IYYAAKI HUBBII

Daud Farma
Chapter #50

Nasihat Terakhir Ibu

Wajah manis anak kecil berusia lima tahun itu tak kunjung kering, air matanya jatuh bagaikan air mengalir dari sumur ke dataran rendah. Ibunya sedari tadi memeluk jenazah ayahnya korban tenggelam karena angin laut yang dahsyat telah menenggelamkan perahu ayahnya yang sedang nelayan pada waktu sore. 

Pesan sang suami ialah agar membesarkan putrinya yang baru berusia lima tahun itu. Membimbingnya hingga dewasa dan sukses. Namun, karena paras Siti yang cantik, setelah sebulan suaminya wafat, Siti pun dinikahi oleh seorang arsitek yang cukup kaya. Siti dan putri kecilnya pindah ke kota, ikut suami barunya, meninggalkan rumah kecilnya yang tak jauh dari laut itu.

Sebulan pertama, suasana rumah tangga baru Siti berjalan dengan baik-baik saja. Tapi pada bulan berikutnya Siti pun mulai merasa tidak kuat untuk meneruskan lebih jauh rumah tangga barunya. Siti ingin kembali lagi ke rumahnya yang dulu, ingin mengurus anaknya dengan sebatang kara. Siti sudah tidak sanggup dengan sikap lakinya yang galak, suka memukulya, menempeleng dan menendangnya. Kalau Siti lambat masak saja, suaminya dengan memasang muka merah padam dan tangannya segera melayang ke muka Siti. Melihat Siti menangis, anaknya pun ikut menangis. Tahu betul anaknya bahwa ibunya sedang disakiti ayah tirinya. Suami Siti pulang ke rumah selalu larut malam dan mabuk-mabukkan. Hal inilah yang membuat Siti hingga menggugat cerai, padahal kata cerai itu berkali-kali ingin ia hindari agar tidak pernah terucap dari mulutnya. Sudah sering juga ia bikin ulah dengan sengaja agar suaminya marah dan menceraikannya, seperti tidur duluan dan tidak membukakan pintu saat suaminya pulang cepat maupun terlambat. Siti malah selalu dipukul, tapi tidak pernah suaminya ingin menceraikannya. Malah ia yang tersiksak, menangis menahan derita.

Jam setengah dua belas malam, Siti dan putri kecilnya keluar dari rumah. Tangan kanannya menggenggam dan menarik gagang koper sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan putri kecilnya. Setelah menyetop taksi di tempat sunyi itu, berangkatlah Siti dan putri kecilnya menuju kampung halaman. Belum jauh menelelusuri jalan pulang, Siti diborgol, mulutnya diisolasi, putri kecilnya diturunkan di pinggir jalan dan Siti dibawa kabur supir taksi yang bermuka jahat itu.

Hambur air mata Siti terakhir kali melihat putri kecilnya di tempat gelap yang hanya ada satu lampu menyala di tiang listrik itu. Tapi apa boleh daya, Siti tak dapat berteriak, hanya air matanya yang dapat menggambarkan kesedihan yang tengah melanda batinnya. 

Hasna lari dengan sekuat tenaganya, sekencang pacuan yang ia bisa untuk mengejar mobil yang membawa ibundanya, tapi hanya lima langkah, Hasna terjatuh. Hasna guling-guling diri menangisi ibundanya dibawa pergi oleh manusia jahat yang hati kecilnya telah lama mati. Satu jam menangis, Hasna lelah, ia duduk di bawah pohon, ia tak punya rasa takut, sebab sejak ia lahir hingga berusia lima tahun ini, ibundanya belum pernah memberinya tontonan horor, ia belum tahu kalimat hantu, ia tidak pernah dikenalkan dengan hal-hal yang membuatnya takut. Apakah ia akan takut? Sama sekali tidak! Hasna hanya merasa kedinginan. Angin malam mencubit-cubit kulit mudanya. Ia jauh menepi dari jalan, tidak ada satu mobil pun yang berhenti dan tak satu orang pun sampai mengira ada anak kecil berusia lima tahun yang duduk sambil menangis di bawah pohon itu. Hasna melihat ke sekeliling, kosong, gelap, hanya pantulan kecil dari cahaya lampu tiang listrik. Tangisnya makin kecil, ia terisak-isak, suaranya serak, Hasna mendekat lagi ke tiang listrik lalu duduk dengan melipat tangan di dada, tubuhnya menggigil. Sudah jam dua belas lewat, mobil tidak ada yang melewati jalan sepi itu. Anak kecil itu pun tertidur karena sudah cukup lelah ia menangis, air matanya sudah habis.

Jam empat pagi menjelang subuh, sebuah mobil terhenti karena lampu tembak mobilnya tepat mengenai wajah imut nan cantik itu. Segera ia masukkan anak kecil itu ke dalam mobilnya, tanpa pikir panjang supir mobil itu membawa Hasna ke panti asuhan. Hasna masih terlelap, ia tidak sadar dirinya telah dibaringkan di atas kasur.

***

"Bangun! Bangun! Dasar anak pemalas! Pagi-pagi masih tidur!" suara pengasuh cerewet yang kejam. Di matanya semua anak sama saja, tidak pilih kasih. Kata-katanya selalu pedas pada anak kecil. Karena galak dan terkenal kejamnya itu banyak anak pantinya yang minggat kaburkan diri. Tapi Hasna? Jangankan minggat, langkahnya sekarang saja ia tidak tahu. Hasna hanya bisa menangis dan menangis. Masih sangat kecil ia menerima semua kenyataan yang sedang ia hadapi, tapi semua itu membuatnya semakin kuat. Kupingnya setiap hari mendengar kata yang meneteskan air matanya. Bukan karena maknanya, tapi intonesinya yang membuatnya gemetar. Seorang mbak pengasuh yang galak dan kejam. Sesekali Hasna pergi ke kamar Susi, pengasuh yang baik, yang selalu membujuknya ketika ia menangis. 

"Hasna yang cantik, ayo sini sama mbak, kita jajan yuk!" Hasna ngikut tapi air matanya tak henti, sebab sudah terbiasa mengalir. Hasna masuk TK, lalu SD, SMP dan SMA. Sampai meranjak remaja Hasna masih di panti asuhan. Karena ia terdaftar sebagai anak yatim piatu, semua biaya sekolahnya gratis. Hingga-hingga pakaian dan jajannya pun diberi oleh orang baik yang punya rezeki lebih. Pulang-pergi, keluar-masuk pintu gerbang panti asuhan Hasna menjalani pendidikannya. Tepat pada usia sembilan belas tahun, sudah tamat SMA, Hasna pun dinikahi oleh seorang saudagar. 

"Terima kasih atas semuanya, mbak, saya pamit. InsyaAllah saya akan ke sini lagi nantinya menjenguk Mbak. Panti ini adalah rumahku. Aku pasti rindu masa laluku." Hasna pamit pada pengasuhnya yang baik hati dan juga yang galak dan kejam itu.

Kini Hasna sudah tinggal dengan suaminya yang ganteng dan kaya. Harinya-harinya berubah dratis, ia bahagia, sudah tidak merasa tersiksa dengan kata-kata pedas mbaknya yang kejam itu. Tapi? Hasna masih merindukan ibunya, ia masih berbaik sangka bahwa ibunya belum meninggal. 

Lihat selengkapnya