Iyrin: Di Balik Sayap Dan Bisikan

Elin H Marlene
Chapter #7

Bagian 6: Ruh Yang Gagal Mati

"Katakan kalau aku memang sebenarnya sudah mati!"

Aerlene meringkuk di sudut ruangan, memeluk lututnya dan menyembunyikan wajah. Ia berada di ruangan asing yang tak terlalu besar. Dinding dan lantai kayu hitamnya berbau apak, pliturnya mengelupas. Hanya ada karpet beludru hijau lumut, sofa kulit merah marun, dan meja mahoni persegi di depannya. Penerangan berasal dari lampu kuning 5 watt di tengah atap dan jendela kecil yang memperlihatkan taburan bintang.

Ingatan terakhirnya adalah dia baru saja terjun bebas dari lantai tujuh bersama si Rambut Perak yang memegangi tangannya. Aerlene yakin sepenuhnya bahwa dia mengalami pingsan karena semuanya mendadak menjadi hitam. Tepat setelah dia sadar kaki telanjangnya menyentuh udara dingin malam di kota Severshire. Aerlene tidak pernah ingat sejak kapan dia tiba di ruangan ini.

"Mengapa kau selalu suka bersikap dramatis?" jawab si Rambut Perak.

"Bagaimana aku bisa percaya kalau sekarang aku masih hidup setelah melompat dari lantai tingkat tujuh?!" Aerlene memperhatikan sekujur tubuhnya. Tidak ada satu titik pun luka lecet yang dapat ditemukan di sana, yang mana itu sepenuhnya mustahil bagi orang yang baru saja loncat dari ketinggian puluhan meter. Dia pasti sudah gila jika masih percaya kalau dirinya masih bernapas setelah itu.

"Percayalah, orang mati tak akan bebas merengek." Si Rambut Perak meletakkan kedua tangannya di atas pundak Aerlene.

"Lene, sahabatku... baru sebentar aku meninggalkanmu dan kau berubah menjadi selembek marshmallow."

"Sialan kau! atau siapapun, entahlah aku tidak mengerti lagi apa yang benar-benar nyata, mungkin saat ini aku gila atau masih koma, dan semua ini hanya halusinasi di kepalaku, kuharap seseorang membangunkanku secepatnya dari mimpi buruk ini." Aerlene mengangkat kepalanya. Mata coklat kehijauan-nya melotot tajam namun bibirnya mengkerut ketakutan.

Dia menatap ulang wajah yang kini di hadapannya. Wajah cantik beraut lembut dengan kulit seputih kapas, mata abu-abu kebiruannya yang sebening batu es dan kalimat perumpamaan aneh yang keluar dari mulutnya. Semuanya sangat Shansa, kecuali rambut perak yang seingat Aerlene seharusnya bewarna sehitam batu arang.

"Oh Lene, sayangnya tidak, kau tidak butuh dibangunkan oleh siapapun, semua kegilaan ini nyata, akan butuh waktu menjelaskannya satu persatu-satu kepadamu." Shansa menatap dengan wajah iba. Tangannya menyingkirkan helaian rambut bewarna madu Akasia, yang terurai jatuh menutup sebagian wajah Aerlene.

"Apa kau mendengarku sekarang Lene, kau pasti bisa 'kan?" Aerlene mendengarnya lagi, suara samar-samar itu, kali ini suara Shansa. Namun seperti Tuan Barr sebelumnya, bibir Shansa tak terlihat mengucap satu patah kata pun.

"Shan, setelah sebulan aku koma, sekarang tiba-tiba semua orang bermutasi dan mampu melakukan ventriloquis?" ucap Aerlene keheranan.

"Oke... aku tak menduga kesimpulanmu akan sekocak itu, baiklah aku akan memberi tahumu fakta pertama, ini pikiranku, dan kini kau sedang mendengarkannya seperti penguping, selamat datang di klub pembaca pikiran, Lene."

"Pembaca pikiran? Kau serius? Ini semua benar-benar gila!" Aerlene memutar kedua bola matanya, dan menatap sarkas.

"Setidaknya kau kini tahu kemampuanmu, gunakan dengan bijak, karena kau mungkin akan sangat membutuhkannya kelak, aku tak menyangka kau lamban menyadarinya dan harus menungguku menyelamatkanmu seperti ksatria berzirah dan berkuda putih dari si pengumpul bodoh, padahal kau pasti sudah membaca pikirannya dan tahu intensinya untuk menghabisi nyawamu." Shansa berjalan mundur kearah sofa, dan berbaring terlentang diatasnya.

"Oke... bisakah kita hentikan dulu permainan 'Ayo baca pikiranku' ini? Aku cukup lelah, bisakah kau mengatakannya padaku?! Kantung pertanyaan di otakku sudah menumpuk dan menggangu seperti kotoran di popok bayi, aku butuh membersihkannya dengan jawaban darimu Shansa." Terdapat tekanan pada akhir kalimat yang diucapkan Aerlene. Kode halus yang dia gunakan sebagai cara menuntut sesuatu.

"Oke, apapun untukmu kawan, keluarkan saja," ucap Shansa datar.

"Demi Tuhan... Siapa sebenarnya makhluk tadi? Kenapa dia ingin melenyapkanku? Apa yang sebenarnya telah terjadi sampai aku harus mengalami kejadian sialan tadi?!" Kedua tangan Aerlene meremas sisi kepalanya. Kepalanya terasa benar-benar mau pecah.

"Jadi pertanyaan yang benar-benar banyak ya' kawan? Tapi tidak aneh sih, semua manusia juga akan bersikap sama jika mengalami apa yang kau alami, Lene."

"Oke, kita masuk pada fakta kedua, makhluk jelek tadi, dia adalah salah satu dari apa yang disebut para pengumpul. Mereka ingin membunuhmu, karena perintah kematianmu sudah tersebar, kau seharusnya tidak hidup lama setelah kecelakaan gila itu dan tugas pengumpul hanya satu, memastikan kematian seseorang yang memang harusnya sudah mati..." Shansa terdiam sejenak. Seperti berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Terutama orang mati yang jiwanya sudah diklaim menjadi penghuni neraka, kawan."

"Apa maksudmu Shan?" Aerlene menelengkan kepalanya. Sepasang matanya menatap keheranan.

Lihat selengkapnya