┍━━☽【❖】☾━━┑
Dinding-dinding rumah itu mengerut, seakan ikut menahan napas Aerlene. Cat yang mengelupas menampakkan lapisan masa lalu yang membusuk, dan angin yang menyusup lewat celah jendela menggiring aroma besi tua dan air pipa. Jam di pojok ruangan berdetak seakan menghitung mundur pada keheningan yang menguasai.
Aerlene berdiri kaku di tengah ruangan, napasnya tak teratur, dadanya naik turun seakan dia takut kehabisan oksigen. Di hadapannya berdiri makhluk itu-yang selama ini memakai nama Shansa Frauw. Tapi kini, tak ada lagi topeng. Tak ada senyum manusiawi. Hanya tubuh kurus pucat berselimut bayangan, dan mata yang menyala tipis, seperti kilauan bilah pisau yang baru diasah.
Aerlene menatap dalam mata Shansa, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik ketenangan itu. Tiba-tiba, kilasan masa lalu menyambar pikirannya seperti kilatan petir—padang pasir Mesir kuno, dua sosok berjubah di bawah pohon kurma, dan suara pria dengan mata teal yang mengejek, sementara seorang wanita berambut putih keperakan mengaku bosan menjadi pengawas manusia. Dalam sekejap, gambaran itu terpatri dalam hati Aerlene, sahabatnya bukanlah Shansa, seorang gadis remaja biasa, melainkan-makhluk abadi yang menyimpan rahasia ribuan tahun.
"Nama aslimu... Neirin," bisik Aerlene dengan suara serak, hampir tenggelam dalam hembusan angin pagi yang dingin. Mata Shansa melebar seketika, rona merah samar muncul di kelopak matanya. Ia mengerang pelan, lalu merapatkan kedua tangan di dadanya seolah menahan gelombang perasaan yang tiba-tiba membanjiri.
Tubuhnya kaku, tatapannya menunduk seperti terperangkap dalam bayang-bayang rahasia yang tak mampu dihindari. Sunyi pagi itu menjadi saksi sebuah kebenaran yang tersembunyi mengungkap tirai dalam perjalanan hubungan persahabatan mereka, menembus ruang dan waktu tanpa suara.
"Neirin... muncul dari bayang-bayang benakmu," bisik Aerlene dengan suara serak penuh kekaguman dan getir. "Shansa, Kau makhluk yang tercipta dari keilahian, dan aku... aku mungkin tak'kan pernah bisa membiasakan diri pada rahasia yang kau simpan. Menakjubkan, ini benar-benar gila, kawan."
Shansa menundukkan kepala, napasnya tersengal halus seakan menarik beban ribuan malam yang tersimpan di dasar jiwa. "Aku telah mengubur nama itu di balik abu waktu Aerlene. Setelah sekian lama, kamu satu-satunya manusia yang mampu membukanya kembali."
Shansa duduk bersila di lantai, sambil menggoyang-goyangkan punggungnya, seakan-akan, tubuhnya merasa kesemutan, dia mengeluarkan beberapa gulungan perkamen dari tas jinjing hitam yang berada di dekat kakinya.
"Lene...," suara Shansa nyaris berbisik, namun terdengar tajam, seperti ujung belati yang menyentuh kulit. "Tahukah kau... bahkan para malaikat pun cemas pada apa yang terkubur dalam pikiran manusia? Tapi kau? Kau menembusnya, memasukinya, jadi mulai sekarang berhenti untuk meragukan dirimu, meragukan akal sehatmu."
Setelah jeda yang mencekam, Shansa mengangkat wajahnya lalu untuk pertama kalinya pagi itu—tersenyum. Bukan senyum abadi milik entitas tua yang menyamar, melainkan senyum rapuh seorang gadis tujuh belas tahun yang sedang mencoba menyembunyikan bekas luka dunia. Ia mengangkat kedua alisnya sedikit, lalu mengedikkan bahu dengan gaya sok santai, meski sorot matanya belum sepenuhnya bebas dari kesedihan.
"Jadi... kamu masih mau sarapan atau mau langsung pingsan di lantai karena baru saja membaca isi kepala makhluk purba?" gumam Shansa sambil mencubit pelan lengan Aerlene. Ekspresinya sok polos, seperti bukan seseorang yang baru saja ketahuan menyimpan nama zaman purbakala di balik wajah remaja tujuh belas tahun.
Aerlene memelototinya, masih setengah gemetar tapi kini lebih karena kaget bercampur geli.
"Oke," katanya, mengangkat alis. "Aku tahu ini benar-benar klise, tapi serius... berapa umurmu? Maksudku, kau paham kan? Tolong jangan bilang seribu tujuh ratus atau semacamnya. Aku belum siap punya sahabat yang seangkatan sama mumi Mesir."
"Lupa ya, kalau orang bilang, jangan pernah tanya umur seorang wanita?"
"Tapi kan, kamu bukan wanita biasa? Shan." Aerlene mendengus
"Kau mau mengungkitnya terus sampai ke ujung dunia?" sahut Shansa tertawa geli.
"Yah, menurutmu?"
"Hmm bagaimana ya? selain aku tidak pernah begitu peduli untuk memikirkan apalagi menghitungnya dan baru kau satu-satunya bertanya tentang hal itu setelah beratus-ratus tahun lamanya, aku hanya mendapat informasi kalau aku tercipta dari pendaran cahaya bijih perak pertama yang ditemukan di Anatolia sekitar 3000 tahun sebelum era umum, mungkin kau bisa tahu berapa kira-kira usiaku atas dasar informasi itu."
Aerlene terperanjat dari tempat dia berdiri, dan buru-buru mendekat ke arah Shansa.
"WOW!!! Sialan!?" Aerlene memandang sahabatnya seolah baru sadar dia duduk berdampingan dengan fosil hidup. "Jadi selama ini kamu tuh seriusan sudah hidup lebih dari lima ribu tahun?!"
Ia mencondongkan badan, air wajahnya langsung menyala—bersemangat. "Pantas aja nilai sejarahmu selalu sempurna! Kamu benar-benar tinggal bilang, 'Oh iya, aku inget tuh, aku duduk di barisan kedua waktu piramida dibangun. Gila, curang banget!"
Shansa tergelak pelan, dan Aerlene langsung menunjuknya. "Tunggu... jangan-jangan kamu juga kenal langsung sama Cleopatra? Atau... kamu yang ngasih ide buat roda?" Ia memelotot, lalu menutup mulut sendiri. "Oke, aku harus duduk. Ini terlalu banyak untuk diterima otakku."
"Perlu kau garis bawahi, untuk ukuran Para Pengawas, aku termasuk generasi muda dan untuk pelajaran sejarah, maaf saja, aku juga belajar kok, kenyataannya walau telah berkelana selama itu, tidak serta merta aku selalu tahu segalanya, lalu terlibat mengurusi masalah seabrek yang terjadi setiap zaman, kalau kau tahu kerjaan mengawasi itu bukan saja pekerjaan sulit, namun juga sangat menyita waktu, maka tidak banyak waktu untuk menjadi ensiklopedia hidup berjalan," tukas Shansa, dengus napasnya terdengar di telinga Aerlene.
"Haha" Aerlene tertawa girang "Padahal, aku sudah membayangkan kau berkemampuan ratusan kali lebih baik dari si tua Herodotus itu." goda Aerlene.
"Ah, Terserah kau sajalah, kawan" Shansa memutar bola matanya.
"Lalu, bagaimana dengan nama aslimu? Neirin bukan?! Kau, para pengawas mendapatkan namanya dari mana? Setahuku kalian kan tidak mungkin terlahir seperti manusia yang diberikan nama dari orang tua atau walinya," tanya Aerlene bersemangat.
"Diberikan, oleh 'Yang Tertinggi," tukas Shansa, "biasanya tidak jauh-jauh dari asal mula penciptaan si Pengawas tersebut, atau sifat yang kelak akan dianugerahkan pada mereka," lanjutnya dengan nada sedikit tertahan, menyebut 'Yang Tertinggi' dari bibirnya selalu sukses membuat tenggorokannya tercekat.
"Jadi nama Neirin itu, apa ada maknanya? Lalu siapa sebenarnya yang kau maksud, 'Yang Tertinggi' kawan? Apa dia semacam pimpinan Para Pengawas, Mentor, atau sesuatu yang lain?" Aerlene terus-menerus mencecar Shansa. Dia tidak tahu apakah dirinya akan bisa berhenti bertanya dalam waktu dekat. Rasa ingin tahu mencakar-cakar hati dan pikirannya dari dalam seperti kucing hitam yang mengasah kukunya di sofa kulit.
"Nama Neirin, berarti 'Dia yang dikelilingi oleh cahaya', Yang Tertinggi, memberikan nama itu karena aku diciptakan dari pantulan cahaya fajar yang menyentuh bijih perak pertama—sebelum disentuh tangan manusia."
"Shansa menghela napas panjang sejenak, kerongkongannya terasa agak tercekat, sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Jadi bagaimana Pengawas sepertiku mendapatkan namanya, mungkin kau juga sudah paham Lene, kalau bangsaku tidak lahir dari perpaduan dua jiwa yang bersatu seperti manusia, kami lahir dari pintalan-pintalan cahaya yang disulam sedemikian rupa dari beberapa peristiwa penting sejarah penciptaan di seluruh semesta, berberapa dari kami primodial, lebih tua dari bumi itu sendiri, dan sebagian lainnya, dipintal dari peristiwa penting di setiap aliran waktu yang mengalun."
Shansa duduk bersila, punggung kurusnya tegak seperti patung. Di depannya terhampar perkamen kuno yang rapuh dan keemasan di tepinya, termakan usia. Saat jari-jari pucatnya menyentuh permukaan, benang-benang keperakan mulai mengalir keluar dari naskah itu. Tipis dan hidup, benang-benang itu menari di udara bagai embun beku yang ditiup angin malam, melayang membentuk sulur-sulur samar, seolah menggambar takdir yang tak tertulis.
Benang itu melayang di udara, berpilin sendiri, menyulam bayangan menjadi bentuk. Tak bersuara, namun kisahnya menggema dalam jiwa Aerlene seperti suara masa lalu yang tidak pernah lupa caranya bernafas. Kilatan mata coklat-kehijauan Aerlene menari-nari mengikuti tarian benang perak itu. Iya benar-benar takjub, sedikit takut, namun dia tak bisa berhenti melihat pintalan cahaya keperakan yang melayang seringan gelembung udara di kamar sempit ini.
"Inilah kisah para Thamûrim..."
Bisik Shansa. Suaranya tidak terdengar dari mulutnya, tapi dari dalam dada yang bergemuruh.
Benang pertama menyala samar, dan menjelma sosok tinggi bersayap yang yang terbentang dari ufuk timur hingga ke-ufuk barat, melingkupi sebuah pintalan berbentuk kebulatan yang mirip dengan perwujudan bumi, wajahnya bersinar tanpa bentuk, hanya cahaya.