Panggil saja aku, Wan. Nama asliku Darmawan. Temanku bernama Dani, nama aslinya Murdani. Kami kelas 3 di pesantren Modern Darul Amin di Lawe Pakam Aceh Tenggara. Setelah malamnya kami berkumpul putra putri di aula guna untuk mendengarkan wejengan dari buya dan para guru lainnya sebelum pulang kampung. Malam setelah perkumpulan usai, seluruh santri semuanya packing, kecuali yang mukim. Pun aku sudah selesai memasukkan pakaian yang akan kupakai di kampungku nantinya, pakaian sholat tak luput kumasukkan, apalagi peci. Peci adalah salah satu simbol santri. Di kampungku, kalau anak pesantren tidak pakai peci saat liburan, dianggap pesantrennya tidak benar! Ataupun mereka hanya berhusnuzhon pada pesantren tapi tidak pada santri yang tidak mau pakai peci, maka tetap dianggap santri yang bandel!
"Wan, besok rencana pulang lewat kota atau Simpang Semadam?" tanya Dani padaku sambilan ia juga packing. Dani satu kamar denganku di Rayon Abu Bakar As-Siddiq. Packing ala santri Darul Amin tidaklah lama, lima belas menit selesai, malah kelamaan lima belas, sepuluh menit pun bisa selesai seharusnya. Sebab 90% santri adalah orang dalam daerah. Rumahnya dekat, tidak pakai koper, cukup ransel saja. Meskipun sebelum berlibur pernah pulang dengan alasan tertentu, tapi moment liburan tetaplah dinantikan dan diinginkan. Sebab dengan kegiatan santri dari bangun tidur membuka mata sampai tidur lagi tak ada wkatu kosong, penuh kegiatan! Lelah sekali!
"Aku mau lewat kota, Dani." jawabku.
"Mau ikut denganku nggak?"
"Kemana?"
"Rumah kakekku."
"Di mana itu?"
"Di kota. Kita tinggal di sana sehari semalam terus kita pulang lewat Mbarung. Gimana?"
Aku tidak segera menyetujui ajakan Dani, lama aku berpikir. Karena belum pernahnya aku berlibur singgah dulu di tempat kawan apalagi di tempat orang. Aku tahu ayahku akan marah! Tapi karena dunia remaja adalah dunia ingin coba-coba, aku pun mengiayakan ajakan Dani.
"Okelah!" sahutku.
Malamnya seluruh santri tidurnya lambat. Sebab di kepala kami hanyalah memikirkan nanti di kampung mau ngapain? Singgah di warnet atau langsung pulang? Disuruh jemput ayah atau tidak? Ke rumah kawan dulu atau langsung pulang? Jalan-jalan di kota? Naik angkot duduk di dalamnya atau di atas atapnya? Nanti kalau jumpa buya di jalan saat buya juga hendak ke kota gimana? Nanti mudir/buya pasti marah? Penuh dengan pertanyaan yang tak penting dijawab. Dan semua santri yang hendak pulang besok paginya membawa tidur pertanyaan tersebut. Aku pun lama menatap asbes asrama itu. Hingga aku tertidur.
Usai subuh berjama'ah, usai baca Al-Qur'an, usai mandi, eh maaf, sebagian tak lagi sempat mandi. Tapi kebanyakan mandi sangkingkan semangat karena berlibur. Usai mandi, lonceng untuk sarapan pun berbunyi. Aku dan Dani juga antre di belakang. Kami kalah cepat dibanding yang lain. Sebab yang lain langsung antre padahal belum mandi pagi. Karena memang mandi pagi tidak diwajibkan di pesantren kami, mandi pagi murni hak asasi rahasia pribadi, tapi yang ngantuk di dalam kelas dicurigai keras tidak mandi.
Selesai makan, barulah santri pun pamitan pada para as-Satidz dan kakak senior. Sampai di gerbang ternyata masih ada antre sekali lagi. Yaitu setoran hafalan ayat pendek dan do'a ziarah kubur. Karena banyak yang antre, aku dan Dani memutuskan balik ke asrama, sampai di asrama ternyata pintunya sudah dikunci. Lemari di dalamnya sudah didempetkan rapi. Kasur sudah ditumpuk, pondok sunyi, sepi, tinggal aku dan Dani. Sahabat seumuran kami telah pergi.
Dua jam kemudian, kami pun mendekat ke gerbang. Jarak asrama putra dengan gerbang lumayan jauh, habis sepuluh menit jalan kaki. Begitu sudah dekat, aku setorkan ayat pendek yang ditentukan dan doa ziarah kubur. Giliranku usai kemudian Dani. Kulihat ia tidak hafal, Dani disuruh pus-up, lalu disuruh menghafal terlebih dahulu. Jadinya aku harus menunggu dia satu jam. Dani hafal setelah satu jam? Tidak! Tapi dia diberi peringatan. Dani tidak bisa ziarah kubur, tapi dia hafal ayat-ayat pendek. Kami pun diberi surat izin pulang.
"Alhamdulillah." katanya bahagia. Aku sudah satu jam yang lalu baca hamdalah. Pondok kami cukuplah ketat soal disiplin, apalagi setelah ustadz-ustadz dari alumni Gontor datang mengajar, terlebih buya kami sudah ganti, asli alumni Gontor. Kurikulumnya pun sudah mengikuti Gontor, dan pesantren kami sudah tercatat sebagai pondok alumni.
Kami menyetop angkot lawe-lawe. Bedanya angkot di daerah kami ialah yang laki-laki boleh duduk di dalamnya atau di atas atapnya. Kenapa dinamakan angkot Lawe-Lawe? Sebab angkotnya melewati desa-desa yang namanya diawali dengan kata "lawe" seperti: Lawe Tawar, Lawe Desky, Lawe Sigala-Gala, Lawe Loning dan Lawe Dua. Aku dan Dani ingin sekali naik di atas atapnya angkot, tapi lagi-lagi kami teringat nasihat buya tadi malam: "nak, besok jangan ada yang naik di atas atapnya angkot. Itu membahayakan diri kalian. Jagalah sikapmu sebagai santri." Ditambah lagi ancaman dari ustadz-ustadz yang lain; "awas kalau jumpa sama ustadz, ustadz suruh turun!" Kami pun tidak jadi duduk di atas, kami duduk di depan bertiga dengan supir.