Kotaku Kuta Cane Aceh Tenggara, yang dipagarai dengan Gunung Leuser yang tinggi, rindang, dan damai dipandang oleh mata bagi siapa saja yang memandangnya. Kotaku yang berada ditumit Gunung Leuser kini semakin maju dan berkembang dengan bangunan-bangunanya yang mulai mencakar langit. Kotaku yang berdindingkan Gunung Leuser telah menjadi tempat para wisata bagi masyarakat Kuta Cane Kotaku, bukan hanya local bahkan kelas Internasional. Bukan hanya masyarakat Kuta Cane saja, melainkan dari Luar Negeri juga berdatangan ingin menyaksikan langsung betapa indah dan sejuknya Kotaku dan Gunung Leusernya. Turis atu bulek-bulek yang terus berkunjung ke Kotaku yang di kelilingi Gunung Leuser ini. Nampaknya orang-orang begitu penasaran dengan apa yang ada di dalam Kotaku, sehingga para turis itu terus saja berganti-gantian unjuk rasa untuk berkunjung ke Kotaku yang berpagarkan Gunung Leuser ini. Bahkan mereka membuat rumah untuk tempat tinggal mereka di Kotaku. Ya mereka membuat rumah untuk menjaga kelestarian Gunung Leuser. Bukan hanya Gunung Leusernya, melainkan juga bunga bangkai yang baunya menusuk hidung itu, yaitu Bunga Reflesia. Aku juga sempat tidak setuju kenapa mereka yang menjaga hutan lindug ini?, padahal orang-orang di kotaku juga begitu banyak dan masyarakatnya cukup padat. Akan tetapi, kok malah mereka yang menjaganya? Bukan orang Kotaku? Ada apa?
Lambat laun, aku mengerti sendiri akan jawabanya dari semua itu. Lambat laun aku paham dengan memperhatikan apa yang terjadi dan yang dilakukan sebagian orang-orang di Kotaku. Kalaulah orang turis itu tidak segera datang dan melindungi Gunung Leuser ini, mungkin Gunung Leuser ini nammanya bukan lagi Gunung Leuser, akan tetapi adalah Gunung Lonsor. Karena tingkah laku dan perbuatan orang Kotaku sendiri. Pohon-Pohon Besar ditebangi, dijadikan untuk dinding rumah. Sedangkan mereka tidak tahu akan akibatnya. Mereka hanya memikirkan dinding rumah mereka sendiri, namun tetapi tidak memikirkan dinding Kota ini, bahkan dinding Dunia. Apa jadinya jika itu terus berlangsung? Mungkin bunga bangkai itu tidak sempat tumbuh besar seperti sekarang ini, karena kemungkinan besar akan sudah dimusnakan oleh orang usil yang kurang kerjaan. Selamatkan kotaku, selamatkan Gunug Leusernya juga.
Kota Caneku, selain dijuluki dengan sebutan kota yang berdindingkan Gunugn Leuser, kotaku juga di juluki dengan Kota Buah-Buahan. Mulai dari buah-buahan yang besar, hingga ke buah-buah yang kecil, seperti durian, nangka, cempedak, salak, langsat, duku, nanas, rambutan, mangga, manggis, sawoh, petei raksasa, jengkol, dan lain sebagainya.
Kalau lagi musim durian dan rambutan, sangatlah murah harganya. Mungkin satu durian yang berukuran sedang, harga satunya cuma dua ribu rupiah saja. Bahkan sering juga satu durian satu ribu rupiah. Langsat yang satu kilongnya hanya lima ribu rupiah saja. Rambutan yang satu ikatannya cuma dua ribu rupiah saja. Jengkol yang katanya di kota Jakarta lebih mahal dari harga satu kilo ayam, di Kotaku jengkol paling murah, yaitu Cuma dua belas ribu untuk satu bambunya. Orang Kotaku memang tidak begitu menjaga pohon-pohon besar yang tumbuh di Gunug yang rindang ini, tetapi mereka tidak akan pernah menebangi yang namanya pohon buah-buahan. Karena, buah-buahan adalah salah satu keistimewaan Kota Caneku.
“Bro, lebaran kali ini di pantai mana yang paling ramai dikunjungi orang-orang, Bro?” tanyaku pada temanku Farhan yang lagi ada di seberang Negeri Nusantara sana, via messanger. Biasanya setiap tahun, aku dan Farhan hanya berdua berkeliling Kota Cane dengan mengendarai motor miliknya. Kuta cane yang berpagarkan Gunung Leuser ini, sangat mustahil jika tidak selesai dikelilingi dalam satu hari dengan mengendarai kendaraan mesin, motor misalnya. Tak lama beberapa menit kemudian, Farhan membalas inbox-ku,
“Wah gila, Bro, tahun ini sepertinya lebaran sepanjang tahun dan yang banyak dikunjungi oleh para wisata ialah Ketambe.” jawabnnya dengan memberi stiker warna kuning yang mulutnya terbuka lebar, menandakan ia sedang senang. Walaupun terkadang stiker adalah suka bohong, tetapi kali ini aku yakin saja bahwa ia memang benar-benar lagi gembira. Karena, beberapa jam yang lalu ia telah mengunggah beberapa fotonya yang sedang berada di Ketambe. Fotonya yang sedang nongkrong dengan teman-teman di pinggir sungai.
Aku hanya diam saja, tanpa aku balas satu kata pun. Karena aku cukup tahu saja bahwa lebaran kali ini yang diminati adalah Ketambe. Ketambe adalah tempatnya bunga bangkai itu tumbuh, yang berada di seberang sungai atau kali alas, kata orang di Kotaku. Karena aku kelamaan diam tidak membalas inboxnya kembali, iapun mengirim pesan,
“Eh, Akhyar, kalau di sana tempat wisata mana yang paling ramai dikunjungi?” tanya Farhan padaku.
“Gak tau.” jawabku simpel dengan memasang stiker warna kuning yang mimiknya cemberut.
“Lho, kok gak tau? Emang kau gak keluar rumah? Kok kau cembrut gitu, Bro?” tanya Farhan dengan banyak pertanyaan, dan ikutan dengan stiker cembrut yang aku kirim kepadanya. Ternyata ia juga membalasnya dengan stiker cembrutnya.
“Kau banyak Tanya, Bro!” balasku lagi.
“Hahaha, emanggue pikirin? Terserahku dong!” bbalas Farhan dengan mengirim dua stiker warna kuning yang mengeluarkan lidah memanjang.
“Tega yak kau, Bro! Aku lagi sedih malah diejek!”
“Aku gak ngejek keles. Aku lagi seneng kali ini.”
“Kalau seneng jangan bawa-bawa dong.”
“Kau juga! Kalu lagi cemberut jangan bawa-bawa juga lah! Ceritalah ada apa?”
“Males.”
“Kenapa?”
“Aku cuma seharian di rumah, gak kemana-mana. Aku lagi sedih. Sudah delapan tahun dan ini tahun kedalapanya aku tidak pernah penuh satu tahun saja pun bersama keluargaku. Walupun pulang ketika liburan waktu masih di pondok dulu, itu pun paling lama hanya dua bulan. Tidak lebih dari itu. Aku ingin sekali ngumpul sama keluargaku. Aku ingin banget bersama mereka semua. Aku masih punya kedua orang tua, aku rindu mereka semua, Han.” Curhatku kepada Farhan lewat inbox messanger. Dengan memasang stiker warna kuning lagi, namun kali ini aku pasangkan dengan stiker kuning yang mengeluarkan air mata, menandakan aku lagi sedih.
Satu menit kemudian, Farhan membalas inbox-ku. Kulihat ia sedang mengetik yang terbaca dibagian kiri dikolom chat. Aku tunggu, aku ingin tahu dan penasaran apa yang akan dibalasnya.
“Crying.” Hanya stiker kuning yang meneteskan air mata itu juga yang ia kirim, mungkin ia juga merasakan betapa sedihnya aku sekarang. Sekali lagi, aku tahu bahwa raut stiker tidaklah benar seratus persen seperti yang ada ada pada keadaan yang sesungguhnya, tetapi kali ini aku yakin ia juga merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Dengan membaca curhatku.
“Yah, kok nangis? Cup, cup, kasihan. Hahaha. Ya deh, entar aku ceritaiin curhatanmu di radio.” Farhan coba menghibur. Tetapi kali ini ia gagal menghiburku. Biasanya kami memang saling menguatkan dengan candaan ketika salah satu dari kami ada yang sedang bersedih.
“Crying.” kukirim lagi stiker kuning yang mengeluarkan air mata itu.
“Crying”
“Crying”
“Crying” Aku kirim sampai empat kali kepadanya.
“Sorry.” Jawab Farhan simple. Tampaknya ia tahu, ia tidak berhasil menghiburku. Suasana chat hening sekejap. Dan Farhan menulis status di akun facebooknya, kemudian menandai akunku.