Abdul Aziz adalah nama ayahku. Dia anak laki ketiga dari kakekku bernama Ta'at. Dia dipanggil 'pak-Yang' oleh sepupu-sepupuku. Dia delapan orang bersaudara. Enam laki-laki (Pakwe, Pak-ngah, pak-yang ayahku, pak-lang, pak-lung, pak-pun, bik-we dan bik-apun). Dari delapan bersaudara, hanya ayahku yang pernah ikut lama mengaji di masa kecilnya. Oleh sebab itu, ketika ia menikah dengan ibuku Hadimah (حديمة) dia sudah menjadi guru ngaji di kampung, jadi tengku di Alur Langsat. Sejak aku masih balita, aku melihat banyak sekali abang-abang, kakak-kakak sepupu bahkan ada yang dari kampung sebelah datang setiap sorenya ke rumah kami dan mengaji. Mulai dari Iqra, Juz-'amma dan Al-Quran. Sejak aku umur 5 tahun, hendak masuk SD tahun depannya, aku pun diwajibkannya ikut mengaji dengannya pada tiap sore hingga habis isya. Dialah yang pertama kali mengajarkanku huruf hijaiyah dan huruf abjad. Dari mulutnya lah telingaku pertama kali mendengar ta'awudz dan basmalah. Dialah ayah dan guru pertamaku. Kepalaku sering dia goyang-goyang, telingaku dia jewer dan tanganku dia pukul dengan rotan ketika aku tidak pandai melafadz-kan sesuai dengan ia baca. Tetapi ia tetap sabar, sebab bukan aku murid pertamanya, semua sepupuku, abang-abang dan kakakku yang jumlahnya hampir dua puluh orang saat itu telah pernah ia pukul pakai rotan di telapak tangan. Dan tidak sampai tiga bulan aku pun mulai pandai mengenal huruf hijaiyah dan abjad, meskipun belum lancar membacanya, masih mengeja. Mulai dari kelas satu hingga tamat SD mengaji dengannya, padahal bacaanku sudah Al-Quran dan telah khatam aku bacakan di padanya yang tiap malamnya setor bacaan setengah halaman. Kebiasaan di kampung adalah bila ada yang khatam juz-amma dan naik ke Al-Quran maka akan digelar kenduri dan para wali murid diundang. Begitu pun bagi yang khatam Al-Quran. Karena aku anaknya dia tidak mengadakan kenduri untukku, cukup sekadar khatam saja. Dialah ayah dan guru pertamaku. Ketika aku sudah kelas lima SD, aku pun disuruhnya mengajari yang masih Iqra' dan juz-'amma. Sejak aku kecil hingga kini belum pernah kulihat dia menunda-nunda waktu shalat apalagi meninggalkan shalat.
Sering kulihat dia demam, kelelehan sehabis kerja di gunung dan sawah, tetapi dia selalu tegak mengambil air wudhu dan menunaikan shalat tepat waktu. Dia seorang ayah yang rajin bekerja dan ibadah. Dia juga seorang ayah yang mau bersedekah untuk anak yatim walaupun tidak banyak. Pernah dia menyuruhku memberikan seribu rupiah padaku untuk diberikan pada anak yatim yang juga sahabatku dalam kelas sewaktu SD. Aku pun malu rasanya memberikan seribu rupiah pada shabatku itu, tetapi tetap aku sampaikan amanahnya. Dialah yang mengajarkanku sejak kecil untuk bersedekah, hingga kini aku pun menirunya. Tetapi shalat tepat waktunya itu, belum mampu aku ikuti. Terlalu banyak cobaan. Dua minggu sebelum lebaran idhul fitri, 2019, ayahku merasakan kesedihan yang mendalam, pak-ngah-ku meninggal. Pak-ngah-ku adalah abangnya satu-satunya. Adapun pak-we-ku telah lama meninggal bahkan aku pun belum lahir. Mendengar kabar pak-gah meninggal, aku pun menelepon ayahk. Kusampaikan dukacitaku dan tak lupa kudo'akan dari jauh. Dan dua bulan kemudian atau dua minggu sebelum idhul adha, adiknya yang meninggal. Dia adalah pak-lang-ku. Keduanya meninggal akibat sakit. Aku pun kembali meneleponnya, bukan dengan maksud menyemangatinya, sebab kutahu dia adalah orang yang tabah, dia ikhlas dengan ajal yang telah ditetapkan Allah. Kemudian kira-kira lima bulan setelah itu, bik-apunku yang meninggal. Adik perempuan paling bungsu ayah. Sore ba’da ashar aku mendapat berita itu dari kampung yang disampaikan oleh abbang ayangku, terenyuh dan menangis sendu. Kedekatan bbik-apun pada kami begitu akrab. Jarak rumah beliau ke rumah kami tidak lebih lima belas meter. Malamnya aku menelepon ke kampung dengan video call. Aku bicara pada ayah, kuucapkan belasungkawa. Ayah mengarahkan kamera belakang ke wajah bibik yang telah dibaringkah di ruang tamu rumah bibik. Duka cita yang tidak akan pernah dapat aku lupakan. Delapan dari anak kakekku, hanya ayah dan bik-apun yang menjaga shalat lima waktu. Sudah sering kulihat saudaranya yang lain ia nasihati bahkan kadang di depan kami:
"Kalian sudah tua. Anak sudah banyak dan sudah besar, shalatlah. Jangan menunggu lebih tua lagi, kita tidak tahu kapan ajal kita datang." katanya. Bahkan sangkingkan seringnya, mungkin abang dan adik-adiknya sudah bosan mendengarkan nasihatnya. Aku pun ketika aku menelepon ke kampung, ketika sudah selesai mengobrol dengan ibu kemudian aku mengobrol dengannya. Baru menanyakan kabarnya tiba-tiba adzan dikumandangkan di Darrasah-Kairo dari masjid dekat tempat tinggalku.
"Itu suara adzan, Daud?"
"Ya, Ayah."
"Ya sudah, shalat dulu saja. Nanti telepon lagi setelah shalat. Assalamualaikum." katanya, padahal belum sempat aku jelaskan bahwa di sini masih lama nunggu shalat. 15 sampai 20 menit setelah adzan dikumandangkan
barulah iqamat. Aku mau tidak mau menjawab: waalaikumsalam, kemudian panggilan aku akhiri. Walaupun setelah menelepon itu aku tidak shalat di masjid, aku hanya shalat di rumah, aku tidak turun dari lantai tujuh yang tanpa lift.
Ayahku ingin sekali naik haji, atau paling tidak umrah. Karena mereka belum mampu, belum ada duit, ayah dan ibuku pun masuk suluk. Tiap setahun sekali ia rutin pergi ke Besilam di Medan untuk ikut ritual ibadah suluk. Ayahku adalah seorang petani. Kadang ia di sawah dan lebih seringnya ia di gunung menderus pohon karet yang jika dikerjakan sendirian tidak selesai dalam sehari, tidak sanggup lebih tepatnya. Dari hasilnya menderus karet itulah ia dapat datang tepat waktu ke Darul Amin pada tiap bulannya untuk uang makan, uang spp dan uang sabunku, adapun uang janjan? Tidak pernah dia bilang uang jajan untukku. Ternyata di dalam uang sabunku itulah sudah termasuk uang jajanku yang tidak lebih lima puluh ribu rupiah. Sehingga dari hasil keret itu aku tidak pernah telat bayar uang makan sampai dua bulan, telat sebulan pernah tetapi tidak lebih tiga kali selama enam tahun aku jadi santri. Ayahku selalu berusaha datang di awal bulan. 10 hari ia bekerja menderus pohon karet miliknya di gunung, cukup untuk uang bulananku di pesantren dan biaya hidup ayah, ibu dan adik-adikku di kampung. Kami delapan orang bersaudara. Empat laki-laki dan empat perempuan. Tiga abangku laki-laki, satu kakak perempuan dan tiga adik-adikku perempuan. Aku laki-laki paling bungsu. Semua dari kami, delapan orangnya pernah ia antarkan masuk pesantren. Bangwe, bangah-ku dan kakwe-ku tidak sampai tamat sebab kala itu ayahku tidak mampu. Adapun bang-ayangku, dia cuma tiga tahun di Samalanga Bireun, kemudian tidak balik lagi sebab sudah terlalu enak di kampung. Dan syukur alhamdulillah aku enam tahun di Darul Amin, aku tamat, aku alumni 2013. Ditambah mengabdi setahun, jadinya aku tujuh tahun di Darul Amin. Adikku Diana dan Linda juga tidak lama di pesantren, kurang lebih dua tahun lalu berhenti sebab terlalu sulit jika harus setiap hari pulang-pergi antar dan jemput oleh ayah, sebab ayah juga sibuk bekerja. Dan adikku Rina, perempuan paling bungsu. Dia sekarang di pesantren Darul Huffadz, alhamdulillah dia sudah khatam, hafizah. Dia sudah membanggakan ayah-ibuku, karena dia sering ikut kompetisi dan selalu juara. Bukan soal juara, dia sudah hafal Al-Qur'an saja
ayah dan ibuku sudah senang. Pun aku senang mendengar kabarnya.
Ketika aku menelepon ke kampung, tak jarang juga aku test hafalannya.
"Coba sambungkan ayat berikut ini, Rina." kataku. Dan masyaAllah, dia pun melantunkannnya. Tetapi kadang dia pernah lupa dan di akhir telepon tak luput kubilang, "Banyak-banyak mengulang hafalan, Rina."
"Ya, Bang-apun." sahutnya.
Rina masuk sejak kelas satu SMP hingga tiga aliyah. Kira-kira lima bulan sebelum ujian terakhirnya di pondok, ia minta pindah sebab dia sudah tidak betah walau sehari saja ia menetap. Alasannya banyak tentunya. Kalau sudah tidak betah susah memaksanya harus tinggal walau setengah hari. Kemudian dia pun diantar ibuku ke Aceh, ikut dengan adikku Linda yang sudah hamper setahun. Linda orangnya introvert, Rina ekstrovert, bertemu satu kamar. Belum sebulan ia di sana aku menelepon ke kampung, ibu menceritakan semuanya bahwa mereka berdua asyik ribut mulut.
Kata Rina padaku, kakaknya Linda terlalu banyak memberi aturan terhadapnya. Tidak boleh banyak jajan, rajin mengulang dan sebagainya. Ketika Linda mendapat telepon dari kampung bahwa Rina juga akan diantar ke pesantrennya, Linda langsung bilang tidak setuju.