╔═════ஓ๑♡๑ஓ═════╗
Mereka akhirnya meninggalkan kamar sempit di lantai paling atas apartemen tua yang nyaris runtuh di pinggiran kota Servershire. Tempat persembunyian sementara sejak dua malam terakhir. Dinding yang mengelupas dan lantai kayu yang berderit menyimpan jejak-jejak waktu dan ketakutan yang baru.
"Shansa, apa ini memang satu-satunya cara?" Aerlene membentangkan pandangannya pada hamparan langit biru pucat, dan gedung bangunan kota Servershire, serta jalannya yang mulai ramai dengan lalu lalang manusia, maupun kendaraan.
"Ada sih, dengan kita berjalan di bawah sana, menyapa tiap orang di kota, dan hei kejutan!!! Para Pengumpul akan menemukan kita, dan mungkin menawari untuk mampir sarapan juga minum kopi." Shansa tertawa sarkas.
"Oke, oke, angkat tangan deh kalau ketemu mereka, sekarang pun masih nggak bisa tidur kalau kebayang-bayang muka makhluk itu lagi, lantas bagaimana?, " sahut Aerlene dengan pundak yang terangkat.
"Aku akan mengutip satu pepatah: 'Banyak jalan menuju Roma.'" Shansa tertawa pelan, ada kilatan cahaya di mata abu-abu terangnya. "Jadi... apa yang kau pikirkan kalau mendengar kata terbang, Lene?" Shansa mengikat kuncir rambut perak panjangnya, hingga ujung rambutnya jatuh lemas ke belakang tengkuknya.
"Hmm... Cuma ingat bandara yang letaknya jauh di kota sebelah, yang benar saja Shan, jangan bilang diam-diam kau punya jet pribadi, kawan?" Nada girang mengalun dari jawaban Aerlene.
"Apa? Jet Pribadi?! Kau pikir kita karakter novel roman picisan dimana CEO tajir melintir membuntuti gadis polos? tidak, ini lebih baik, kau pastinya suka film superhero di waktu liburan sekolah, bukan? Nah kita terbang hanya dengan tubuh kita, minus pakaian ketat dari spandex, jubah berkibar, dan pakaian dalam yang dipakai di luar pastinya," jawab Shansa tercengir.
Shansa merogoh sesuatu dari tas selempangnya dan mengeluarkan sebuah kotak berbahan argentum dengan ukiran timbul berupa simbol segitiga dengan garis horizontal yang melintang mendekati seperempat bagian puncaknya, lalu menyerahkan kotak tersebut pada tangan kiri Aerlene.
"Apa yang harus kulakukan dengan benda ini?" Mata Aerlene bergantian menatap kotak tersebut, lalu wajah Shansa, mencari jawaban.
"Oleskan balsam yang terdapat di dalam kotak tersebut pada kedua telapak kakimu." Shansa memiringkan kepalanya. "Oh iya, tipis-tipis saja, soalnya susah untuk mendapatkan yang asli zaman sekarang."
Aerlene membuka kotak perak itu. Di dalamnya ada balsam kuning pucat, seperti susu bercampur madu. Aromanya langsung menusuk penciumannya, wangi tua dan dalam, seperti buku lusuh dalam peti kayu yang tak pernah dibuka, bercampur jejak dupa kuno dan angin malam dari reruntuhan biara yang terlupakan.
"Apa ini benar-benar flying ointment dalam arti sesungguhnya, wah jadi hal-hal ajaib seperti ini memang benar-benar ada ya, ternyata terlalu banyak yang luput dari pengetahuan manusia." Aerlene menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan luput, cuma kan manusia kadang terlalu serius berkutat pada batasan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dipahaminya." Senyum tersungging di sudut kanan bibir Shansa.
"Tubuhmu sudah agak membaik bukan, tak lama selang waktu kau sadarkan diri dari koma, pendengaranmu tidak hanya berfungsi normal, lebih baik lagi, kau bahkan bisa mendengar isi pikiran, jadi mungkin sudah saatnya kamu terbiasa dengan hal-hal yang tidak biasa, Lene."
"Nah...Ayo sekarang pegang erat tanganku!" Shansa menjulurkan pergelangan tangannya pada Aerlene sempat was-was, sebelum akhirnya disambutnya dengan genggaman yang mantap.
"Oh Tuhan! Ya Ampun!" seru Aerlene, kakinya melesat meninggalkan lantai semen. Shansa menariknya melayang di angkasa, dan anehnya, tubuh Aerlene kini terasa seringan kapas. Gelungan angin menyelimuti telapak kakinya bagai sepatu tembus pandang. Meski sedikit perih saat angin pertama kali menerpa matanya, hal itu tak mengurangi ketakjubannya melihat kota Severshire.
Tawa Aerlene pecah di antara angin yang berlari, lepas dan jujur seperti anak kecil yang baru tahu rasanya meluncur di atas dunia. Untuk pertama kalinya sejak ia terbangun dari koma, rasa sakit, ketakutan, dan sunyi yang selama ini membungkusnya seakan terurai oleh cakrawala yang membentang.
Tubuh Aerlene melayang ringan, seolah jiwanya bebas dari beban. Angin membelai pipi dan rambutnya, sementara mata hazelnya memantulkan birunya langit, seakan menyambutnya dalam rahasia tersembunyi. Di tengah cakrawala luas dan tenang, ia merasa hidup. Bukan lagi sebagai seseorang yang disembunyikan atau dilindungi, melainkan bagian dari sesuatu yang lebih besar dan ajaib—seperti mimpi yang tak ingin ia akhiri.
"Aaaaaa!!! Astaga, Shansa! Ini... ini beneran terjadi?! Kita terbang? KITA TERBANG?!! Benar-benar gila, tak bisa dipercaya!" Aerlene tertawa kecil cekikian, matanya membelalak semangat.
"Lihat tuh senyummu sampai kupikir kau bakal meledak jadi kembang api saking girangnya." Shansa tertawa termengkekeh melihat reaksi Aerlene.
"Aku merasa kayak pahlawan super! Tapi minus kostum keren dan sound effect dramatis."
"Kalau kau mau, nanti kita cari jubah. Tapi tolong jangan pakai celana dalam di luar, ya."
"Yah apa serunya tanpa pakaian dalam di luar, Mungkin aku pilih yang ada glitter-nya biar berkelap-kelip meriah kayak karakter peri sihir yang cantik"
"Ya ampun, Lene... kau betul-betul terbang dan urat malumu langsung putus."
"Oke, superhero. Sekarang tahan napas sebentar. Kita belok ke kiri, jangan sampai menabrak burung camar" Ujar Shansa memperingati.
"Aye aye captain..." sahut Aerlene sembari berlagak memberi hormat ala bajak laut.
Kota Severshire terhampar dengan arsitektur abad pertengahan yang mencolok. Bangunan bergaya Tudor didominasi hitam putih, dengan atap gelap dan dinding bata putih berhias ukiran kayu hitam rumit, tersebar di seluruh penjuru kota. Bangunan-bangunan publik seperti katedral, kapel, rumah sakit, perpustakaan, universitas, dan balai kota bergaya Neo-Gothic, menghadirkan nuansa kota Eropa awal abad ke-19.
"Apa kau yang membuat balsam terbang ajaib itu, Shan?" suara Aerlene memekik di tengah hembusan angin yang menerpa wajahnya, memecah keheningan.
"Iya, resep itu dari seorang kawan lama—penyihir sekaligus novelis dan okultis bernama Violet. Kau mungkin mengenalnya dengan nama lain dalam sejarah. Wanita cerdas, berpendidikan, kami terpisah saat dia mengambil kuliah psikologi di awal abad ke-20. Walapun begitu kami tetap berkirim surat. Terakhir aku bertemu dengannya, dia sudah sukses memimpin grup spiritual. Sayangnya, dia wafat karena leukemia tak lama setelah Perang Dunia II berakhir." Shansa memejamkan mata, membiarkan hangat mentari pagi menyentuh wajahnya.
Itu sekitar 100 tahun lalu, kan?" gumam Aerlene, membiarkan tubuhnya terombang-ambing di udara. "Masih aneh membayangkanmu bukan Shansa yang kukenal sekarang. Khusus penyihir... entah kenapa aku enggak heran kalau mereka ada, meskipun aku tak bisa membayangkan kekuatan sihir sesungguhnya."
"Saat aku menonton film tentang mereka, kadang suka berkhayal pingin jadi salah satunya. Oh, fashion mereka bener-bener keren deh buat zaman sekarang. Apa itu namanya, gaya whimsical? Sayang aku nggak yakin cocok buatku."
Emang kau bisa kuat menghapal mantranya, menggambar sigil-sigilnya, dan meracik ramuan dengan kadar yang tepat" ejeknya ringan. "Sedangkan menghapal rumus kimia dan hitungan matematika saja saja kau sering sakit perut."
Aerlene meringis. "Yah... siapa tahu sihir lebih soal rasa daripada logika. Mungkin... aku cuma perlu percaya. Lagian, aku bisa belajar kok! Asal gurunya tepat."
"Gurunya harus sangat sabar." Shansa melipat lengannya di depan perutnya, terbang menyamping menghampiri Aerlene. Sudut mulutnya terangkat geli. "Dan tahan banting."
"Kalau memang pingin coba jadi Penyihir sekaligus pahlawan super. Ayo sekarang coba lepaskan tanganmu sekarang, haha!" Aerlene sedikit terperanjat mendengar seruan mandadak itu.
"Kau yakin bakal aman?." Tanya Aerlene dengan serius.
"Kalau jatuh, pasti juga ke bawah 'kan Lene?! nggak mungkin ke atas."
"Nyesal, aku nanya." Aerlene memutar bola matanya.
"Sudahlah, ayo percaya saja rumus alkimia balsam terbang yang bau itu."
Dengan gemetar tapi penuh tekad, Aerlene perlahan melepaskan tangannya dari lengan Shansa. Tubuhnya melayang bebas, hanya ditopang oleh semacam arus halus yang terasa seperti jaring-jaring udara tipis namun hangat, seolah ada energi tak kasat mata yang menyangga punggungnya.
Suara angin mengalun pelan, membelai mereka seperti bisikan lembut dari langit. Di bawah, dunia tampak kecil dan jauh. Di atas, hanya ada mereka berdua dan langit tak bertepi.
Dia membiarkan dirinya sedikit terbalik, seolah berenang di langit, lalu menatap Shansa dengan mata setengah tertutup. "Kau tahu, terbang begini bikin aku mikir... kalau dunia di bawah itu cuma salah satu panggung kecil. Dan semua yang aku pikir penting, nilai ujian, uang saku, penyanyi idola tampan, gosip, bahkan rasa takut—kelihatan kecil dari sini."
Melihat sendiri kota Severshire dari ketinggian 1000 kaki membuat semuanya tampak terasa seperti miniatur rumah, dan gedung hotel di atas papan permainan monopoli, namun ternyata tidak ada pemandangan yang lebih membuat Aerlene takjub setengah mati, dari apa yang kini terdapat di atas kepalanya.
Sepasang sayap membentang lebar di atas kepala Aerlene. Muncul secara tiba-tiba layaknya cahaya sorot yang ditembakkan ke langit dari pangkal punggungnya. Bulu-bulu di sayap tersebut bewarna putih keperakan, dan hampir terlihat semi transparan seperti kaca berembun di musim salju. Bersama sinar matahari yang jatuh, memantulkan bias kuning keperakan di sekitarnya.
Aerlene merasa tidak percaya bahwa Shansa yang selama ini menjadi teman sebangku yang selalu dia anggap sebagai gadis cantik, dan sedikit aneh, ternyata bukan benar-benar manusia. Apa pengawas lain, juga seperti Shansa?. Memiliki tampilan serupa lukisan malaikat era renaisans semua, hidup dan membaur di antara para manusia, pikir Aerlene.
"Jangan melongo, nanti mulutmu kemasukan serangga!" ejek Shansa, menghentikan tatapan temannya yang terpaku seperti melihat meteor jatuh.
"Kamu lebih menakjubkan dari meteor kok," sahut Aerlene.
"Menyeramkan..." Shansa tertawa, dia lupa kalau kemampuan Aerlene kini membuat isi pikirannya terkuak seperti kaca jendela yang tembus pandang.
Aerlene terdiam sejenak. Angin menyapu pipinya, membawanya sedikit lebih dekat ke arah Shansa.
Shansa menoleh pelan. Tatapan matanya dalam, seperti langit yang menyimpan rahasia bintang yang belum jatuh.
"Jadi Shan, Reliquia Vesperae ini sebenarnya benda apa?" Aerlene bertanya dengan nada penasaran, rambut-rambut madu akasia-nya beterbangan di sekitar garis tepi wajahnya, sesekali iya menyampirkan helaian rambut-rambut itu kesamping telinganya.
"Reliquia Vesperae, atau Relik Senja Terakhir, bukanlah benda mistis biasa," jelas Shansa. "Itu adalah perwujudan kehendak Penjaga Tertua, paku-paku nasib yang terbuat dari sisa waktu dari dunia sebelum dunia. Setiap relik adalah pecahan takdir, serpihan malam yang penuh kemungkinan tak terbatas."
"Apakah benar-benar tidak ada jalan lain untuk kita Shan?" Aerlene tidak bisa menyembunyikan, sedikit nada cemas yang tiba-tiba menggigit lidahnya.