. Rambut anak perempuan itu berwarna seperti tembaga, pendek ikal sebahu dengan poni tebal diatas alis tipisnya.


"Kau sangat menyukai Raibbe ya sayang?" Tanya Aerlene melihat bahwa hampir semua buku yang kini lagi discan-nya berilustrasikan Raibbe, karakter mainan anak perempuan. Berwujud wanita cantik, berambut panjang bewarna pirang dan bermata biru, dengan senyum ramah yang seakan menegaskan kalau dia pantas menjadi sosok idola sempurna anak perempuan. Rata-rata desain buku yang memuat Rabbie dipenuhi dominasi warna merah muda, ungu, biru, serta gliter-gliter berkilauan dalam setiap sampulnya. Warna-warna itu umumnya selalu berhasil menangkap tatapan anak perempuan.


"Sebenarnya karena ibuku pikir Raibbe yang dibuku-kan lebih bermanfaat dibanding bonekanya, boneka-nya tidak bisa dibaca serta mungkin sedikit lebih mahal untuk membeli satu buah boneka-nya dibanding satu buah bukunya." Jawab bocah perempuan itu dengan mantap, seperti jawaban itu sudah seringkali digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa.


Aerlene menjelaskan berapa nominal yang harus dibayarkan untuk semua buku cerita Raibbe itu. Kemudian dengan keyakinan penuh, bocah perempuan itu merogoh kedua saku mantel beludru bewarna hijau lumutnya, dan mengumpulkan lalu menghitung uang tersebut sebelum akhirnya menyerahkannya pada Aerlene dengan wajah puas.


"Uangnya pas, bukan? Maaf, baru seminggu ini aku mengajarinya membayar sendiri." Seorang wanita berusia akhir tiga puluhan merangkulkan tangannya disekitar pundak bocah perempuan itu. Dari mata coklat berbentuk bulat besar dan bentuk wajah bulatnya Aerlene tahu ini pasti ibu sang bocah perempuan. Dia seperti kembaran si bocah perempuan, hanya versi lebih tua serta warna rambut coklat dan alis sedikit lebih tebal karena pulasan pensil alis. Semuanya hampir sama kecuali warna tembaga pada rambut bocah perempuan itu yang mungkin tidak diturunkan oleh ibunya.


Lihat selengkapnya