Cinta memang begitu, Kawan, awalnya penuh dengan keromantisan dan kebahagiaan. Sering sekali berada pada zona romansa meskipun tak jarang juga sebaliknya. Kita pun mamaklumi dan menerima hal itu dengan baik. Memang kita tidak sampai berpikir akan adanya sayatan dan gesekan yang dahsyat menyebabkan kita saling tak percaya diri untuk meneruskan yang telah kita mulai. Lagi-lagi mencoba dan yakin makin jauh makin dewasa dan mau mengerti satu sama lain. Selalu saja ada rasa nyaman dan senang dengan apa yang tengah berlangsung. Hati berbunga-bunga dan senyum nan mengembang sepanjang hari. Persis bak remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Oh betapa bahagianya! Namun pada akhirnya tak selamnya begitu. Jarum jam selalu berputar mengikuti hari berikutnya, dan berubahanya hati tak selambat detikkannya.
"Maaf, aku sibuk. Kuharap kedepannya kita saling mengerti satu sama lain, masing-masing kita tak baik mengganggu hal-hal bermanfaat yang harus dikejar dan diperjuangkan. Lebih baik kita sibuk dengan masa depan kita sendiri. See u."
Sudah belasan kali kubaca surel Farid. Aku coba memahami kebaikan yang tersirat di dalam paragraf dari narasi singkat itu. Aku mencoba mengajak hatiku berdamai dengan keputusan yang telah ia buat tiba-tiba, tak ada babibu sebelumnya. Sangat perih kurasakan di ulu hati. Aku gagal memahami dari sisi baik keputusan Farid, tetapi aku percaya dia benar-benar sibuk. Karena gagalku itu, aku pun memilih sendiri, lebih tepatnya menyendiri, menjauh dari kenyataan yang tengah terjadi. Segala hal yang berhubungan dengan kontak Farid, semuanya kunonaktifkan, lebih tepatnya kublokir. Sim-card-pun telah kuganti dengan yang baru, kini di hp-ku tinggal nomor-nomor orang yang kuanggap penting saja, Farid? Bye-bye!
"Maafkan atas keputusanku yang mendadak dan sepihak itu, Hasna." katanya beberapa hari kemudian. Itu adalah isi paragraf terakhir surat tulisan tangannya yang kuterima lewat pak pos tadi sore. Ah percuma juga aku balas, aku sudah memaafkannya. Dan kurasa aku tidak perlu juga memberitahunya bahwa dia telah aku maafkan, karena aku tidak ingin lagi berbalas kata meskipun sepatah kata saja.
Aku dan Farid benar-benar beda, dan jarak kami yang cukup jauh. Namun sekarang dia jugalah satu pulau denganku, dia orang Aceh, aku orang Jawa. Tetapi saat ini kami sama-sama di pulau Jawa, hanya saja aku ngekos di dekat kampus Sebelas Maret, aku kuliah kedokteran dan Farid sibuk dengan masternya di UIN Malang. Aku dan Farid sudah lama saling kenal, awal kami bertemu ialah di seminar kepenulisan yang diadakan oleh kampusku sendiri yang waktu itu pembicaranya adalah salah seorang penulis ternama yang cukup terkenal di Nusantara. Kami sama-sama suka membaca. Karena antrean yang panjang itu, berani-beraninya aku minta tolong pada Farid barisan laki-laki sebelah kanan kami.
"Mas, minta tolong dong bawa buku aku." pintaku. Dia pun mengambil buku novel milikku yang aku beli dari panitia, karena buku itu adalah karya terbaru penulis dan dibedah hari itu. Kenapa aku menyuruh Farid? Sebab dia sudah mau sampai ke depan, dia uratan kedua belas, aku urutan tiga belas juga tapi penulisnya mendahulukan satu laki-laki dan satu perempuan bergantian. Kenapa tidak aku minta tolong pada laki-laki yang nomor sebelas atau tiga belas? Karena Farid tepat di sampingku. Kenapa aku berani minta tolong ke dia? Sebab dari wajahnya tidak membuatku takut, sepertinya dia bukan 'jahat' bandel ataupun semacamnya. Dia lumayan ganteng dibanding dua orang di belakangnya maupun dua orang di depannya. Ah, nampaknya aku ketahuan nih milih-milihnya, tetapi begitulah awal kejadiannya.
Setelah kuberikan bukuku pada Farid, aku pun keluar dari ruangan dan membeli jus buah, sengaja aku beli dua porsi sebab niatku adalah membalas jasa Farid yang telah berjuang antre di dalam yang begitu ramai dan penat.
Dua puluh menit kemudian Farid pun keluar dari ruangan, melihat ke sekeliling dan matanya menemukanku yang sedang berjalan datang mendekatinya.
"Terimkasih ya, Mas."
"Ya sama-sama." Kami saling memberi dan saling menerima.
"Namanya siapa, Mas?"
"Farid."
"Sudah semester berapa?"
"Sudah tamat. Dan aku bukan alumni sini."
"Lah terus?"
"Di Aceh dan asli orang Aceh."
"Gimana ceritanya bisa sampai kemari?"
"Ceritanya panjang dan pendek. Oh ya maaf, saya buru-buru ini, teman saya udah nungguin."
Dia pun pergi. Tak sampai satu menit ia berlalu, aku membuka buku novelku yang telah ditanda tangani oleh penulisnya! Wah bahagianya aku! Ini adalah kali pertama novelku ditanda tangani penulisnya. Padahal aku sering loh ikut seminar kepenulisan dan bedah buku, tetapi aku malas dengan antrean yang panjang, lebih baik aku segera pulang ke kosan daripada antre yang cukup lama. Dan senangnya lagi, di sana ada nomor telepon penulisnya! Wah-wah! Jadi bisa dong nanti langsung tanya-tanya pada penulisnya soal menulis. Karena memang aku telah lumayan banyak nulis cerita pribadiku dalam buku harianku, namun karena malu aku tidak pernah mau mempublikasikannya di sosial media. Aku tidak percaya diri akan hal itu.