Murdan adalah orang yang bijak, berilmu, berakhlak dan taat beribadah. Soal ilmu agama ia adalah andalan di kampung Ahlam. Orang-orang sangat hormat sekali dengannya. Saat ia datang ke kedai kopi, ke pasar, dan jumpa di tengah jalan, semuanya mengucap; assalamualaikum pak, Murdan. Tutur katanya lembut, menyejukkan pendengarnya. Namun sayangnya dia memang jarang sekali bicara. Seratus karakter orang lain, dia cuma bicara dua puluh karakter saja. Lebih tepatnya ia adalah orang yang pendiam. Banyak orang bertanya, berkonsultasi, bertanya pendapat, meminta solusi, dan belajar padanya.
Darmanto adalah ketua kampung Ahlam, sudah menjabat sebagai kepala kampung selama lima belas tahunan. Di kampung Ahlam tidak istilah pakai kepala desa, namun pemilihan ketua kampung model pemilihan kepala desa. Sistim pungut suara. Kenapa Darmanto sampai menjabat selama lima belas tahun? Adalah karena kelompok Darmanto lebih kuat, pendukung dan pencintanya lebih banyak. Maka tidaklah seimbang dengan lawannya pada saat pemilihan ketua kampung yang tiga tahun sekali. Di kampung Ahlam adalah lebih banyak anak laki-laki daripada perempuan, lebih banyak pemuda. Maka sudah tak heran kenapa Darmanto bisa bertahan tahta sampai lima belas tahun, karena dia memang bergabung dan bergaul dengan anak muda. Mengandalkan pemuda. Ulah dan tingkahnya pun macam anak muda. Padahal kalau ditanya hati ke hati pada bapak-bapak dan ibuk-ibuk di kampung Ahlam, mereka tidaklah begitu mencintai dan menginginkan Darmanto sebagai kepala kampung mereka. Ibuk-ibuk dan bapak-bapak lebih suka pak Murdan yang jadi kepala kampung Ahlam. Sekarang barulah orang tua di kampung Ahlam sadar kenapalah dulu banyak-banyak bikin anak dan yang lahir laki-laki, namun akhirnya tidak bisa diajak satu suara melalui hati nurani untuk tidak memlilh Darmanto lagi dan lagi. Begitulah Darmanto, ia pandai sekali mengambil hati anak muda kampung Ahlam hingga-hingga tak mau dengar cakap orang tua.
Darmanto adalah orang yang licik, kejam, tidak sayang pada kaum hawa, anak kecil dan yang tua. Darmanto lebih perhatian pada yang muda-muda saja. Sebab ia tahu kekuatannya ada sepenuhnya pada anak muda. Jumlah suara yang tiga puluh persen tidak memilihnya, ia sudah menduga bahwa itu adalah kaum bapak-bapak dan ibuk-ibuk.
Saingan Darmanto tiap tahun pemilihan adalah Tajudin. Kalau dibandingkan Tajudin dan Darmanto, sangat jauh dalam hal apa pun, apalagi hal agama. Namun Tajudin adalah salah seorang harapan kaum orang tua. Tajudin juga seumuran dengan bapak-bapak yang lain, maka sudah barang tentu ia peduli dengan orang tua, lebih peduli pada perempuan. Sedangkan Darmanto lebih muda lima tahun darinya.
Sebelumnya adalah Tajudin yang jadi kepala kampung Ahlam. Karena dulu Tajudin juga sering nongkrong di warung kopi dan minum kopi. Karena dulu Tajudin masih muda. Hari berganti minggu, bulan, tahun dan umur Tajudin pun makin menua. Membuatnya semakin menyendiri, menyepi dan tidak ke kedai kopi. Anak-anak muda tak jarang datang ke rumahnya, namun pintunya tak pernah ia buka untuk tamu. Hingga pemilihan ketua kampung berikutnya terpilihlah Darmanto lagi.
Jumlah penduduk di kampung Ahlam tidaklah begitu banyak, dua ratus orang saja. Dan dari dua ratus itu lebih banyak anak laki-laki dan masih muda-muda.
Darmanto memanglah sahabat dari kelompok muda yang sengaja mereka calonkan, alasannya sederhana sekali; karena Darmanto sering ke kedai kopi. Mau minum kopi bareng mereka. Kalau umur, Darmanto sudah tidak layak lagi disebut muda, hanya sikapnya saja yang tak tau usia.
Sejak ia naik dan dilantik oleh tetua kampung. Dengan lantang Darmanto bicara pada masyarakatnya yang sudah berkumpul di tengah tanah lapang.
"Kedai kopi kita perbesar terasnya! Setiap mau minum kopi cukup bawa badan. Asal mau datang saja ke kedai kopi!" katanya membaca teks pidatonya dengan semangat dan keras, lalu ia mundur ke belakang dan duduk. Hanya kata itu saja yang ia mau membacakannya, dan teks tersebut dilanjutkan dibaca oleh wakilnya.
"Anak perempuan tidak boleh keluar rumah, kecuali waktu pergi ke sekolah bagi yang muda, bagi ibu-ibu saat pergi ke pasar.
Selebihnya jika keluar rumah di luar jam tersebut maka kami tangkap! Sepuluh persen hasil panen mesti disetor untuk biaya anak muda di kedai kopi. Sebab anak mudalah yang melestarikan kampung kita ini. Yang tua-tua tidak boleh lagi ke kedai kopi. Kedai kopi hanya untuk anak muda!" Begitu sebagian isi teks pidato Darmanto.
Ada rasa menyesal tetua kampung melantiknya, namun mau tak mau harus ia lantik sebab Tajudin kalah telak.
Yang bapak-bapak merasa tertekan, petani merasa tertindas, perempuan merasa terkurung, tidak ada kebebsan keluar rumah, tidak seperti Tajudin dulu yang boleh pergi kemana saja menurut kehendak hati. Padahal kaum perempuan sangat bosan sekali di dalam rumah. Sudah tidak ada lagi nonton barenag muda, tua, wanita dan pria di tanah lapang. Kebutuhan rumah tangga makin mencekam, ada hasil panen kebanyakannya diambil. Hingga sudah lima belas tahun ini kaum tua terjajah. Kaum muda yang tak punya pikiran, banyak sudah tak punya kedua orang tua, jadi tak begitu kasihan pada kaum tua di kampung mereka. Yang punya kedua orang tua saja pun tak mau dengar cakap ayah-ibunya. Mungkin cocoknya disebut anak durhaka. Sejak Darmanto menjabat, hidup kaum muda terasa sejahtera. Mereka merasa kedai kopi adalah rumah mereka sendiri, lupa rumah pribadi yang mereka tempati. Dua puluh empat jam, siang-malam. Minum tuak, ganja, judi, jadi legal yang sebelumnya sempat disetop oleh Tajudin. Kedai kopi adalah hiburan duniawi anak muda kampung Ahlam.
***
Sudah cukup tersiksa rasanya lima belas tahun di bawah kekuasaan rezim Darmanto. Kaum perempuan, kaum tua, sudah tak betah, sudah lama mereka menginginkan Darmanto turun jabatan dan dibuang dari kampung Ahlam. Namun mereka tak tahu bagaimana cara menjatuhkannya? Padahal titik poinnya hanyalah kedai kopi. Tetapi bagaimana? Sedangkan yang tua tak lagi diperbolehkan ke kedai kopi. Kalau mau minum kopi pun mesti minta diantar dari kedai kopi atau harus punya stok bubuk kopi di rumah. Apalagi Murdan yang hanya tahu agama, tak mengerti politik ala kedai kopi di kampungnya sendiri. Tapi anehnya anak muda sangat hormat padanya sejak masa Tajudin dulu menjabat. Kalau Murdan mau saja ke kedai kopi, pasti cakapnya didengar. Soal umur dia memang sudah tua tapi belum begitu tua, kalau disebut muda juga sudah tak muda. Kenapa ia masih boleh ke kedai kopi? Sebab Murdan belum pernah menikah, sehingga ia masih dianggap anak muda. Bisa dibilang dia adalah ketua jomblo di kampung Ahlam. Namun karena terbawa umur, prilakunya sudah sesuai menurut umurnya. Murdan adalah kebalikan dari Darmanto.
Kumpullah tetua kampung yang bapak-bapak dan kaum perempuan di salah satu rumah tetua kampung. Sedangkan kaum muda tengah berkumpul di kedai kopi bersama Darmanto,
"Yang pertama adalah kalau seandainya kita turunkan paksa si Darmanto, kita tak mampu karena jumlah kita tak sebanyak kaum muda. Lalu kalaulah ia turun jabatan, siapa yang akan kita jadikan gantinya? Tidak mungkin Tajudin lagi, kalu Tajudin kaum muda kita tidak akan memilihnya. Itu yang pertama dan kedua. Adapun yang ketiga; kalau sudah ada penggantinya lantas bagaimanakah cara merekrut suara terbanyak untuk kita?" Begitu orang yang dulu melantik Darmanto mengajukan pertanyaan. Semuanya diam. Si Murdan yang katanya orang berilmu, berakhlak, bijak dan cerdas itu, ia tak hadir sebab dia tidak diundang. Kenapa tidak diundang? Karena dia masih dianggap kaum muda, lagi-lagi karena dia belum menikah.
Suasana hening, tak ada yang dapat memberi solusi. Suara taik cicak jatuh ke lantai pun mungkin terdengar. Tiba-tiba saja dari pojok, seorang nenek angkat tangan. Lalu pemimpin musyawarah, mempersilakannya untuk mengungkap keluh-kesah dan idenya.
"Kalaulah diperkenankan bicara sebentar saja,"
"Silakan." kata pemimpin musyawarah.
"Darmanto itu adalah anaknya Si Raumah temanku dulu. Waktu ibunya masih hidup, dia anak yang baik. Sejak ibunya meninggal dia jadi tidak terurus kecuali masalah kopi. Aku kenal sekali dengan Darmanto. Dulu waktu ibunya masih hidup, aku sering ke rumahnya. Tiap kali aku ke sana, pasti Darmanto minta dibawakan bubuk kopi hasil buatanku sendiri. Hingga sampai hari ini pun anak buah Darmanto selalu datang ke rumah dan mengambil bubuk kopi buatan saya,"
"Lalu apakah maksud dan tujuan penjabaran Anda dengan semua ini?" Pemimpin kumpul memotong pembicaraannya. Nenek itu pun diam sejenak, setelah dua menit hening barulah dia menjawab.
"Aku pun tidaklah begitu mengerti maksud dan tujuan bicaraku. Itu aku serahkan pada Anda semua untuk memberi maksud daripada ucapanku. Demikian yang dapat saya sampaikan." Kemudian suasana hening lagi. Setelah ldua menit diam, lalu seseorang angkat tangan.
"Silakan." Pemimpin musyawarah mempersilakannya untuk bicara.
"Seperti yang telah dijabarkan Bu Masitah barusan. Bagaimana kalau bubuk kopinya Bu Masitah kita kasih racun. Sebab yang di kedai kopi juga membelinya dari Bu Masitah."
"Setuju!" jawab yang hadir serentak dan kompak. Tetua kampung bicara.
"Racun bagaimanakah yang Anda maksud?"
"Ya racun semacam membuat sakit perut saja, agar Darmanto sakit berminggu dan berbulan-bulan. Supaya si Darmanto tidak lagi ke kedai kopi."
"Nah ide yang bagus, jenius!," sambut tetua kampung.
"Tapi sebaiknya si Darmanto saja yang kita beri racun. Jangan semua anak muda di kedai kopi. Kalau semuanya maka kita akan ketahuan."
"Sepakat!" sahut hadirin menyentujui.
***
Keesokan harinya. Bu Masitah pun mulai menumbuk kopi. Begitu anak buah Darmanto datang ke rumah Bu Masitah, segera ia mengambil bubuk yang sudah disiapkan Bu Masitah dan pergi begitu saja. Darmanto tidak pernah membeli bubuk kopi buatannya. Kata Darmanto Bu Masitah tidak perlu menyerahkan sepuluh persen hasil panen kebun kopinya pada rezim Darmanto sebab bubuk kopi itulah gantinya.
Pak Murdan baru pulang dari masjid. Lalu ia mampir ke kedai kopi.
"Assalamualaikum." sapanya pada semua anak muda di kedai kopi.
"Waalaikumsalam pak, Murdan." jawab mereka serentak. Semua mata memandangnya. Semuanya segan melihat penampilan Murdan yang memakai peci, bawa surban di bahu kanan, pakai sarung dan baju piama. Suara musik yang tadi memekakkan telinga kini tak terdengar. Lembaran kartu poker yang bertumpukan segera mereka sembunyikan. Semua mata mereka yang sedang merah karena banyak minum tuak memandang fokus pada pak Murdan. Segaja mereka panggil pak Murdan, sebab penampilan dan ilmunya serta kewibawaannya membuat mereka segan. Di kampung Ahlam, hanya pada pak Murdan saja mereka bersikap begitu. Selebihnya tak hormat, kecuali ketika di depan Darmanto, di belakangnya sering sekali mereka mengejek kepala kampung mereka itu. Darmanto dipersilakan duduk. Yang di sudut-sudut ruangan semuanya merapat, yang baringan, tiduran, semuanya terbangun mendengar suara pak Murdan. Murdan dipersilakan duduk. Mereka mengelilingi Murdan. Sebab jarang-jarang Murdan ke kedai kopi. Kalau ia kedai kopi pasti ada omongan penting yang ingin ia sampaikan. Semuanya menunggu Murdan bicara. Tak ada yang berani pula bertanya dan memulai membuka heningnya suasana.
"Nampaknya tak ramai lagi yang ke masjid. Hari jumat pun tidak pernah lagi. Apakah kalian semua sudah mati?," Semuanya diam. Menunduk, segan menatap wajah Murdan.
"Hati kalian memang sudah mati. Telinga kalian tuli. Allah akan segera menurunkan azab di kampung kita ini kalau masjid tidak ramai lagi, kedai kopi malah jadi-jadi. Ingat baik-baik kata-kataku ini. Kalau kalian tidak mau berjamaah ke masjid lagi, aku anggap kalian sudah tidak ada lagi di dunia ini. Sudah mati. Siapkan diri jadi umpan api neraka nanti. Kalau kalian cinta pada kampung kita ini, maka ramaikanlah masjid lagi. Itu saja yang ingin saya sampaikan. Assalamualaikum, penghuni kedai kopi."
"Waalaikumsalam pak, Murdan." sahut semuanya. Suasana hening. Murdan melangkah pergi. Selagi mata mereka masih melihat punggung Murdan, tak ada yang berani memulai bicara. Begitu Murdan menghilang di telan tikungan, mulailah seseorang bersuara.
"Untuk menghormati pak Murdan dan agar kampung kita ini tidak kena azab, ada baiknya kita ke masjid nanti magrib."
"Siapp!" semuanya ingin bertaubat.
"Tapi.." kata sedikit kelompok di pojokan.
"Tapi kenapa? Kalian tidak mau ke masjid? Kalian tidak cinta pada kampung kita ini? Kalian tidak sayang pada kedai kopi ini? Kalau kampung kita kena azab, maka kita juga yang rugi. Kalau kalian segan dan takut pada pak Murdan, kalau kalian benar-benar syang pada kampung ini, kalaulah kalian benar cinta pada kedai kopi ini, mari nanti magrib semuanya ke masjid."
"Siapp!" Semuanya setuju.
Menjelang magrib, sepuluh menit sebelum azan dikumandangkan semua anak muda kampung Ahlam ke masjid. Bapak-bapak kaum tua semuanya heran.
"Jenazah siapa yang akan kita sholatkan?" tanyanya pada temannya.
"Tidak ada yang meninggal. Aku dengar cerita dari salah seorang anak muda ini bahwa tadi waktu ashar si Murdan mampir di kedai kopi." Barulah dia mengerti kenapa masjid ramai pada waktu magrib.
Setelah sholat magrib, semua anak muda menyalami Murdan. Mereka menunjukkan diri bahwa mereka ke masjid. Lalu mereka menetap di masjid, menunggu Murdan dan kaum tua yang lain pulang duluan.
"Luar biasa kamu, Mur! Ngomong apa kamu pada mereka sehingga bisa taubat mendadak begitu?"
"Saya hanya bilang pada mereka agar menyayangi kampung kita ini, Pak." sahut Murdan singkat.
Setelah Murdan menghilang, dan mereka kira-kira ia sampai di rumahnya. Semuanya keluar dan singgah lagi di kedai kopi. Lebih seratus anak muda itu berduyun-duyun lagi ke kedai kopi.
"Dari mana saja kalian?" tanya Darmanto keheranan. Tidak pernahnya ia lihat kedai kopi sepi. Hanya dia sendiri, semuanya pergi meninggalkannya waktu magrib tadi.