Kawan, aku punya sudut pandang yang berbeda soal merdeka. Kutahu bahwa merdeka yang kamu maksud hari ini adalah merdeka dari jajahan Belanda atas negeri kita Indonesia. Aku pun mengakui dan bahagia dengan kemerdekaan kita. Akan tetapi ini adalah soal individual, sampai hari ini aku belum merdeka. Karena aku belum mampu menyakinkan ibuku. Aku ingin sekali menikah. Ingin punya istri dan punya keturunan. Tapi kata ayah dan ibuku, aku mesti selesai kuliah minimal strata satu. Hal ini tentu tidak sesuai dengan keadaan dan hasratku yang ingin segera menikah, padahal aku sendiri ‘merasa’ yakin, sanggup lahir dan batin. Aku yakin aku bisa menghidupi rumah tanggaku nantinya. Setiap aku menelepon ke kampung, aku coba menyakinkan ayah dan ibu. Sebenarnya ayah dan ibu setuju kalau aku menikah dengan segera mungkin, malah mereka senang kalau memang aku benar-benar mampu. Namun yang membuat mereka tidak setuju adalah aku menikah dengan gadis Jawa pilihanku.
“Janganlah orang Jawa, nanti dia tidak mau tinggal di Aceh Tenggara. Nanti kau ditahan mertuamu di tanah Jawa. Aku tidak mau di uisa senjaku kau tidak ada di kampung.Sudahlah waktu muda jauh, saat tua berjauhan pula, Mak tidak setuju!” Ibu mengkhawatirkan itu, sementara ayah punya alasan yang lain,
“Nanti saat istrimu datang ke rumah, aku tidak mau makan masakannya, karena manis. Istrimu pasti tidak suka pedas.” Aku sendiri tidak peduli apa yang ayah katakan, soal rasa masih bisa diajak bicara empat mata nantinya antara aku dan istriku. Yang aku tidak bisa memberi alasan adalah ucapan ibu.
“Tapi, Mak, dia ini katanya mau aku bawa ke Kuta cane, lagipua tidaklah mesti aku di kampung, anak Mamak masih banyak yang laki-laki.”
“Bukan soal anak Mamak banyak laki-laki, Musa. Kau Mamak yang mengandungmu, melahirkanmu dan membesarkanmu, tapi bukannya tinggal di kampung sama Mamak, malah di rantau orang. Cobalah kau pikirkan baik-baik Musa. Memang katanya mau dibawa ke Kuta Cane, itu ucapannya sebeleum menikah, nanti setelah menikah dia tidak mau. Kamu tentulah milih dia dan tinggal di sana, sebab dia istrimu. Tidak akan kau milih kami, ingatlah cakap, Mak. Cobalah tengok nanti.” Kalau ibu sudah berkata demikian, aku tidak pandai lagi menyangkal, tapi aku belum menyerah, aku mesti cari cara lain agar ayah dan ibu setuju. Dua hari setelah aku menelepon ayah dan ibu, aku telepon Bambkhuku, suami bibikku.
“Bambkhu, aku minta tolong, cobalah pahamkan ke ayah dan ibu agar aku bisa menikah dengan orang yang aku pilih dan aku cintai. Aku yakin cakap Bambkhu bisa membantuku.”
“Baiklah nak, Musa, akan Bambkhu coba.” Sehari setelah aku menelepon Bambkhu, datang pesan masuk lewat messenger dari adikku yang perempuan, sebab ibuku tidak pandai dengan sosial media.
“Bang, telepon ke nomor Mamak. Ada yang ingin Mamak bicarakan.” Aku sangat bahagia sekali membaca pesan dari adikku itu. Karena husnuzhon-ku adalah ibu sudah setuju berkat bantuan Bambkhu-ku, ah tidak sia-sia aku minta tolong pada Bambkhu. Aku pun menelepon ibu. Seteleh aku jawab salam dari ibu, kukira kata-kata setuju menghampiri telingaku,
“Musa, dengar Mak baik-baik, ya. Mau presiden yang kau suruh datang ke rumah untuk menyakinkan Mak, tidak mempan, Musa, tidak mempan!” Setelah menelepon, aku murung, menyendiri, menyepi, memojok di kamarku. Sudah tidak mempan lagi aku menyakinkan ibu. Sepekan kemudian, aku turun dari lantai empat untuk membeli buah-buahan.
“Kurus sekali sekarang, Musa? Padahal sudah kurus tapi kok malah ingin diet?” sahabtaku heran melihat mukaku yang lesu, badanku kurus kering. Niatku beli buah-buahan ialah agar badanku kembali segar dan kuat. Kawanku ini sudah punya anak satu, dia juga istrinya bukan orang Aceh, istrinya orang Kalimantan. Aku pun curhat pada sahabatku itu.
“Aku bukan sengaja diet. Ini semua karena aku ingin menikah.”
“Kalau mau menikah yang banyak-banyaklah makan. Makan sup daging, beli daging unta!”
“Gimana mau makan daging? Sementara ibuku saja belum setuju?”
“Loh kenapa?”
“Masalah keluarga, Akhii.”
“Owh gitu, saran ana antum banyakin do’a, sedekah, dan tahajud, akhii. Supaya hati ibu akhii luluh. Percayalah, doa dapat menembus penghalang apa pun, apalagi hati.”
“Syukron, Akhii sarannya.”
“Oh, ya, calonnya orang mana?”
“Orang Jawa.” jawabku.
“Jawanya di mana?”
“Malang.”
“Owh, Malang, semoga beruntung, Akhii.”
“Aamiin.” Aku pun balik ke kamar dan makan buah. Aku menelepon lewat whatsapp audio ke calon bidadariku,
“Dik, aku sudah menelepon ke Kampung. Tapi ibu mau kamu mesti ikut denganku ke Kuta Cane. Tinggal di kampungnya mas, Dik. Katamu kan siap dan mau. Nah tapi mas susah menyakinkan ibu. Gimana dong, Dikku?”
“Cobalah dengan cara yang lain, Masku. Aku yakin mas pasti bisa.”
“Cara apalagi? Sudah habis semua caraku. Sepertinya sudah tidak ada cara lain lagi menyakinkan ibunya mas, Dikku.”
“Ayolah, Masku, kalau memang Mas punya keiginan dan harapan yang besar, insyaAllah jalannya terbuka. Mas sudah berusaha, sekarang tinggal doanya, Masku.” Suara calon istriku, Nadia menyakinkanku via telepon audio whatsapp. Kudengar suaranya seperti orang menangis, kutahu ia juga sedih. Syukur, kedua orangtua Nadia setuju dengan pilihan anaknya untuk menikah denganku, Sehingga aku tidak susah lagi membujuk ayahnya. Awal kenapa aku bisa kenal dengan Nadia adalah karena buku, dia meresensii bukuku yang diadakan oleh penerbit, dan dialah juara satunya. Kenapa aku bisa jatuh cinta padanya? Karena dia adalah kriteriaku. Dia suka membaca, dan dia jugalah suka menulis, dan satu lagi dia kuliah kedokteran. Ingin sekali aku punya istri seorang dokter. Alasan kenapa dia suka padaku? Husnuzhon-ku adalah karena dia suka tulisanku, kedua karena aku kuliah di Al-Azhar. Tetapi aku sering berasalan lain saat dia tanya kenapa aku bisa jatuh cinta padanya.