IYYAAKI HUBBII

Daud Farma
Chapter #46

Kamukah Jodohku?

"Pergi! Aku tidak mau lagi mendengar alasanmu!"

Dengan terpaksa aku pergi meninggalkannya. Walaupun aku sebenarnya tak mampu melangkahkan kakiku. Bagaimana mungkin aku bisa melangkah jauh? Sementara hatiku masih bersamanya? Bagaimana mungkin aku melupakannya? Aku sudah lama menyanyanginya. Bagaimana mungkin aku melukainya? Hatiku masih bersemi dalam dirinya, sungguh aku tidak kuat melukai diriku sendiri. Meninggalkannya sama halnya aku menyiksa diri. Tapi mau tidak mau aku harus pergi, menjauh darinya. Walau bagaimana pun aku memaksakan diri mengemis minta maaf, dia sudah tak mau lagi padaku meski dia tahu hatiku di genggamannya dan aku masih mencintainya.

***

Jauh melangkah banyak dilihat, panjang umur banyak dirasa, segumpal hati berbagai perasaan, satu cerita berbagai pristiwa, adakah di sana satu pria yang setia padaku?

"Putus!"

"Nggak mau."

"Putus!"

"Nggak mau!"

"Ya sudah aku tak menganggapmu lagi!"

"Nggak mau!"

"Maaf, aku tidak bisa!"

"Nggak mau!"

"Hubungan kita kucukupkan sampai di sini!"

"Nggak mau! Janganlah begitu!"

"Jangan hubungi aku lagi untuk selamanya!" katanya begitu mudah.

Ini adalah keenam kalinya aku diputuskan. Sudah lebih dua bulan kami kenal dan aku mengajaknya segera menikah. 

"Maaf, aku hanya ingin pacaran. Aku belum siap menikah. Lebih baik kamu terima laki-laki lain saja yang sudah siap menikahimu. Maafkan aku karena tidak mengatakan sejujurnya sejak awal."

Begitu pengakuan orang keenam yang kusayangi waktu meneleponku pada malam itu. Aku hanya bisa menangis sendu, ingin kutanyakan kenapa ia tega begitu padaku? Panggilan berakhir dan handphone dinonaktifkan, aku semakin menangis pilu.

***

Dulu putus pertama kali dengan orang yang kusayangi adalah masalah sepele, yaitu: cemburu. Dia melihatku pernah dibonceng anak pamanku. Dia mengira aku selingkuh, padahal dalam keluarga kami belum pernah ada tuh yang menikah dengan anak paman pun sebaliknya. Dan memang orang tua kami tidak pernah berpikiran menjodohkan kami, tapi ia terlanjur cemburu.

"Maaf, Dek. Aku tidak bisa lagi mencintaimu."

Begitu kata yang kudengar dari mulutnya. Kutatap lekat wajahnya, tak lama aku menangis dan pulang dengan linangan air mata. Ia cinta pertamaku, aku berharap dialah yang terakhir dan menikahiku. Tapi karena cemburu dia tak bisa lagi mencintaiku. Berbulan-bulan aku tak dapat lagi mencintai pria lain, juga tak dapat menerima cinta orang lain padaku. Karena aku masih mencintai dia yang memutuskanku, cinta pertamaku yang susah kulupakan itu. Sudah terlanjur tertanam erat dalam hatiku. Sungguh aku tak mampu. Aku ingin sendiri, tidak mau diganggu dan dirayu. Aku sudah trauma, aku tak mau lagi disakiti lelaki lain dengan alasan cemburu kemudian tidak bisa lagi mencintaiku. 

***

Putus kedua kalinya. Tidak begitu lama, beberapa bulan kemudian, tak sampai setahun, ada lagi orang kedua yang mampu mengetuk dan membuka hatiku yang sudah lama kukunci. Ia mampu menembus gembok baja hatiku dengan katanya yang begitu menyakinkan. Ia datang dengan sejuta rayuan. Aku pun merespon, mungkin karena aku sudah cukup lama sendirian, kesepian. Hari demi hari kami jalani dengan canda tawa, riang gembira. Belum pernah ia membuatku menangis, belum pernah ia memarahiku, dan belum pernah ia menyakiti perasaanku. Hingga tiga bulan lamanya dia tetap mencintaiku. Namun pada bulan berikutnya aku menerima undangan pernikahannya yang dikirimkannya ke alamat rumahku. Setelah kuterima dari pak pos lalu aku segera ke kamar. Kubaca lagi berkali-kali surat itu, di sana tertulis jelas namanya dan calon istrinya. Namaku? Ada juga namaku, tapi bukan sebagai calon menantu ibunya melainkan untuk menghadiri resepsi pernikahannya. Tak kusadari pipiku basah dengan air mata. Malam harinya kupuasi menangis. Kukunci pintu kamarku agar tak ada yang membujuk tangisku. Pagi harinya aku menghadiri undangannya. Sampai di sana aku disambutnya dan ia berkata terus terang padaku,

"Dua minggu lalu orang yang menikah denganku hari ini datang ke orang tuaku bahwa ia hamil dua bulan. Mau tidak mau aku harus menikahinya. Maafkan aku."

Ya aku datang ke pernikahnnya ini, aku memenuhi undagannya ternyata ia hanya ingin mengatakan kata itu padaku, didepanku, terdengar jelas di telingaku, menusuk ke hatiku, mengejutkan jantungku. Padahal kelihatannya ia begitu baik, ia belum pernah berbuat aneh padaku, ternyata ia telah menjahati perempuan lain. Aku bahagia karena ia tak berhasil mengkhianatiku. Sungguh aku sangat menghindari itu. Tak lama aku mendengar kabar dari sahabatku yang perempuan, dia juga kenal dan dekat dengan mantanku itu. Pura-pura ia meminjam handphone untuk menghubungiku, eh katanya di galeri handphone mantanku itu semacam kompleks putri, banyak koleksi foto perempuan lain, gitu!

Kini aku hanya ingin orang yang siap menghalalkanku. Tapi aku tak tahu, mungkinkah di sana ada yang mau padaku? Tanpa pacaran? Ingin segera ke pelaminan? Kini aku jera, tak mau lagi pacaran walau seribu rayuan.

***

Putus ketiga kalinya. Begitulah hati, mudah berubah-ubah rasa dan perasaan. Aku sudah bertekad kuat tidak mau pacaran, tapi ada saja orang ketiga yang mencoba pe-de-ka-te-an. Aku begitu lemah, terlalu mudah makan gombalan, terlalu mudah merespon perasaan hingga kini kami sudah jadian sebulan. Padahal baru empat bulan aku ditinggal nikah oleh mantan. Entah mengapa? Hatiku tak sanggup sendirian. Oh Tuhan, hamba mohon Engkau ampunkan. Sebulan? Bukankah itu lama? Aku merasa lama sebab aku hanya ingin segera menikah, tapi ia maunya jalani saja dulu, menikah urusan jodoh, kalau jodoh ya nikah kalau tidak apa boleh dikata. Begitu bijak ia bicara. Tapi kata bijaknya itu tak mampu menenangkanku ketika ia akhirnya berkata pada minggu berikutnya,

"Aku kuliah di luar daerah. Jaga dirimu baik-baik. Jaga hati, semoga kita jodoh."

Aku hanya bisa berkata :aamiin. Sore itu ia pamit padaku, meninggalkan kenangan lalu kemudian ia pun menembus awan, naik pesawat. Bulan pertama ia di luar daerah, kami masih hangat di chatingan, tiga bulan kemudian ia tak ada kabar. Ah mungkin terlalu tidak baik jika kukatakan ia bosan. Terlalu baik jika kukatakan ia fokus masa depan. Terlalu tak berperasaan jika kukatakan ia tak setia padaku, Kawan. Terlalu berlebihan jika kukatakan bahwa aku terlalu berharap. Terlalu jahat ia padaku jika kukatakan aku diduakan. Ah sungguh tidak ada harapan lagi, Kawan.

***

Putus keempat. Setahun kemudian, aku kembali ditaklukkan. Hatiku dikacaukan perasaanku. Tidak pikir-pikir lagi aku menerima perasaannya, cintanya. Tetapi kemudian tidak begitu lama aku menyimak katanya,

"Kita putus aja!"

"Ya!" kataku segera. 

Kenapa? Karena ia suka memaksa dan aku tak suka dipaksa! Ia ingin aku datang ke kosannya. Tak bisa! Sudah cukup hatiku hancur, fisikku jangan! Cinta itu indah bila dilalui dengan hati yang tulus, bukan dengan kemaksiatan yang terjerumus.

***

Putus kelima kalinya. Ini lebih pendek. Waktu jadiannya juga pendek, hanya lewat teman. 

"Ya kita jalani dulu. Tapi jangan lama, kalau serius segeralah ke orag tuaku." kataku seminggu awal jadian.

Minggu kedua ia pula yang berkata.

"Aku sibuk. Tak banyak waktu berdua, belum memikirkan nikah. Maaf." katanya via telepon pula. Padahal awal jadian ia yang mengemis minta diterima dan direspon perasaannya. Duh, luar biasa!

***

Kini aku benar-benar sendiri.

Umurku sudah 26 tahun, waktuku habis di-php-in lelaki. Aku disakiti, bukan fisik tapi hati. Sungguh luka fisik bisa sembuh dengan hitungan hari, tapi luka hati? Siapa yang hendak mengobati? 

Kini aku baru menyesal. Kenapa aku begitu mudah menanggapi perasaan orang lain? Kenapa aku begitu mudah ditaklukkan? Kenapa aku mau pacaran? Toh akhirnya aku sendirian. Teman-temanku yang pacaran ada yang berhasil hingga ke pernikahan. Sedangkan aku? Masih sendirian, belum punya pasangan. Kenapa dulu tak sadar waktu pertama kali disakiti? Kenapa tidak jera? Kenapa dulu mau menerima semua gombalan? Rayuan? Ah, hanya ada satu jawaban: aku pikir ada yang membawaku ke pelaminan. Ternyata tidak. Tidak jodoh, hanya itu yang dapat aku katakan.

Lihat selengkapnya