Kamu boleh memanggilku, Nur. Nama lengkapku Nuruddin. Aku sedang libur pesantren. Keadaan lingkungan mengubahku, mengubah sikapku tentunya. Tadinya aku pendiam dan pemalu dekat dengan perempuan, bahkan teman perempuan sekelasku pun aku tidak berani dekat-dekat apalagi sampai berterus terang bahwa di antara mereka ada yang aku suka. Kamu ingin tahu sekarang juga siapa namanya? Ah kurasa nanti saja. Untuk dua minggu kedepan aku akan menghabiskan waktuku di kampung, nama desaku: Duku Manis. Kenapa dinamakan Duku Manis? Sebab memang dulunya di sini bekas kebun duku yang buahnya terkenal manis, kini disihir jadi desa yang indah menawan. Namun tak semua pohon duku itu ditebangi penduduk, masih ada satu-dua pohon yang dibiarkan hidup dengan daun, bunga dan buah yang syarat.
Pagi sampai siang aku membantu ayah ke kebun, sorenya aku diajak temanku nongkrong di atas jembatan, menikmati sisa-sisa matahari hendak terbenam. Bergaul dengan teman yang bukan anak pesantren, sedikit banyaknya aku terpengaruhi oleh keadaan. Hingga hampir mengubah seratus persen sikapku yang kalem menjadi ekstrovert! Namanya, Nakh, sahabat karibku saat ini. Dialah yang setiap sore memboncengku ke jembatan yang jaraknya lima menit dari kampung Duku Manis. Nakh sudah punya pacar, nama pacarnya Nani. Kadang sengaja dia buat janji dengan pacarnya itu, bertemu dan mengobrol di atas jembatan hingga hampir magrib. Bukan kami saja, di atas jembatan ini ada puluhan remaja kampung yang wajahnya mulai tampak sejak pukul lima sore hingga jam tiga pagi. Selepas magrib semuanya meninggalkan jembatan dan duduk manja di kedai kopi. Nakh orang yang pandai sekali merayu, sangat tidak pas rasanya nanti kalau dia tahu aku sebut lelaki tak setia! Palyboy! Tapi tidak mengapa, kurasa dia juga terima pernyataanku itu.
"Nur, coba kau rayu dulu cewekku ini. Kulihat setiap sore kau kubawa kemari tidak ada perubahan, kau diam saja, tak bertaji!" katanya tanpa perasaan, dia malah tertawa dengan ceweknya Nani yang sudah tidak menjaga sikapnya sebagaimana perempuan mestinya. Nani malah memulai mengajakku ngorbol: "Siapa pacarnmu di pesantren, Nur? " Dia sangka aku ini sama seperti cowoknya Nakh yang lidahnya mudah mengungkapkan kata-kata yang berbunga, namun tak syarat makna, lebih tepatnya: ucapan yang tak bertuan, terucap semaunya tapi tanpa memperhitungkan betapa Nani menghargai tiap kata-kata yang pernah ia dengar lewat dari bibir dusta Nakh. Tapi anehnya Nani tetap menikmatinya meskipun ia tahu itu adalah dusta.
"Aku tidak punya pacar." jawabku.
"Bohong! Halah ngaku aja, Nur, usah malu-malu."
"Ya aku sejak kelas satu SMP masuk pesantren, jadi aku besar di pesantren. Dan kami tidak dibenarkan pacaran di pesantren."
"Ya aku tahu itu. Di pesantren memang tidak boleh pacaran," sahut Nani lagi.
"Tapi kan pastinya ada saja kan yang pacaran diam-diam? Surat-suratan? Jujur Nur!?"
"Dan aku tidak termasuk anak pesantren yang surat-suratan." kataku menyakinkannya.
"Halah! Dusta!" katanya tidak percaya. Sedangkan aku yang anak pesantren dia tidak percaya, lalu bagaimana dengan cowoknya Nakh yang hampir tiap hari nongkrong dengannya di jembatan ini? Lantas kenapa dia menikmati dustanya Nakh? Cinta memang suka aneh!
Lambat laun aku terbiasa dengan keadaan lingkungan yang perlahan secara tak kusadari mempengaruhiku. Akhirnya aku pun terbiasa mengobrol dengan Nani, pacarnya temanku itu. Tidak pernahnya aku sedekat ini sama perempuan, sungguh! Kini Nani ibarat teman akrab tapi jarak tetap ada sebab tak mungkin teman makan teman. Ditambahi pula oleh Nakh bagaimana ia mengajiriku teori menggombali perempuan, malah dia suruh perhatikan dan pelajari bagaimna ia ketika mengobrol dengan ceweknya. Bila perlu aku catat atau aku rekam dengan handphone. Tapi sayangnya aku tidak punya handphone, ayah dan ibuku tidak mempasilitasi anak pesantren yang sedang berlibur dengan handphone. Mereka tau handphone akan membuatku betah di kampung. Benar saja, handphone Nakh lah yang selalu kupakai, yang hampir saja aku tidak mau balik ke pesantren kalau bukan, ah nanti saja kujelaskan. Malah kadang aku yang disuruhnya untuk meladeni ngobrol dengan panggilan masuk yang nomornya tak tersimpan di hp-nya. Aku tahu itu selingkuhannya. Dan aku berkomunikasi dengan orang yang antah berantah di belahan kampung sana? Bumbu-bumbu menggombal dari Nakh itu kupraktekkan. Tapi hanya praktek saja, tidak masuk ke dalam hatinya apalagi hatiku! Aib kalau laki-laki menikmati cinta hasil dari rayuan orang lain, apalagi ia tahu lelaki itu! Lebih tepatnya gengsi! Terlebih aku juga sudah diajari Nakh cara menggombal. Namun hingga selesai liburan, aku tidak sempat mempraktekkannya pada siapa pun. Waktu kembali ke pesantren pun tiba.
Besok sore semua santri mesti sudah balik! Begitu peraturan di Pesantrenku Darul Husna. Dua minggu terasa cepat bagi orang yang menikmati liburan. Bagi santri putra yang terlambat, maka dibotak dan membersihkan kamar mandi plus mengutip sampah selama sebulan. Adapun bagi santriwati yang telat, maka dikenakan jilbab warna-warni plus menyiram bunga. Kenapa kelas kami digabung? Karena jumlah kami yang kelas 5 KMI hanyalah sedikit, sedangkan kelas 4 KMI kebawah semuanya pisah antara laki-laki dan perempuan. Malam terakhir di rumah, aku meminjam hp Nakh. Dan aku minta nomor temanku yang aku sukai itu ke temanku yang jarak kampungnya tidak jauh dari Duku Manis. Malam itu jugalah aku katakan aku suka dengannya! Dan senangnya dia menerimaku!