╔═════ஓ๑♡๑ஓ═════╗
Kabut belum benar-benar mengangkat saat gerbang besi tua itu berderit terbuka. Rantai yang mengikatnya terlepas dengan suara menggaruk seperti kuku pada tulang. Halaman bangunan Eirenhust menyambut mereka dengan diam yang berat seakan sedang mengintip penasaran.
Pohon-pohon tua di halaman depan bergerak perlahan, seperti mendengarkan. Jendela-jendela kaca patri memantulkan cahaya dingin pagi hari, menciptakan pola warna yang menari pelan di antara bayangan. Ada rasa seperti waktu terperangkap di tempat ini, seperti bangunan-bangunan di dalamnya belum benar-benar sadar bahwa dunia telah berubah.
Aerlene mencubit lengan bajunya sendiri. "Shansa," katanya akhirnya, dengan nada pelan tapi penuh tekanan, "kau tahu nggak, hal semacam ini biasanya cuma ada di serial investigasi horror misteri, seri film dari layanan tv kabel, dengan latar musim gugur."
Shansa mengangguk, tenang. "Ya. Bagus, kan?"
Aerlene menoleh padanya tajam. "Bagus sih?! Tapi tetap saja, ini rumah sakit jiwa! Rumah sakit. JIWA. Yang punya gerbang dengan rantai. Teka-teki absurd, dengan dokter yang omongannya macam Salvador Dalí kalau jadi psikiater alih-alih jadi pelukis, jujur saja, ini pertama kalinya aku mampir ke rumah sakit jiwa, tapi aku nggak bayangin, kalau bakal seaneh ini."
"Selalu ada pertama kali untuk segalanya kawan. Mengenai aneh, tenang saja, bisa dipastikan Eirenhust yang paling aneh, jadi kau tak perlu trauma kalau mau coba pengalaman mampir ke rumah sakit jiwa lainnya, bakal terasa semudah membalikkan telapak tangan."
Shansa mengangkat bahu seperti baru saja diajak masuk minimarket.
"Lebih aman dari apartemen atau rumah kontrakan biasa. Di sini, yang menakutkan cuma pasien-pasien dan kenangan. Kalau di luar, selain dengan para Para Pengumpul yang menyamar, kita berurusan dengan pajak dan tetangga sok ramah yang ternyata agen bisnis berantai."
Aerlene melotot." Siapa sih remaja normal yang bilang rumah aslinya, rumah sakit jiwa"
"Tapi kau tahu 'kan? Aku bukan remaja biasa, hanya terlalu lama dikira remaja." Shansa mengangkat tangannya untuk berbicara dangan cara berbisik pada Aerlene. Dia lalu melanjutkan. "Yah, aku menyebutnya tempat tinggal spiritual dalam masa transisi eksistensial, Tapi... Ya, ini benar-benar rumahku."
Aerlene mengerang kecil, "aku mengenalmu lebih dari dua tahun, Shansa, dan tidak sekali pun kau memberi kode, rumah aslimu terlihat seperti pusat terapi eksistensial Nosferatu."
Shansa terkekeh. "Kalau aku mendadak cerita begitu di hari pertama, kau pasti sudah menarikku ke bimbingan konseling."
Mereka akhirnya sampai di anak tangga pertama bangunan utama. Dua patung batu berdiri tegak di kedua sisi tangga, berbentuk malaikat wanita berambut panjang bergelombang. Keduanya tampak memegang obor cahaya di tangan.
Saat mereka naik, terlihat pintu ganda besar yang terbuat dari kayu oak gelap dan besi tempa, yang dikombinasikan dengan kaca patri dipuncaknya, kaca patri yang terdiri dari tiga susunan gambar berbeda. Pola burung Phoenix yang berada di paling atas, dan bunga lili juga bukit dengan matahari terbit masing-masing satu dikanan dan kiri bawah... Lalu pintu itu terbuka dari dalam.
Sosok Dokter Octavianus Murnau mengintip keluar dari balik pintu kayu tersebut, membawa senyum mengembang di wajahnya.
Sementara itu, di balik bahunya, tampak sekilas dunia Eirenhust yang bergerak seperti adegan circus aneh.
Seorang pria tua sedang mengejar kursi roda yang melaju sendiri menuruni lorong. Di ujung lain, seorang wanita muda dengan tatapan kosong sedang berbicara pada bayangannya sendiri di dinding sebelum tiba-tiba menciumnya, seperti orang kasmaran. Di antaranya beberapa perawat sibuk mencatat sesuatu di papan tulis besar bertuliskan:
"Jadwal Terapi Harian, Distribusi Obat, & Sesi Menghindari Halusinasi Kolektif."
Seseorang tertawa terbahak-bahak dari lantai bawah. Atau mungkin menangis. Sulit dibedakan. Dari kejauhan, suara dentingan lonceng terdengar, entah dari jam dinding atau perawat rumah sakit jiwa yang menjatuhkan nampan besi. Di lorong di belakangnya, sesosok perawat tua melintas sambil mendorong troli obat yang berdecit. Lalu matanya teralihkan dengan cepat pada kucing hitam besar yang duduk tenang di atas meja resepsionis, dengan mata kuning-keemasan, serta ekor yang bergoyang perlahan seperti pendulum waktu dengan ukiran nama 'Poe' di atas bandul emas kalungnya.
"Ini..." bisiknya lirih, lalu menoleh pada Shansa dengan pandangan yang separuh takjub, separuh ingin tertawa.
Aerlene hanya bisa membatin... sambil bergumam,
"Satu minggu tinggal di sini, dan aku yakin lebih layak jadi pasien daripada tamu."
Aerlene sadar iya perlu menonaktifkan dulu mode membaca isi pikirannya, kalau tidak ingin kepalanya kelebihan muatan dengan cuapan orang gila.
"Di sinilah," sela Dokter Murnau, "para jiwa beristirahat, para kenangan bersenandung, dan kadang... Lemari obat menghilang sendiri karena kami terlalu malas menyortir label. Tapi jangan khawatir, kami punya sistem, kalau kau merasa mulai melihat bayangan berbicara padamu segera lapor ke resepsionis."
Dokter Octavianus Murnau mengenakan jas laboratorium putih gading bersulam perak halus dengan pola geometris di tepian, terdapat lencana brokat kecil berbentuk sigil unik di kerahnya, modelnya persis seperti yang terlihat di interkom. Dasi sutra biru tuanya dikencangkan rapi namun sedikit longgar. Sepatunya mengilap, dan rambutnya yang sebagian besar memutih dengan beberapa sisa kehitaman disisir rapi ke belakang. Tampak janggut tipis beruban membingkai rahangnya.
Usianya memang sudah menginjak 60 tahun lebih, tapi ia membawa waktu di pundaknya seperti mantel tua yang tetap anggun, tidak memberatkannya, justru memberinya wibawa yang tidak bisa dibeli atau dipalsukan. Tingginya sekitar enam kaki, dengan postur tegap yang masih menyimpan jejak masa muda seorang perwira atau mungkin aktor panggung. Bahunya lebar, langkahnya santai. seperti seseorang yang sudah terlalu akrab dengan bisikan lorong kosong dan detak jarum jam di tengah malam.
ia membungkuk ringan, lalu melangkah maju. Tangan kirinya bergerak anggun ke arah Shansa, bukan untuk berjabat tangan biasa, tapi menyelami gadis itu dalam pelukan singkat yang lebih mirip salam antara sepasang teman lama yang kembali dari perjalanan panjang.
Ia menarik diri, menatap wajah Shansa seperti sedang menilai sebuah lukisan lampau yang kembali dipamerkan setelah restorasi bertahun-tahun.
"Shansa, bangunan ini sedikit gelisah saat kau pergi. Dinding-dindingnya berbisik... Atau mungkin itu cuma aku yang merindukanmu," tambahnya, separuh menggoda, separuh sungguh-sungguh sulit dibedakan.
"Aaah... Dan lihat siapa orang baru yang mengunjungi Eirenhust kali ini, Nona Aerlene Ray," katanya, suaranya berubah menjadi lebih dalam dan lembut.
Dokter Murnau menawarkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Aerlene, yang langsung dibalas Aerlene tanpa ragu. Aroma samar rempah pada parfumnya, tercium ketika ia mendekat, campuran cendana tua, tembakau ringan, dan entah apa lagi, sesuatu yang mengingatkan Aerlene pada perpustakaan tua.
Jari-jarinya dingin namun lembut saat menyentuh punggung tangan Aerlene. Ia tidak buru-buru melepaskannya. Tatapannya menelusuri wajah Aerlene sejenak, tidak menghakimi, tidak terlalu akrab, tapi seolah mencatat sesuatu dalam pikirannya yang tak bisa kau lihat. Lalu ia tersenyum lagi, sedikit miring, seperti pria tua yang baru saja menyusun ulang teka-teki dalam kepalanya. Mata biru terangnya menyipit, dan alis kirinya terangkat setengah jengkal ke atas.
"Hmm..." gumamnya dalam-dalam.
"Tanda-tanda kelelahan mental... Kurang tidur dua malam terakhir, barangkali insomnia, tidur dengan mimpi yang tidak selesai. Oh, dan ada sisa ketegangan di rahangmu... Kau sepertinya lagi sering beban menahan pikiran yang menolak untuk diungkapkan, terutama melalui percakapan."
Ia melepaskan tangan Aerlene perlahan, lalu menunjuk pelipisnya sendiri dengan satu jari, seolah menunjukkan sebuah kode rahasia.
"Mata kirimu sedikit lebih sayu dari mata kanan. Itu bisa jadi bawaaan lahir, tapi jika tidak, itu bisa dikaitkan dengan kelelahan fisik, maupun emosional seperti stres, cemas, atau depresi."
Aerlene hanya bisa berkedip tidak percaya. Shansa menahan dirinya untuk tidak ikut berkomentar.
"Tak seperti pasien kami yang biasa, tidak ada tatapan kosong, tidak ada gemetar di tangan... Tapi ada sesuatu yang tidak pas." Ia mendekat sedikit, membungkuk ringan, lalu berbisik nyaris tak terdengar.
"Kesimpulan sementara? Gadis cerdas, tapi terlalu rajin menanggung dunia sendirian. Kategori? Observan. Rentan terhadap puisi, lagu lawas, dan hal-hal yang bernilai melankolis."
"Tenang saja. Untungnya kami menyukai ketidak-normalan yang terpelihara dengan baik."
Aerlene membeku sejenak, antara geli dan terkesima. Shansa masih berusaha untuk mehahan geli tawanya untuk tidak terpeleset keluar.
"Terima kasih telah memberikan terapi kejut pada temanku, Doktor Murnau," goda Shansa.
"Baiklah, aku tak terlalu paham kenapa kalian berkunjung mendadak tanpa membawa banyak barang, tapi tidak masalah," ujar Dokter Murnau. "Kita bisa minta staf menyiapkan stok pakaian tak terpakai kami yang cukup banyak, dan kamar-kamar memang sudah siap. Shansa, kamarmu di koridor sayap kanan bangunan, pojok lorong 3A, seperti biasa, selalu kuperhatikan agar siap kapan pun kau kembali. Dan khusus untuk Aerlene, mari! Akan kuantar secara pribadi ke kamar yang kujanjikan dari teka-teki singkat kita tadi."
Lalu dengan isyarat jari yang elegan, Dokter Murnau mempersilakan mereka masuk ke aula utama rumah sakit jiwa Eirenhust, dan seketika dunia luar terasa tertinggal di ambang pintu, seperti mantel basah yang digantung sebelum memasuki dimensi yang lebih... Artistik.
Koridor dalam bagunan Eirenhust luas dan bergema, dengan langit-langit berkubah berhiaskan lukisan tangan yang menggambarkan bintang-bintang dengan ekspresi mengantuk dan bulan sabit yang tampak seperti tersenyum malas. Beberapa lampu kristal menggantung tinggi, menyinari lantai ubin hitam-putih bergaya catur yang sedikit bergelombang, seolah lantainya ikut berdetak bersama denyut penghuninya.
Beberapa staff perawat pura-pura sibuk, tapi jelas mencuri pandang ke arah Aerlene dan Shansa seolah kedatangan mereka membawa cerita dan warna baru ke lorong bangunan Eirenhust. Beberapa pasien justru menatap terang-terangan. Ada yang membungkuk penuh hormat, ada pula yang terkikik sendiri lalu kembali berbicara dengan dinding. Namun sesaat kemudian, semuanya kembali larut dalam dunia masing-masing, seakan mereka hanya menyaksikan bayangan yang lewat dalam mimpi aneh yang tak selesai.
Dindingnya dicat dalam nuansa hijau tua dan merah anggur, dipenuhi rak buku tua berisi catatan medis kuno dan anehnya juga beberapa novel klasik, boneka porselen yang berjajar rapi seperti pasien kecil, serta toples-toples kaca yang entah berisi ramuan herbal atau hanya permen mint untuk para perawat yang terlalu sering begadang.
Bangku-bangku berlapis beludru kecoklatan berjejer di sepanjang Lorong. Beberapa kamar lantai bawah masing-masing ditempeli papan kecil bertuliskan nama pasien tetap, seperti ruang ganti aktor pemain film terkenal.
Meski jelas ini adalah rumah sakit jiwa, Eirenhust lebih mirip hotel tua milik penyair yang terlalu banyak membaca buku surealis dan mungkin sedikit terlalu percaya pada astrologi. Seakan-akan Lewis Carroll sendiri yang mengambil pesanan komisi sebagai desainer interiornya. Tak lama, akhirnya mereka sampai ruang tengah bangunan tersebut.
Terdapat aula yang luas, dengan sebuah tangga bercabang berdiri megah berbentuk seperti huruf "Y". Tangga itu terbuat dari kayu mahoni tua, dengan jam-jam dinding yang berhenti di waktu berbeda, seolah masing-masing anak tangga memiliki zona waktunya sendiri. Tepat di bagian tengah diantara ujung cabang anak tangga tersebut, terdapat patung berukuran manusia berupa pria setengah baya berambut ikal dengan janggut tebal dan wajah tenang yang memancarkan kebijaksanaan. Ia memakai jubah panjang yang menjuntai lembut di satu bahu, dan berdiri sambil memegang tongkat kayu yang dililit oleh seekor ular, Patung itu tak lain adalah Asklepios, dewa pengobatan dalam mitologi Yunani.
Shansa, dengan langkah ringan dan santai seperti tuan putri yang baru saja kembali dari kegiatan berburu, menaiki cabang kiri tangga dengan tenang, tak sekalipun menoleh ke belakang seolah ia tahu ada mata yang mengikuti tapi tak layak untuk diladeni. Dengan gerakan lembut, tangannya terangkat perlahan, seperti menyapa hantu penunggu rumah favoritnya.
"Aku duluan, Lene. Ada hal lain yang perlu kukerjakan sebentar di kamar terlebih dahulu, sampai jumpa pas waktu makan siang."
"Oke Shansa, sampai ketemu nanti." Aerlene melemparkan senyumnya, yang dibalas dengan acungan jari jempol oleh Shansa. Dalam sekajap Shansa, menghilang di balik lorong, meninggalkan hanya siluet hitam bayangannya bersama nada-nada siulan yang singkat yang terdengar semakin menjauh.
Dokter Murnau mempersilakan Aerlene naik ke cabang kanan, berjalan pelan dan tenang dengan tangan terkepal di belakang punggung, seperti profesor yang menyimpan rahasia. Langkah mereka bergema di lorong tua berkarpet merah kusam, dihiasi lukisan yang seolah tahu banyak, dan lampu gantung bergoyang perlahan, seakan ikut mendengarkan.
Mereka melewati seorang pasien yang sedang mengukur suhu lantai dengan penggaris. Murnau berbisik, "Jangan ganggu dia Nona Ray... Katanya dia sedang menyiapkan ritual pengaturan cuaca, terakhir kali dia dibawa ke sesi perawatan cukup intensif, dia coba melempar celana dalam bekas pakainya ke atap untuk mencegah hujan dan membuat staf kelelahan mengejarnya di loteng menara."
Dokter Murnau berjalan di samping Aerlene sambil mengayun-ayunkan kunci kamar di jarinya. "Lorong ini dulu tempat favorit saya," ujarnya dengan nada ringan, "sebelum saya tahu bahwa lukisan di dinding suka... membalas tatapan."
Aerlene menoleh cepat. "Maaf... Apa, Dokter?"
"Ah, maafkan humor dokter tua ini," katanya sambil tersenyum miring. "Kau akan belajar bahwa di semua Rumah Sakit Jiwa, dinding pun bisa punya rahasia. Tapi tenang saja, mereka sudah janji tak bicara di malam hari."
Aerlene mengerutkan kening. "Ini lelucon, teka-teki, apa test kejiwaan tersirat lagi?"