IYYAAKI HUBBII

Daud Farma
Chapter #44

Hanya Kamu Seorang

Aku adalah orang yang tidak mudah percaya dengan laki-laki. Jangankan dirayu, ketika ada yang melirik pun aku tidak pernah membalas dengan pandangan yang memberinya harapan padaku. Bukan berarti aku sombong, inilah aku; Puja Sharma, yang tidak mudah percaya dengan bualan buaya keparat. Tidak mengapa mereka berkata apa tentangku, aku akan tetap teguh dengan prinsipku, “Kalau mau serius, halalkan dengan cara yang baik-baik, kalau kamu cinta padaku jangan terlalu buru-buru”. Tetapi, Kawan, kita adalah kaum hawa yang lemah, hatiku dan perasaanku tidak jauh beda denganmu. Kita boleh dikatakan diskriminasi dalam bentuk, rupa, warna kulit dan bahasa namun tentang perasaan kita adalah sama; perasaan sedih, senang, marah dan cinta. Aku jugalah manusia yang normal: mencintai, mengangumi dan menyanyangi ditambah lagi aku adalah orang yang sangat suka dan percaya dengan kata-kata. Aku telah berusaha sekuat yang aku mampu untuk mempertahankan prinsip yang pernah kutanam bertahun-tahun lamanya, namun kini aku ditaklukan oleh sahabatku sendiri. Hatiku jadi lumer ketika mendengar kata-katanya.

Saat ini aku sedang menunggu kedatangannya di stasiun kereta api, “PERGI UNTUK KEMBALI”. Sudah satu jam aku menunggunya tetapi ia tak kunjung datang. Perasaan khawatirku membalut dada, sesak sekali. Ingin kusembur dia dengan kata-kataku lewat handphone, namun batre tidak memungkinkan untuk memanggil yang ingin kupanggil. Akhirnya kata hatiku diwakili oleh lidahku yang mudah sekali mengeluarkan kata yang tidak harus kukatakan, lidahku tak mudah menyaring kata-kata yang tidak enak didengar dan tak pantas diucapkan di keramaian orang, “Dasar pembual, dasar tukang gombal, dasar php!, enyahlah kau jika kujumpa nanti!” begitu kata hatiku yang diwakili lidahku tanpa ampun. Kalau saja ia hadir benaran saat ini, pertama kali yang bakal aku lakukan adalah menyiksa lidahnya dengan cabai rawit dengan sengaja mengajaknya mampir di warung nasi, “PEDAS DI LIDAH NAMUN SELALU DICARI” warung nasi yang cukup terkenal laris di dekat stasiun ini. Hari sudah sore, namun dia belum juga menampakkan batang hidungnya. Huh, memanglah, aku sangat mudah menelan janji, kenapa aku tidak mempertahankan prinsipku yang dulu? Ada apa dengan diriku? Andaikan saja aku mempertahankan prinsipku itu?, pastilah aku tidak menunggunya di sini dan tak akan sampai ke stasiun yang menyebalkan ini. Kenapa denganku? Yang pasti aku tidak percaya dengan hipnotis, aku sedang tidak dirasuki oleh jin rindu atau dedemit dari pulau hantu. Karena sekarang adalah zamannya merayu, to the point bukan lagi main dukun dan dukun sudah tutup buku sejak lahirnya orang-orang pegombal di dunia ini. 

Tiba-tiba, seorang anak kecil datang menghampiriku,

“Kak, Puja ya? 

“Ya, kenpa, Adik?”

“Ini ada surat dari lelaki yang duduk di sana!” Aku segera menoleh ke arah telunjuknya, tidak ada lelaki, yang ada hanyalah ibu-ibu yang tengah jualan makanan. 

“Tadi dia di sana kak, Puja!”

“Oke, terima kasih banyak, Adik,”

"Dasar lelaki pengecut!" sebalku setelah adik kecil itu berlalu.

Aku segera membuka kertas itu, “Sudahlah, Puja, aku telah datang ke stasiun. Sekarang pulanglah. Sudah tidak ada harapan lagi kita berjodoh. Orang tuaku telah menjodohkanku dengan anak gadis sahabat lamanya. Aku datang mengabarkan ini agar kamu tidak terlalu lama menungguku. Sejak tadi pagi aku ingin menemuimu, namun ayahku mencegatku di ruang tamu beserta tamunya dan tamunya itu dalah calon mertuaku. Maaf sudah merepotkanmu menungguku. Terima kasih atas kesetiaanmu selama ini, sekali lagi maafkan aku, Puja. Bulan depan aku akan menikah. Aku harap kamu tidak datang agar lukamu dan lukaku tidak bertambah.”

 Ini yang pertama dan kuharap ini adalah terakhir. Tamat sudah ceritaku dengannya, huh, nanti akan aku sebutkan siapa namanya. Dengan mendengar namanya kamu akan merasa sedang bertemu dengan orang yang paling menyebalkan sedunia. Kuharap padamu, Kawan, jangan sampai termakan oleh gombalannya, ia pandai sekali merayu. Sudah tidak ada harapan lagi untuk berjodoh dengannya. BBukankah ia yang mengatakan itu? Aku bergegas meninggalkan stasiun. Mulai hari ini bagiku sudah tidak ada stasiun lagi. Sudah runtuh digoyang gempa di hatiku, sudah punah disihir oleh perasaanku dan sudah hancur dihantam hujan air mataku, tidak akan pernah ada stasiun lagi dalam hidupku. Benar kata para pujangga, “Ketika ada orang yang melukai, tempat dan waktu juga ikut terluka”.

Lihat selengkapnya