Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aerlene akhirnya bisa menonton film. Setalah keadaanya sudah lumayan membaik, dia dipindahkan pada ruangan kamar yang lebih kecil dengan dinding berwarna khaki dilengkapi TV dua puluh satu inci untuk mengusir kebosanannya.
Ibunya pergi meninggalkan dia sebentar untuk mengurus kamar apartemen Aerlene agar sudah rapi dan siap untuk kepulangannya. Padahal Aerlene sudah menolak hal itu, karena pada akhirnya jika dia mulai bekerja lagi dengan karya seni buatannya. Semua kerapian akan hilang dalam satu jentikan jari, namun ibunya bersikukuh bahwa Aerlene butuh suasana baru dan Aerlene tahu bahwa ketika memutuskan sesuatu ibunya sperti dirinya, ibunya cukup keras kepala.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan yang cukup keras dari luar pintu. Cukup mengejutkan Aerlene karena kini dia lagi menoton tayangan horor tentang hantu Bloody Mary di TV kamar rumah sakit sendirian. Ia baru saja terbangun dari tidur tiga jamnya, dan jam digital di dinding menunjukkan pukul sebelas malam.
"Aerlene apa kau masih bangun, ibumu menitipkan ini padaku, aku ingin langsung memberikannya padamu." Kini ketukan keras di depan pintu itu diikuti suara berat Tuan Barr yang membuat Aerlene lega.
"Kau boleh masuk Tuan Barr, aku belum tidur," sahut Aerlene.
Gagang pintu berputar dan menimbulkan suara denyitan sebelum akhirnya pintu terbuka dan menunjukan wajah tersenyum lebar Tuan Barr di depan pintu.
"Hai Aerlene ibumu menitipkan buku-buku dan beberapa makanan ringan ini agar kau tak diam kebosanan menanti dia kembali beberapa hari kedepan." Tuan Barr tertawa ringan sambil memperlihatkan dua tas di tangannya. Tas pertama bewarna biru terlihat berisi buku-buku lalu, bungkus makanan ringan menyembul dari tas lainnya yang bewarna merah.
"Terima kasih banyak Tuan Barr, kau boleh menaruhnya di meja disampingku, kakiku masih sedikit nyeri," jawab Aerlene ringan.
"Baiklah...." Tuan Barr meletakkan dua tas tersebut di atas meja disamping kiri Aerlene. "Aku tidak akan berani, jika jadi kau," sahut Tuan Barr mengomentari tayangan yang sedang ditonton Aerlene.
"Percayalah, Tuan Barr jika beberapa gadis remaja seusiaku sudah suka terhadap suatu hal, mereka tidak akan membiarkan keadaan apapun menghalangi mereka." Cengir Aerlene.
"WOW! Aerlene! Kuharap gadis remaja seusiamu hanya bercanda saja saat mengatakan rela membunuh untuk sesuatu yang sangat mereka inginkan, seperti pacar idola yang tampan dan sepatu baru edisi terbatas, kalau tidak akhir dunia pasti datang lebih awal." Aerlene tertawa mendengar tanggapan spontan Tuan Barr.
"Terima kasih Tuan Barr, aku tahu dari Mama, selama ini kau menemaninya saat aku tidak sadarkan diri, kau tahu terkadang Mama bisa sangat keras kepala untuk menyembunyikan kecemasannya, aku harap kami tidak terlalu banyak merepotkanmu selama ini." Aerlene melemparkan senyumnya pada Tuan Barr.
"Jangan berlebihan begitu, aku tahu benar saat pertama kali melihat Nyonya Endelea, dia adalah seorang ibu yang sangat menyayangi putrinya. Selama kau tak sadarkan diri, dia banyak menceritakan tentang dirimu padaku. Matanya selalu berbinar-binar jika membahas sesuatu yang berkaitan denganmu. Aku tidak keberatan direpotkan olehnya." Tuan Barr merogoh sesuatu dalam tas merah.
"Apakah kau mau puding buah?" Tangan besar Tuan Barr menyodorkan satu gelas puding buah kemasan dihadapan wajah Aerlene. Aerlene terbengong dengan peralihan topik yang tiba-tiba menjadi makanan.
"Rahasia itu, ibumu sendiri yang bilang padaku. Kau suka sekali makanan, terutama yang manis-manis, seakan-akan makanan itu Romeo dan kau Juliet-nya." Tuan Barr tertawa terbahak-bahak, sementara di sisi lain wajah Aerlene tiba-tiba merasa panas. Dia yakin sekarang pipinya memerah seperti tomat masak. Bisa-bisanya ibunya menceritakan hal itu pada Tuan Barr.
"Maaf aku harus melakukannya, mereka bilang hari ini adalah saat kau menemui akhir hidupmu." Aerlene mendengar suara samar-samar itu di kepalanya. Suara yang mirip dengan suara Tuan Barr. Tapi bagaimana mungkin sedangkan Tuan Barr kini sedang tertawa di sampingnya.