IYYAAKI HUBBII

Daud Farma
Chapter #36

Buya Imran

Tgk. H. Imran Arif Sya'ban, Lc.

(Pendiri Pesantren Modern Darul Azhar)

"Konsulee, pagi kami me Qal'ah khut, Ummi. Kau nemu khut kan?"

 Akhirnya pesan via WA itu masuk pada pukul 21:27 WK. Kabar yang aku tunggu sejak tadi pagi pukul 07:15 WK. Aku telah mandi dengan air hangat, sudah rapi, sudah menyediakan jaket, sudah sarapan, sudah sisiran, pokoknya tinggal dikabari saja langsung pergi! Lelah menunggu aku pun lanjut dengan rutinitasku. Malu juga aku nanya duluan jadi apa enggak? Soalnya aku sudah ready, harusnya sih aku nanya dulu tadinya sebelum siap-siap, kalau tau tidak jadi mungkin mandinya bisa hari selanjutnya. Wkwkw. Dan kau tahu, Kawan? Pesan itu lewat nomor baru!

Kemudian aku baca lagi pesan di nomor lama, fabana memang akunya yang salah. Ternyata hari berikutnya! Duh-duh, aku mengabaikan kata 'lusa' di sana. Lantas aku pun mengakui kekhilafanku itu seikhlas mungkin dengan bukti bahwa nomor barunya aku simpan: Konsulee Khadafi.

Kenapa aku begitu antusias ingin ikut? Maka catatan lama di bawah ini adalah alasannya.  

Kawan, mungkin kalian sudah tahu bahwa tokoh fiksi dalam buku: Ketika Cinta Bertasbih dan Ayat-Ayat Cinta, Khairul Azam dan Fahri telah menginspirasiku lewat bacaan sehingga ingin kuliah di Al-Azhar Kairo. Namun perlu aku sebutkan juga adalah satu-satunya tokoh nyata yang membuatku kagum, wow dan wah terhadap Al-Azhar Kairo adalah Buya H. Imran Arif Sya'ban, Lc. 

Dulu ketika masih santri kelas empat Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiah (KMI), saat aku izin pergi ke Kota Cane aku melihat sebuah spanduk ataupun baliho berdiri di tepi jalan yang di sana tercetak foto berwibawa beliau memakai peci putih, sorban putih dan jas hitam. Di sana tertulis nama beliau serta keterangan bahwa beliau adalah alumnus Universitas Al-Azhar Kairo. MasyaAllah, bukankah itu adalah nama kampus yang selama ini banyak aku temukan di bacaanku? Sejak itu pulalah semakin inginnya aku kuliah ke Al-Azhar. Karena sosok Azhary yang nyata telah aku lihat ada di daerahku walaupun baru lihat fotonya. 

Jujur, kusangka waktu itu hanya beliaulah satu-satunya orang Kuta Cane yang pernah kuliah di Al-Azhar Kairo. Jika aku urutkan alasan kenapa aku termotivasi ingin kuliah ke Al-Azhar Kairo, maka seperti ini: KCB, AAC 1 kemudian Buya H. Imran Arif Sya'ban, Lc.

Dengan izin Allah, di tahun 2014 aku ikut ujian seleksi ke Al-Azhar Kairo di UIN SU Medan yang ketika itu masih IAIN SU Medan. Aku berdua dengan temanku guru pengabdian dari Gontor Ponorogo. Jam 7 pagi kami sudah tiba di kampus UIN dan mengikuti ujian tulis. Kami menginap di Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah. Malam sebelum ujian kami belajar di gubuk untuk tamu di depan gedung Serba Guna.

Selesai ujian tulis, kami duduk di tanah lapang UIN di atas rumput. Kemudian bergabunglah teman-teman dari Kuta Cane, ternyata mereka dari Pesantren Modern Darul Azhar. Kami pun kenalan-yang akhirnya satu laki-laki dari mereka jadi temanku sekamar, sejendela, sekompor, se-hamam, sekulkas, se-WIFI, se-Squad dan sepintu denganku setelah tiba di Kairo, dia adalah Mustafa Ahmad. Sebenarnya kata 'serumah' sudah cukup lugas. 

Dia adalah teman yang pengalamanku dengannya tidak bisa aku lupakan hingga hari ini yaitu ketika ORMABA 2014. Lokasi ORMBA di Hayu Sadis Salah Kamil.

Perginya diantar senior Bang Munawir, selepas asar beliau pun pulang. Sedangkan kami masih ORMABA sampai bakda Isya. Selesai ORMABA kami dan teman-teman MABA naik bus warna biru ke arah Darrasah. Dua puluh menit kemudian kawan-kawan lainnya mengajak aku dan Mus turun di depan Masyikhah Azhar sebab bus yang kami naiki tidak berhenti di Mahathah. Memanglah Bus itu bukan tujuan Mahathah Darrasah.

"Ayo turun, Ustadz!" ajak salah seorang MABA. Mus dan aku ragu-ragu namun akhirnya kami turun juga. Setelah turun kami melihat teman-teman telah pergi lewat bawah kubri mengarah Mahathah. 

"Edeh, go soh kin kite nde?,"

"Malot kutoh da." 

"Eno mange kite soh nde. Tong ndauh Darrasah ge."

Kulihat Mus mengejar bus yang belum begitu jauh pergi kemudian segera aku susul.

"Istanna, Yastha! Yastha! Yastha!" pekik Mus memanggil-manggil. Tak didengar oleh supir. Bus tetap melaju kencang dan kami ditinggalkan. Kuliat Mus berkeringat, napasnya tersendat-sendat. Kami panik bukan main! Hari telah begitu gelap, kami mahasiswa baru. Mus baru seminggu lebih di Mesir, aku hampir sepekan. Kami pun menyetop angkot yang lewat.

"Darrasah, Yastha?" tanya Mus. 

"Laa' ah!" Kemudian lewat lagi bus tapi warnanya merah, kami pikir bus Delapan Puluh Coret. Begitu kami mau naik,

"Ruh fein yadh?" Mau kemana?

"Darrasah!" kami bilang.

"Aho Darrasah aho!" Tunjuknya ke arah Pom Bensin. Bus itu pun pergi.

Lalu kami setop lagi angkot.

"Darrasah, Yastha?" tanyaku.

"Darrasah?" dia balik tanya menyakinkan maksudku.

"Daah Darrasah!" katanya lalu ia pun pergi. Semua mata penumpang di dalam angkot tertuju pada kami.

"Ulang kite langsung pecaye. Kalak Mesekh no mbue pebual no! Kate Bang Ilham de tong bakhu ni hande ulang langsung pecaye khut kalak Mesekh." jelas Mus. Aku manut. Sudah lebih empat angkot yang kami hambat, semuanya menolak penumpang. Kami pun telah lelah.

Akhirnya lewatlah seorang bapak-bapak dengan pakaian rapi, dia memakai jas hitam dan celana hitam, kemeja putih serta dasi hitam. Dia menenteng tas kantoran yang juga berwarna hitam.

"Kite tanyak me side nde plin lah, biakse side nde kalak baik, jujukh." ujar Mus. Lalu Mus pun bertanya padanya,

"Nahnu nuriidu an nadzhaba ilad-Darrasah, hal shahih hadzal makan Darrasah ya, Duktur?" tanya Mus padanya sembari Mus menunjuk ke arah Pom Bensin.

"Oh huwa dah biz-Zhaff!" jawab bapak itu menyakinkan. Tapi kami belum sepenuhnya percaya. Lalu lewatlah seorang syekh memakai jubah terbelah berwarna hitam, jubah itu tampak tebal, dia memakai peci Azhary. Kami pun menanyakan pertanyaan yang sema.

"Ayyuwa ya, Ibni, entu keda fid-Darrasah!" jawabnya.

"Syukron ya, Syekhna." ucap kami berterimkasih.

"Edeh kadang pe tuhu kin da, kite go soh ni Darrasah?" 

"We kin, Mus, ende kin kadang pe da?" Mus berjalan cepat ke arah Pom Bensin, aku mengikutinya. Langkah kami tergesa-gesa. 

Ketika telah begitu dekat di Pom Bensin,

"Owh we, ende kin Darrasah. Edi kalak jual Kuftah pe di, gati ne aku nukokh ni hadi. Khak ende me gat pas gang me khumah kite." terang Mus dengan ingatannya bahwa ia sudah ingat tempat ia biasa beli makan. Dan kami menertawakan sikap kami yang sungguh bikin 'ngakak' itu. Jujur, saat menuliskan pengalaman ini pun aku sambil tertawa karena feeling-nya belum hilang sampai sekarang!

Kendati begitu, paling tidak kami telah mengamalkan taujihad wa irsyadat dari senior kami: kalau masih baru di sini, jangan mudah percaya dengan orang Mesir. Tak mengapa berlebihan, setidaknya kami sudah hati-hati.

            ***

Kagetlah aku ketika yang aku salami adalah Buya H. Imran Arif Sya'ban, Lc. Sosok yang selama ini hanya aku lihat di spanduk, brosur, baliho, belum pernah jumpa sebelumnya dengan beliau. Percaya tidak percaya yang di depanku adalah beliau. Jujur, aku benar-benar gugup sekali di dekat beliau. Sosok yang berwibawa di baliho itu, ternyata beliau jugalah sangat bersahabat ketika di luar pondok. Tampak betul beliau akrab dengan santri-santrinya, tahu benar beliau membedakan bagaimana bersikap ketika berada di pondok dan di luar pondok. Tidak menyangka beliau ikut mengantarkan santri-santrinya untuk mengikuti ujian. Beliau yang menyetir, mobil pribadi beliau pula. Bukan hanya mengantar tapi beliau juga menemani, dari pagi hingga sore. Setahuku waktu itu hanya beliaulah satu-satunya Buya pondok pesantren yang ikut ke UIN SU Medan. Sempat iri juga pada teman-teman dari Darul Azhar, mereka diantar dan ditemani ayahanda mereka, tapi segera aku hilangkan rasa iri itu ketika aku pun merasa sudah dianggap seperti santri beliau.

Beliau tidak membedakanku dengan santri-santri beliau. Jujur, aku benar-benar baper dengan sikap beliau terhadapku: baik, ramah, berteman dan menyemangati. Beliau adalah orang yang tawaduk, buktinya tadi beliau mau duduk bersila sama tinggi dan bergabung dengan kami di atas rumput, tapi salah seorang dari santri beliau mempersilakan duduk di atas semen yang beralaskan kardus di tempat yang lebih tinggi dari kami tentunya. Hebatnya beliau adalah ikhlas dan sanggup menunggu anak-anak beliau selesai ujian, sekali lagi kukatakan: dari pagi hingga selesai kira-kira 14:30 WIB. MasyaAllah.

Sebelum ujian lisan dimulai, beliau memberi arahan, masukan, dan berbagi pengalaman.

Setelah salat zuhur ujian lisan pun dimulai di lantai dua. Aku duduk bersebelahan dengan beliau di atas bangku panjang yang terbuat dari kayu. Sungguh ini adalah hadiah dari Allah diberi kesempatan duduk bersebelahan dengan ulama. Beliau pun mulai mengajakku mengobrol. Beliau menanyakan aku dari pesantren mana? Tinggal di desa apa? Dan beliau senang sekali saat tahu aku dari Engkran.

"Anak Engkhan Alur Langsat kin, Kau?"

"We, Buya."

"Gedi me mantab, ulang kin pot sip ni Engkhan. Nahan gat mido kawin hamin," kata beliau sembari senyum namun serius. Wah, bukankah itu adalah kata-kata nasihat dan penyemangat? Agar kita menuntut ilmu sejauhnya, jangan hanya diam di kampung. 

"Hehehe gedi me, Buya." sahutku santun, nada pelan.

Hari itu aku pun amat bahagia sekali! Kenapa? Karena bertemu orang yang membuatku 'semakin' ingin kuliah di Al-Azhar. Bertemu sosok seorang Buya yang karismatik, luar biasa! Sampai di Mesir, makin banyak lagi aku tahu tentang beliau dari senior yang juga alumni Darul Azhar. Kata-kata yang masih aku ingat ialah,

"Side saleh, baik kalihen, malot putut sen." -Bang Ilham Sujefri. Rupanya Bang Ilham mencontoh beliau. Kalian tahu, Kawan? Satu tahun aku tinggal serumah dengan Bang Ilham, bisa dibilang kami seisi rumah tak absen makan buah! Hampir tiap hari dan dia sering mmeberi aku duit. Aku akui bahwa Bang Ilham adalah abang yang paling dermawan di rumah kami kala itu.  

Kemudian kabar duka itu pun datang di tahun 2018. Aku sangat terperanjat membaca sebuah pesan singkat bahwa beliau telah berpulang ke sisi-Nya. 

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un." lirihku dengan mata berkaca-kaca saat membaca berita di dalam group WA. Tapi aku belum percaya membaca pesan singkat di group itu, akhirnya aku tanyakan kebenarannya pada alumni beliau yang satu kamar denganku. Ya Allah, ternyata pertemuan 2014 dulu adalah bertemu untuk pertama dan terakhir kalinya dengan beliau.

Sekarang aku pun menyesal kenapa tidak sempat berfoto dengan beliau waktu itu? Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo yang cukup populer di daerahku. Padahal waktu itu hp-ku sudah android. Hp yang aku gunakan untuk mendaftar seleksi ke Al-Azhar Kairo. Melihat pengumuman dan mengirim berkas juga pakai hp. Kameranya lumayan bagus, tidak begitu pecah kalau di-zoom.

Ya Allah, kenapa aku tidak memanfaatkan kamera hp-ku berfoto dengan sosok Buya yang aku kagumi? Aku terlalu yakin 'pasti' akan bertemu dengan beliau lagi di suatu saat nanti, yakinku. Ya Allah, mudah-mudahan pertemuan singkat itu dapat jadi saksi di sisi-Mu bahwa dengan mata kepalaku sendiri, pengalamanku sendiri, aku tahu beliau adalah orang saleh, akhlak yang indah dan takwa. Terimalah amal ibadah beliau ya Allah. Allahumaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu. (al-Fatihah)

Begitulah jika bertemu orang saleh, berilmu dan berakhlak, sebentar atau lama, tetap berkesan. Hanya dari pagi sampai bakda Zuhur bertemu beliau, apalagi jika berguru langsung tentu banyak pelajaran yang didapat. 

Maka sangat beruntunglah para alumni Darul Azhar yang sempat merasakan dididik, diajar dan diayomi langsung oleh beliau. Begitulah orang saleh, melihat fotonya saja dapat menggugah jiwa untuk semangat menuntut ilmu padanya atau di tempat ia menuntut ilmu dulunya.

Hari sudah benar-benar sore. Tidak lama lagi mentari kan tenggelam di ufuk barat. Senja kan memeluk manja seisi bumi. Keindahan kampus UIN kan ditelan gelap, lalu keindahan selanjutnya akan dibantu cahaya lampu. (sebuah pengungkapan yang amatir). 

Mahasiswa UIN SU Medan kebanyakan telah meninggalkan kampus, sebagiannya masih duduk manis di tanah lapang sembari memegang buku dan hp, entah mereka mahasiswa atau peserta seleksi ke Timur Tengah, wallahu 'alam. Begitu aku selesai dan keluar dari ruang ujian lisan, aku telah tidak mendapati teman-teman dari Darul Azhar dan Buya, sudah pulang duluan. 

Aku dan temanku pun meninggalkan kampus UIN Medan. Kami menginap di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Paya Bundung di kamar guru pengabdian dekat masjid. Aku masih terkesan dengan Buya. Kalaupun seandainya santri-santri beliau ujian lisan hingga magrib, beliau akan sampai magrib. Beliau takkan pulang sebelum santri beliau selesai ujian lisan. Semoga kelak ada alumni Darul Azhar yang keikhlasannya seluar biasa beliau. Aamiin.

          ***

Lalu hari Rabu, 8 Januari 2020, atas skenario Allah Subhanahu Wata'ala, aku bertemu dan ikut menemani istri beliau ke Benteng Salahuddin al-Ayubi dan kampus Al-Azhar kuliah banat.

Pagi ini Kairo sembilan derejat celsius. Baju berlapis-lapis dengan jaket yang tebal. Pakai sepatu dan celana jin. Kedua tangan masuk dalam kantong jaket sebab tidak pakai sarung tangan.

Aku dan Konsulee telah tiba sepuluh menit duluan di depan Qal'ah. Tadinya Konsulee dari Giza ke Darrasah, ke rumahku. Dia menunggu di kamarku selama satu jam. Mulai dari mandi, siap-siap dan sarapan. Kemudian Ummi, Sarah, Novita dan Rika pun datang. Mobil mereka berhenti tepat di depan kami.

"Assalamaualaikum, Ummi." ucapku dan Konsulee menyambut skuat Ummi.

"Wa'alaikumsalam, masyaAllah." sahut beliau senyum. 

"Gelakh-ku, (kusebut namaku), Ummi. Khang Alas." ucapku memperkenalkan diri. Sebenarnya aku tidak perlu bilang aku orang Alas, kan sudah pakai bahasa daerah? Ini adalah efek kegugupan saat berkomunikasi dengan orang yang belum pernah aku kenal.

"MasyaAllah, tading dape ni Cane?" 

"Engkhan Alur Langsat, Ummi."

"MasyaAllah, pondokne dape dan pige tahun mondok?"

"Darul Amin, Ummi. Enom tahun tambah pengandien setahun." 

"MasyaAllah, masyaAllah."  

Kemudian perkenalan selanjutnya tentangku disambung oleh temanku Konsulee-yang sebenarnya aku pun malu-malu mendengarnya, tapi karena tidak ada bahan pembicaraan lain, dia bilanglah begini,

"Ini yang pemenang cerpen kemarin, Ummi. Diundang ke Indonesia. Dan dia ini calon abuya Darul Amin insyaAllah," Aku dari samping kanannya menepis-nepis Konsulee. 

"MasyaAllah, masyaAllah." jawab Ummi. Dari awal bicara Ummi senyum-senyum dan sudah lebih tujuh kali bilang: masyaAllah. Luar biasa memang Ummi, tak luput menyebut asma-Nya. 

"InsyaAllah nanti semua bakal membanggakan Kuta Cane, insyaAllah." sambung Konsulee.

"Aaamiin." sahut kami serentak. Entah kapan aku bilang padanya aku calon Buya Darul Amin? Memamnglah dia lagi berlebihan.

"Untuk bahan pembicaraan aja." klarifikasinya.

Kami berenam berjalan menaiki sedikit tanjakan menuju benteng Salahuddin al-Ayubi. Aku dan Konsulee duluan dengan jarak dua meter setengah, kadang lima meter dan kadang setengah meter, mengajak beliau bicara.

Begitu sampai di atas, temanku Konsule pun mulai menjelaskan sejarah demi sejarah. 

"Jadi kan, Ummi, benteng Salahudin al-Ayubi ini mulai dibangun pada tahun 573 H/1176 M, tapi baru selesai setelah sang sultan meninggal yaitu ketika masa penggantinya al-Malik al-Kamil tahun 613 H.," Ummi, Sarah, Novita dan Rika menyimak dengan saksama.  

"Enggak banyak yang tersisa bangunan aslinya sampai hari ini, Ummi. Karena sebab perluasan yang dibangun kemudian. Adapaun sisa kecanggihan benteng ini kelihatam pada Bi'ir Yusuf atau sumur Shalahuddin sebagai sumber air jika dikepung oleh musuh. Kalau kita bayangkan kek mana lah capeknya orang di zamannya menggali sumur di atas gunung batu untuk sampai pada mata air. Apalagi pada masa itu belum ada alat-alat canggih seperti saat ini." terang Konsulee dengan lugas.

Temanku Konsulee memang orang yang handal dalam membawa para pelancong dari asia, terutama Malaysia. Dia sudah mengunjungi semua destinasi wisata di Mesir. Dari ujung ke ujung bahkan ada beberapa tempat yang sudah lebih sepuluh kali ia datangi baik dengan rombongan yang ia bawa atau dalam rangka rihlah oleh mahasiswa. Sebab itulah ia pun membaca berbagai buku sejarah, tak terkecuali buku LONG JOURNEY TO EGYPT karya Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA). Sejarah destinasi ekspedesi tempat-tempat wisata sudah jadi santapan Konsulee.

Kemudian kami membeli tiket untuk masuk ke dalam. Perorangnya 90 L.E atau 77 ribu. Kami lima orang saja yang bayar sedangkan Konsulee tidak bayar karena dia punya kartu resmi yang khusus destinasi tertentu.

Kartu tersebut haruslah diurus dan biaya pengurusannya seharga tiket masuk hari ini. Kartu itu berlaku sepanjang tahun. Seorang Tour Guide yang mukim di Mesir memang bagusnya mengurus itu agar tidak asyik bayar dan bagi siapapun mahasiswa boleh mengurus kartu tersebut. Aku pun pernah diajak tetapi aku tidak mau karena memang bisa dibilang tidak pernah pergi ke mana-mana. Satu tahun terakhir paling jauh ke Zagazig. Empat tahun terakhir paling jauh ke Alexanderia, lima tahun terakhir ke Matruh Siwa. Ummi orangnya murah hati, tiket kami berlima dibayarkan oleh Ummi.

Padahal aku telah menyiapkan 300 L.E untuk hari ini, untuk tiket, naik Uber dan bila singgah makan. Eh taunya tiketnya dibayarkan oleh Ummi, alhamdulillah. Makasih, Ummi! (senyam-senyum deh), btw kata: senyam tidak ada di KBBI V versi luring. 

Setelah melewati pintu masuk dan usai pemeriksaan isi tas, kami berjalan lagi dua menit, lalu foto di mana saja yang kami mau. Sebenarnya ketika di luar tadi pun kami sudah foto bareng. Hari ini yang ikut menemani Ummi jugalah fotografer, dia tahu angle yang bagus. Dia fotokan sekali, dilihatnya belum bagus difotokannya lagi. Dia tidak membolehkan kami pergi kalau belum benar-benar bagus.

"Belum!" katanya. Padahal kami hendak melangkah.

 "Geser ke samping lagi, Bang!" bilangnya dengan tegas pada Konsulee.

"Cekrek! Cekrek! Cekrek! Nah udah!" katanya.. Barulah kami boleh melangkah.

Kami ketawa juga melihat sikapnya, ketawa dan kagum lebih tepatnya. Nama dia Rika. Kami mendatangi semua yang ada di dalam benteng ini.

"Nah sekarang mari kita melihat meriam dan pesawat ketika Mesir lawan Israel dulunya." ajak Konsulee. Kami pun ke sana. Jarak masing-masing lokasinya tidaklah jauh, tapi benteng ini sungguhlah luas sekali! Sampai-sampai Ummi duduk istirahat sejenak. 

Setiap tempat yang kami datangi difoto oleh Rika. Memanglah harus demikian, pokoknya selama di Mesir, Ummi mesti banyak-banyak mengambil kenangan dari berbagai sudut dan seluk-beluk Mesir. 

Kami ditawari berfoto dengan pakaian Mesir, tapi Ummi tidak tertarik, bagusnya sih jangan. Karena kostumnya tidak begitu elok kelihatannya. Harga sekali foto saja pun lumayan mahal. Setelah dari melihat meriam kami keluar dan pesawat tempur Mesir, 

"Nah ini tempat penjaranya, Ummi. Di dalam kamar sempit inilah ditarok delapan orang: di situ tidur, makan, kencing, BAB." jelas Konsulee, tapi Ummi tidak berani lihat, Ummi segera pergi dari sana.

Kami ke tepi, mendekat ke pagar besi setinggi leher. 

"Wah masyaAllah, indahnya!" gumam Ummi. Dari ketinggian ini kita bisa melihat sejauh mata memandang kota Kairo.

Kami terpaksa menjauh dari Ummi, disuruh oleh Rika.

"Ummi malu foto-foto dekat kalian, Bang," kata Rika pelan.

"Hah? Kenapa malu?" heran kami. 

"Enggak tau. Makanya duluan aja kalian, Bang." kata Rika menggurat tawa.

"Okeh." Kami pun pisah dengan jarak kira-kira belasan meter. Sementara Rika memfoto Ummi, aku dan Konsulee bikin video blog atau nge-Vlog.

"Assalamu'alaikum ya Gama'ah, kembali lagi bersama saya Khadafi, saya bersama akhi (dia menyebut namaku). InsyaAllah hari ini kita akan mengelilingi benteng Salahudin al-Ayubi. Mari kita lihat ke sana, di sana ada masjid Muhammad Ali Pasya. Salah satu masjid yang besar. Kalau kita lihat dari arsitekturnya dia seperti ataupun memang mengikuti arsitektur dari Turki, kenapa? Karena yang menyuruh mendrikan ini, Muhammad Ali Pasya sendiri adalah seorang yang datang dari Al-Bania atau yang medekati dengan Turki dan dia masih di bawah naungan Turki Usmani. Oke? Sekian dan kita akan bertemu kembali." paparnya dalam video singkat berdurasi tidak sampai satu menit. 

Tetiba azan zuhur pun berkumandang. Wah Betapa bahagianya mendengar suara azan serentak dari beribu masjid di bawah sana! Tak terkecuali masjid Ali Pasya yang tak jauh dari kami. Ummi, Rika, Konsulee dan aku pun menepi. Aku merekam momen ini. Karena ini adalah pertama kalinya mendegar suara azan dari ketinggian ini! Para pengunjung yang lain juga sibuk mengabadikannya. 

Selesai azan, kami ke bawah menemui Novita dan Sarah. Novita dan Sarah masih di bawah sana, mereka tidak naik kemari dengan alasan: karena mau ke kamar kecil. Tampaknya mereka kelelahan. Padahal pemandangan ini sungguh indah sekali! Sampai di sana kami lihat mereka telah wuduk.

"Dua Pounds perorang." terang Novita. Segera aku keluarkan duitku senilai lima Pounds. Aku dan Konsulee gantian karena di dalam kamar kamar kecil ini tidak ada gantungan. Sehabis wuduk kami salat zuhur di masjid Muhammad Ali Pasya.

 Selesai zuhur kami bikin vlog lagi. Ummi, Sarah, Novita dan Rika masih istirahat di pojokan dalam masjid, mereka keletihan terleih Ummi yang tak ada hentinya sejak awal datang hingga hari ini. Karena memang waktu beliau terbatas. Jadi tidak ada waktu kosong beliau sehari pun. 

"Jumpa lagi dengan saya ya, Gama'ah. Jadi kita udah berada di dalam masjid Ali Pasya. Muhammad Ali Pasya adalah salah satu pemimpin di Mesir. Beliau dijuluki sebagai pemimpin modern Mesir. Beliau berhasil memajukan perekonomian Mesir pada saat itu. Jadi kita akan melihat keindahan masjid yang ada di dalam benteng Salahuddin ini, namanya masjid Muhammad Ali Pasya. Stay tune, ya!?" terang Konsulee. Kami bukanlah vlogger. Kami kemari tak ada niat sedikit pun bikin vlog, tapi karena pisah dari Ummi, kami pun memanfaatkan kesempatan. Ummi, Sarah, Novita dan Rika masih rehat sejenak. 

"Jadi kalau kita lihat, di masjid ini dia menempatkan nama-nama Khalifah yang empat. Khulafa ar-Rasidin. Kita lihat ke atas ada Khalifah Ali, Umar, Abu bakar dan Usman. Jadi itu menandakan kecintaan pembangunnya, yaitu Muhammad Ali Pasya yang memerintahkan pembangunan dari masjid ini. Beliau mencintai Khulafa ar-Rasidin. Oleh karena itu beliau menyelipkan nama-nama para khulafa di kubah masjid ini. Perlu kita ketahui juga bahwa sebenarnya masjid ini juga dinamakan dengan masjid Marmara. Kenapa? Karena kebanyakan masjid ini dibangun dengan batu marmer yang didatangkan langsung dari Turki. Oke itu saja, selamat menyaksikan keindahannya!" lanjut Konsulee menerangkan panjang lebar. Walaupun setelah itu dia tertawa terbahak sendiri, dia malu-malu aku vidiokan.  

Setelah hampir satu jam istirahat. Ummi mengajak makan. Konsulee mengarahkan ke Rumah Makan Nile di Hayu Sabi'. Kami pun keluar dari benteng ini. Namun sebelum keluar kami berfoto lagi sebanyak mungkin, bergaya sana kemari. Rika adalah salah satu orang yang tidak mau difoto, malu-malu ketika difoto bareng, matanya tidak melihat ke kamera. 

"Lihat ke depan, Rika." perintahku, tetap masih malu. Kami tahu dia bukan malu pada kami, dia malu pada publik jika nanti fotonya diunggah ke sosial media, kenapa malu? Karena tidak candid! Karena menjaga diri dari mata-mata publik yang akan mendatangkan penyakit 'ain padanya.

"Lihat lu kedepan, Rik!" kata Ummi, barulah dia mau. Foto bareng pun dia susah sekali difoto, apalagi difotokan sendiri? Entahlah adik kami yang satu itu.

Rika adalah orang yang paling hobi mengambil gambar dibanding minta digambar dengan kamera. Adapun Ummi, Sarah, dan Novita, mereka bertiga bawaannya santai, diam, enggak juga malu-malu, kalau foto ya foto, mereka enggak banyak gaya bahkan gaya mereka jugalah dibantu, ditambahi dan disuruh oleh Rika.

Memanglah Rika fotografernya.

Lihat selengkapnya