IYYAAKI HUBBII

Daud Farma
Chapter #43

Cinta Kamu Seorang Penulis

Mayoritas orang menganggap bahwa menulis adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Apalagi memulainya, hal itu akan membuat menulis mejadi kegiatan yang sulit dan membosankan. Namun jika kita mulai menuliskan apa yang ada di benak kita, maka kita akan terbawa dan larut di dalamnya. Melebur menjadi satu bagian indah yang terungkap dengan rentetan kata-kata indah nan membius pembaca, sungguh betapa indahnya menulis! Tetapi masing-masing kita adalah orang yang berbeda, kita terlahir mempunyai hobi dan bakat tersendiri dan juga cenderung berbeda satu sama lain. Ada yang mempunyai bakat menulis, tetapi ia tidak menjadikannya hobi dalam kesehariannya, ia hanya menulis saat mood-nya sedang bagus dan ketika ada waktu yang menurutnya luang, tetapi sekali ia menulis, hasilnya memuaskan dan menarik minat pembaca, itulah yang dikatakan bakat. Ada yang hobi menulis, hari-harinya diisi dengan menulis dan terus menulis, namun amat disayangkan, tulisannya tidak karuan dan tidak selalu memikat hati orang yang membacanya. Dan yang amat kita sedihkan ialah seseorang yang sama sekali tidak pernah tau bakat dirinya sendiri, tidak mau menulis dan mengembangkan bakatnya, dia adalah siswi SMA Negeri 1 Lawe Alas. Namanya Laila, dia adik kelasku sekaligus anak dari pamanku. Ketika suatu sore aku bertanya kepadanya, "La, kamu suka nulis enggak?" hal itu aku tanyakan padanya untuk mengetahui jati dirinya.

"Bang, Qois, Laila enggak suka nulis, lebih baik Laila menanam satu hektar padi di sawah daripada menulis!" jawabnya dengan nada sedikit keras. Aku mencoba meyakinkannya, aku ingin bilang kepadanya bahwa ia mempunyai bakat menulis yang alami.

"La, dengarkan abang baik-baik! Abang jujur ke kamu. Abang tidak sedang bohongi kamu. Kamu itu mempunyai bakat menulis, La, kamu itu adalah seorang penulis, kamu adalah penulis yang sebenarnya!" kataku dengan nada yang keras agar dia tahu bahwa aku sedang marah padanya. Namun ia tidak peduli, ia malah menjawab pernyataanku dengan nada lebih ketus dari sebelumnya. 

"Bang, Qois, please deh, jangan gombalin Laila agar mau menulis! Abang lihat sendiri kan, bahwa aku memang enggak hobi menulis. Pelajaran biologi yang disuruh meringkas pun aku mengerjakannya dengan terpaksa, karena aku nggak suka menulis. Jadi tolong jangan gombalin Laila untuk yang kesekian kalinya agar aku mau menulis!" timpalnya dengan penuh harap agar aku tidak menggombalinya lagi. Padahal aku begitu serius mengatakannya. Di saat aku mengungkapkan hal itu ia selalu menganggapku menggombalinya, padahal aku sudah jujur mengatakan kepadanya bahwa ia adalah seorang penulis yang mempunyai bakat asli.

Hari demi hari kucoba meyakinkannya tanpa ada kata menyerah dan putus asa, namun ia tetap saja memarahiku dan dengan ketus menanggapi nasihatku dengan acuh tak acuh.

Bulan demi bulan kucoba terus meyakinkan dirinya, namun ia tetap tidak menggubris nasihatku dan bahkan ia bilang, "Bang, Qois,  kalaulah abang bukan kakak kelas dan kakak sepupuku, aku sudah gampar abang bolak-balik!" katanya dengan nada keras dan dengan raut wajahnya yang memerah padam, seakan akulah yang telah menggamparnya lebih dahulu ketika melihat wajahnya yang merah padam itu. Mulai saat itu juga aku tak pernah lagi mencoba meyakinkan dan menasihatinya supaya menyukai dunia tulis menulis, karena aku tidak mau tangannya akan menyentuh wajahku untuk yang pertama kalinya.

Sedikit tentang Laila, dia orangnya agak tomboy. Tetapi ia sholehah dan menutup diri, tidak mau dekat laki-laki. Kecuali dengan aku yang memang masih terhitung saudaranya. Gayanya funky seperti gaya seorang remaja yang siap tampil ngeband acara sekolah. Ayahnya orang batak toba, ibunya orang jawa tulen. Mungkin ia mengikuti jejak bapaknya yang funky dan trendi, karena aku sempat menyimak kisah bapaknya ketika masih bujangan dulu. Aku dekat dengan bapaknya karena bapaknya adalah pamanku sendiri. Aku sangat akrab dengan beliau. Sehingga hampir tak ada rahasia yang disembunyikan beliau padaku. Waktu kami kecil dulu, kami sering dicomblangkan satu sama lain. Tetapi ketika itu kami masih bau kencur, jadi tidak begitu faham dengan apa yang orang dewasa katakan. Begitu kami sudah tumbuh dewasa dan sudah duduk di bangku SMA, kami malah dilarang berteman, bahkan bertemu saja seperti hal yang tidak akan mungkin terjadi. Karena keluarganya khawatir aku suatu saat nanti akan mencintai anaknya Laila, sebab bapaknya telah menganggapku seperti anak kandungnya sendiri. Aku pun sulit menerima kenyataan itu. Ketika aku bertanya pada ibuku, jawaban yang sama juga aku dapati. Beliau juga melarangku untuk menemuinya agar aku tidak mencintainya. Karena ibu sudah menganggap Laila sebagai anak kandungnya sendiri. Sebab sejak kecil Laila sering main kerumahku, begitu juga diriku, aku sering main ke rumahnya. Jarak rumah kami hanyalah tiga puluh meter saja, mungkin tiga kali loncat harimau lansung sampai. Hal itulah yang membuat kami dekat satu sama lain karena seringnya bertemu dan bercanda bersama.

Ayahnya sempat bercerita, "Nak, Qois, dulu waktu paman masih muda, paman ini adalah seorang gitaris, funky dan puitis. Tetapi paman tidak nakal seperti teman paman yang lain. Dulu paman sering membacakan puisi di dalam kelas waktu SMA. Paman sering bermain gitar di bawah pohon kayu yang tumbuh di pojok halaman sekolah. Paman juga tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Paman akan dipukuli kakekmu kalau paman tidak pergi ke masjid untuk menunaikan shalat fardhu berjama'ah,” Sempat paman berhenti menghela nafas dan meneguk teh yang ada di depannya, sebelum beliau melanjutkan cerita itu.

 “di acara wisuda paman dulu, paman ditunjuk sebagai pembaca puisi yang berjudul, "Guruku" dan itu puisi karya paman sendiri. Setelah paman selesai membaca, semua yang menyimak menyapu air mata yang tiba-tiba megucur dari sudut mata yang basah, dan juga tanpa paman sadari sempat paman menitikkan air mata. Jarak beberapa menit, paman tampil kembali membawakan sebuah lagu karangan paman sendiri, judul lagunya, "Senyumlah Sahabatku". Alhamdulillah, paman mampu menghipnotis dan membuat mereka yang mendengar dendang paman tersenyum, ceria dan riang gembira, bernyanyi mengikuti lantunan lagu paman. Dan setelah tiga tahun selesai wisuda, paman sudah duduk di bangku kuliah. Ada sepucuk surat yang datang untuk paman. Dan ternyata penulis sepucuk surat itu ialah gadis cantik dan sholehah yang bernama Sulastri yang sekarang menjadi ibunya Laila." Paman bercerita panjang lebar tentang masa lalunya kepadaku, karena ia menganggapku sudah sebagai anak kandungnya. Karena paman tidak punya anak laki-laki, Laila adalah anak gadis semata wayang paman. Berbeda dengan diriku, aku adalah anak terakhir dari empat bersaudara dan semuanya laki-laki. Makanya ibuku sudah menganggap Laila seperti anak gadisnya sendiri. Setelah mendengar cerita paman, aku baru memahami bahwa ternyata Laila adalah titisan darah daging dari seorang bapak yang puitis dan pujangga perangkai kata yang memang bakatnya menulis. Tetapi sayangnya, paman tidak melanjutkan karyanya. Mungkin itulah sebabnya Laila juga tidak suka menulis walaupun ia mempunyai bakat warisan dari bapaknya.

***

Waktu tak pernah berhenti berputar, dan ternyata waktu telah berjalan kurang lebih dua tahun. Dua tahun sudah aku tidak pernah berjumpa dengan Laila lagi, aku mencari-carinya kemanapun. Tetapi aku tidak pernah menemukannya. Setelah lulus, aku merasa bahwa Laila menjauh dariku dan ingin menghindar dariku meskipun aku selalu mencari keberadaannya tetapi nihil, aku tak menemukannya. Setelah lelah dan putus asa, akhirnya kuputuskan untuk bertanya kepada ibuku. Meskipun awalnya beliau enggan menjawab pertanyaanku tetapi kali ini beliau menjawab dengan mata berkaca-kaca. Ibuku memberitahukan bahwa Laila melanjutkan kuliah ke Pakistan. Kabar yang menurutku ganjil dan tidak masuk akal karena selama ini Laila tidak pernah menceritakan hal itu kepadaku. Setelah gamang beberapa hari akhirnya aku memberanikan diri bertanya kepada paman tentang kepastian dari puterinya. Paman pun menjawab pertanyaanku dengan ekspresi datar dan nyaris tak memandangku sedikit pun. Beliau bercerita bahwa dua tahun terakhir ini memang Laila kuliah di Pakistan karena mendapatkan beasiswa yang telah ia idam-idamkan sejak kelas dua SMP. Sementara aku melanjutkan kuliah di salah satu kampus di daerahku yamg asri nan damai. Di tempat aku kuliah tidak jauh bedanya dengan masuk pesantren, hanya saja nama lembaganya yang bukan pesantren.

Salah satu peraturanya ialah tidak boleh memegang handphone dan mahasiswanya wajib tinggal di Asrama. Tiga bulan kedepan adalah hari ibur untuk mahasiswa. Setelah berkutat dengan berpuluh-puluh diktat tebal yang menjadi bahan ujian akhir para mahasiswa, aku sudah tiba di rumah satu hari yang lalu. Kuhidupkan kembali handphone butut milikku. Alhamdulillah, bisa hidup juga setelah aku berusaha mengganti baterai lama dengan baterai yang baru. Langsung saja kubuka akun Facebookku, karena aku yakin bahwa aku akan menemukan Laila di Facebook. Kami berteman di Facebok sejak ia masih duduk di bangku kelas dua SMA dulu. Ingatanku tentang adik kelas serta saudaraku itu tak hilang sedikit pun. Nama Laila selalu terngiang dalam telingaku dan selalu bertengger manis dalam hatiku. Meskipun telah dua tahun aku tak mendengar kabar darinya tetapi rasa itu masih tetap bercokol kuat dalam hatiku. Aku mulai membuka halaman kronologinya. Baru saja dua jam yang lalu ia mem-posting puisi baru karyanya, lalu kubaca dengan penuh penghayatan.

""Pangeranku"

Kau adalah pangeran yang pertama kali hadir dalam istanaku

Kau adalah pangeran yang pertama kali mengetuk pintu hatiku

Kaulah yang memacu kuda merah memegang samurai itu

Kaulah yang sekarang menduduki singgasana hatiku 

Pangeranku

Lihat selengkapnya